-17-

163 35 13
                                    

     Kedua tungkai mungil itu berjalan pendek-pendek di atas ubin marmer rumah besar keluarga barunya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

     Kedua tungkai mungil itu berjalan pendek-pendek di atas ubin marmer rumah besar keluarga barunya. Mata kelinci milik si bocah mengedar ke segala arah, menyadari bahwa makin lama ia di sana, makin terasa besar juga rumah itu.

Kalau tidak salah, totalnya sudah nyaris satu bulan semenjak Wonwoo kecil diboyong oleh Tuan Seo ke rumah itu bersama ibunya. Tidak buruk, Wonwoo senang karena ia akhirnya punya ayah, bonus juga adik kecil yang cantik dan pintar.

Tapi rasanya tetap agak sulit bagi si kecil Jeon yang pendiam untuk berkomunikasi dengan orang baru. Misal, adik tirinya. Pada siang yang diingat samar-samar oleh si Jeon, Wonwoo mendapati Livy tengah mengendap-endap menuju sebuah lorong gelap di rumah itu. Wonwoo belum terlalu kenal seluk-beluk keluarga itu mau pun rumahnya, tapi Wonwoo diberitahu oleh ibunya kalau ia dilarang mendekati bagian rumah yang satu itu. Maka dengan refleks, karena instingnya sebagai seorang kakak, juga anak penurut, Wonwoo menepuk pundak Livy ketika gadis itu sudah hampir sampai di depan lorong.

Adik kecilnya tampak kaget ketika bahunya ditepuk mendadak oleh Wonwoo, tapi ekspresinya berubah tenang sesaat kemudian setelah mendapati kalau pelakunya cuma Wonwoo, bukan bibi kepala pelayan yang galak, ayahnya, atau ibu tiri barunya.

"Kau sedang apa?" tanya Wonwoo kecil.

Livy mengerjap polos. Wajah bocah itu memang tidak seperti anak lain yang dipenuhi aura ceria, tapi matanya tetap bisa menunjukkan sorot mata polos anak kecil seusianya.

Saat Livy tidak kunjung menjawab pertanyaannya, Wonwoo kembali berujar, "Kau tahu 'kan, kita tidak boleh masuk ke sana," katanya selembut mungkin agar tidak sebabkan Livy takut.

Tanpa menjawab dengan kata, Livy hanya mengangguk kecil dan pergi begitu saja melewati Wonwoo. Si Jeon mengerutkan kening, apa adiknya juga malu bicara dengannya? Padahal, sebenarnya Wonwoo ingin akrab dengan Livy. Kalau Livy begitu, apa sebaiknya Wonwoo dekati lagi?

Maka setelah menimbang-nimbang cukup lama, tungkai lelaki itu menyusul kepergian Livy. Namun, kakinya sempat terhenti ketika mendengar suara-suara aneh dari dalam lorong masuk ke rungunya

Ah, bukan apa-apa. Mungkin Wonwoo cuma halusinasi.

"Hah ... hah ...." Wonwoo mengerjap cepat ketika tubuhnya terbangun dengan kaget. Napasnya terengah-engah, padahal Wonwoo tidak mengalami mimpi buruk atau semacamnya. Hanya saja, lelaki itu merasa ketakutan setengah mati waktu matanya terpejam.

Ia mengusap bulir-bulir keringat pada dahi, kemudian menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul delapan malam. Sialan, Wonwoo kenapa sebenarnya.

Pintu ruangan terbuka disusul presensi Livy yang masuk terburu-buru, lantas kaget karena dapati Wonwoo sudah sadar.

Gadis itu menghela napas lega. "Hei, kenapa kau pingsan lama sekali, sih?! Aku panik, tahu!"

Ia mendekat pada Wonwoo, duduk di pinggir ranjang sambil memindai kondisi Wonwoo dari rambut sampai ujung kaki. "Tidak apa-apa? Apa ada bagian tubuhmu yang terasa sakit atau aneh?"

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang