Di rumah

252 29 1
                                    

Rin turun dari mobil, dia sudah mengira bahwa Azka hanya berbohong soal omnya itu.
"Lain kali, saya gak mau kali Pak Azka bawa-bawa Pak Dito untuk mengancam saya dan membohongi saya."

"Saya kan sudah berniat baik padamu, saya tau kamu tidak nyaman dengan Gema. Maka dari itu saya melakukannya," ujar Azka kemudian duduk di teras.

"Kenapa harus? Saya baik-baik aja dengan Pak Gema. Dia baik dan tulus." Rin memang tidak suka Gema secara cerewetnya, selebihnya bagi Rin lelaki itu orang yang baik, bahkan sangat baik untuknya.

"Karena saya tidak suka."

"Tolong bangun dari tidur panjang Anda Pak Azka. Saya bukan milik anda, jadi anda tidak berhak atas diri saya."

"Kalau saya jadikan kamu milik saya, kamu mau?"

"Saya kan sudah bilang pak, saya tidak bisa, bapak harus ke tht sepertinya."

"Rumah kamu enak banget ya, asri dan juga tenang."

"Iya, bapak mau beli rumah ini 100 miliar juga gak akan saya jual."

"Gimana kamu mau jual, orang ini aja masih nunggak."

"Masalah." Rin masuk ke dalam rumahnya. Tidak guna berdebat panjang lebar, toh Azka juga anaknya keras kepala.

"Rin! Es teh manis satu."

"Gak ada! Gulanya habis!"

Azka tau sopan santun, untuk tidak masuk ke rumah Rin. Dia takut Rin akan di cap wanita tidak benar jika Azka masuk ke dalam rumahnya.

"Ya sudah, kamu bikinin dulu tehnya nanti supaya manis saya liatin kamu aja."

Rin tidak menjawab, dia ingin tersenyum. Tapi, kewarasannya lebih dulu menyadarkan Rin.

"Nih," ujar Rin keluar dengan pakaian yang lebih santai.

"Makasih." Azka meminum teh yang masih hangat tersebut.

"Tuh kan manis," ucap Azka yang merasa heran. Dia hanya bercanda soal melihat Rin menjadi manis, tapi ini jadi manis beneran.

"Ya kan emang saya kasih gula!" Ketus Rin. Azka tersenyum.

"Kamu tau gak Rin, kamu itu istimewa. Maka dari itu saya sampai gak tau malunya mendekati kamu seperti ini." Azka berbicara dengan serius.

Rin merasa ada yang aneh, melihat Azka berbicara dengan nada seperti itu, padahal dia tidak berikan obat apapun pada teh tersebut.

"Bapak jangan mulai deh, ini sebentar lagi magrib, lebih baik bapak pulang."

"Saya serius."

"Ya kalau serius mau digimanain?"

"Saya gak punya banyak waktu di Indonesia Rin, mungkin satu Minggu atau 2 Minggu lagi saya sudah kembali ke luar negeri. Jadi waktu saya untuk menyakinkan kamu tidak banyak. Saya ingin, di sini, bukan cuma saya yang berusaha menyakinkan kamu, tapi dirimu sendiri juga harus bisa menyakinkan diri sendiri."

"Pak, saya tidak ingin membebani siapapun. Jadi, bapak tidak perlu repot-repot seperti ini. Jika memang harus pergi silahkan, saya tidak bisa menahannya. Banyak orang yang membutuhkan bapak, jangan merugikan diri sendiri dengan mempertahankan sesuatu yang tidak berguna seperti saya."

"Ya ampun, saya suka sama kamu, saya. Cinta. Sama. Kamu." Azka menakankan di setiap kata-katanya.

"Bulshit!"

"Bahkan ketika saya bilang saya adalah orang yang sudah menunggu kamu lebih dari 5 tahun, kamu masih berani menolak saya?"

"Saya ingin mencintai seseorang sebelum dia mencintai saya lebih dulu, karena saya tau, ketika cinta yang sudah dibalut dengan obsesi hanya akan menjadikan hubungan menjadi tidak sehat."

"Ya kamu benar, saya bohong. Kita baru bertemu di pesta dan saya merasa sangat jatuh cinta padamu. Dan apa saya masih terlihat salah sekarang?"

"Saya bukan cenayang, tapi saya tahu, kamu tulus. Namun Saya yang tidak bisa."

"Teruslah menjadi batu, dan saya siap menjadi tetesan air untuk membuatmu hancur."

Azka pergi dari rumah Rin.
Rin mengambil cangkir bekas minum Azka dan membawanya ke dalam rumah.


Direktur Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang