-O9-

191 48 4
                                    

      Jalanan Seoul waktu itu ramai seperti biasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


      Jalanan Seoul waktu itu ramai seperti biasa. Meski sudah larut malam, tapi kendaraan masih sibuk berlalu lalang, mungkin orang-orang kantoran yang baru pulang. Di tengah keramaian itu, seorang gadis dengan kaki telanjang berlari ketakutan menapaki pedestrian jalan.

Langkahnya tidak teratur dan matanya terus melirik ke sekeliling. Sesekali, ia menoleh ke belakang dengan ekspresi was-was. Gadis itu berlari makin kencang setelah menoleh ke belakang untuk yang ke sekian kalinya. Ia memasuki sebuah kedai pinggir jalan yang sedang beroperasi, membuat pengunjung kedai di sana langsung panik dan menjauh karena gadis itu tampak aneh. Tiba-tiba, tangannya mengambil sebuah pisau yang semula digunakan pemilik kedai, menyebabkan si pemilik dan pengunjung lain langsung histeris dan mengamankan diri.

Gadis itu menangis waktu tangannya terus bergerak sambil memegang pisau, mendekati bagian lehernya. Tangan kirinya yang menganggur digunakan untuk menahan tangan kanan. Kakinya terus berlari seolah sedang mencoba kabur dari seseorang, hingga ia tiba di kantor polisi tempat Wonwoo bekerja.

"Nona? Apa yang kau lakukan?" Salah satu polisi di sana bertanya, tapi tangan gadis itu justru kembali terangkat ke arah lehernya sendiri.

"Nona! Jangan melakukan hal gila!" Polisi itu mencoba mendekati gadis itu, tapi dihalau oleh tangan kirinya.

Gadis itu menangis keras sambil berkata, "Tolong selamatkan aku!"

Semua orang di sana tentu kebingungan melihat tingkah gadis itu. Padahal ia yang mendorong pisau itu ke lehernya sendiri, tapi ia juga minta diselamatkan. Sebenarnya apa maksud gadis itu?

"Nona, tolong tenang, ayo turunkan pisaumu!" Salah satu polisi di sana kembali mencoba mendekat, tapi didorong oleh gadis itu hingga tersungkur.

"Tolong! Tolong aku!" gadis itu kembali berteriak histeris.

Tangannya yang memegang pisau bergetar seolah sedang menahan supaya bagian tubuh itu tidak bergerak makin ke atas dan melukai lehernya. Peluh berkucuran di tubuhnya padahal di sana ada AC.

"Ada apa ini?!" Wonwoo yang baru tiba bersama Livy juga ikut terkejut begitu mendapati gadis itu menatap ke arah mereka. 

Tiba-tiba saja, saat mereka lengah dengan kedatangan Wonwoo dan Livy, tangan gadis itu bergerak dengan cepat melukai lehernya sendiri sampai keluar darah banyak dari sana. Semua orang di kantor itu berteriak histeris dan panik. Sementara Livy mematung kaget, Wonwoo segera mengamankan gadis itu dan menyuruh anggota timnya memanggil ambulans.

Setelah gadis tadi diamankan, Wonwoo kembali menghampiri Livy. Gadis itu masih mematung di tempat semula, di depan pintu. Telapak tangan Wonwoo ditepukkan pada bahu Livy, membuat gadis itu mengerjap pelan dan menatap Wonwoo dengan bingung.

"Kau kenapa diam saja?" Wonwoo meluncurkan tanya setelah menangkap keanehan dari adik tirinya.

Livy menoleh ke arah ambulans yang kini sudah tiba, siap mengangkut gadis tadi ke rumah sakit untuk segera diberi penanganan darurat. "Kejadian tadi persis seperti apa yang kulihat di malam itu. Ekspresi ketakutan mereka ... sama," suara Livy melirih di akhir kalimat.

"Apa maksudmu?" Wonwoo menarik bahu Livy sehingga gadis itu menghadap ke arahnya.

Livy menjawab dengan ragu, "Malam itu, saat orangtuaku meninggal, aku mendengar suara keributan di bawah. Makannya aku turun karena takut mereka bertengkar terlalu hebat." Livy menjeda ucapannya selama beberapa saat. "Waktu aku sampai di tangga, Papaku sudah tergeletak sedangkan Mama mencekik lehernya sendiri, menggapai-gapai udara kosong." Ia menatap Wonwoo takut. "Matanya melotot seram, mulutnya terbuka. Tapi jelas ia ketakutan saat itu."

Setelah Livy menyelesaikan ucapannya, Wonwoo jadi terdiam. Pikirannya mulai kembali merasa kalau semua yang terjadi pada kasus orangtua Livy sampai ke gadis tadi itu memang janggal. Tapi kalau yang dikatakan Livy benar perihal pelakunya bukan manusia, lalu bagaimana cara ia menangkapnya?

Livy terduduk diam di atas ranjang, bersandar pada kepala ranjang. Matanya menatap kosong ke depan, padahal pikirannya penuh dengan kejadian-kejadian ngeri yang ia lihat belakangan.

Gadis itu mulai berpikir, sebenarnya dari mana awal semua kesialan yang ia alami? Livy memang pernah merasa kalau hidupnya sudah sial semenjak dilahirkan dari rahim mamanya yang super perfeksionis dan otoriter. Tapi gadis itu baru sadar kalau ia masih beruntung punya orangtua, harta, dan kekuasaan. Sekarang sudah tidak ada lagi yang tersisa buatnya selain kepingan memori seram malam itu dan segala kecurigaan tentang kasus kematian orangtuanya. Livy sekarang merasa hidupnya sudah dibalik seratus delapan puluh derajat oleh variabel yang belum ia ketahui apa itu.

Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar, sebabkan Livy menoleh sedikit ke arah pintu. Pada detik selanjutnya, tubuh Wonwoo menyembul dari pintu setelah dibuka. "Aku boleh masuk?" tanyanya.

Livy mengangguk pelan kendati tidak berikan jawaban berupa kata.

"Ini ada coklat panas buatmu." Wonwoo meletakkan secangkir cokelat panas di nakas. "Ibuku selalu membuat ini untukku saat aku sedang murung."

Senyuman kecil terbit di bibir Livy. "Ibu juga sering membuatkannya untukku, dulu."

Wonwoo menatap wajah Livy, gadis itu seperti dikelilingi aura suram. Waktu pertama kali lelaki itu bertemu Livy, ia memang sudah merasa Livy bukan gadis yang ekspresif. Selain senyuman mengejek dan ekspresi dingin yang diberikan Livy, Wonwoo belum pernah melihat ekspresi lain. Waktu itu ketakutan saja Livy masih kelihatan menetralkan ekspresinya agar tidak ketara.

Setelah hening selama beberapa menit, akhirnya Wonwoo memutuskan buka suara lebih dulu, "Aku sudah dengar," katanya.

Livy menoleh sekilas pada Wonwoo. "Dengar apa?"

"Kalau kau diusir dari perusahaan."

Tawa kaku keluar dari mulut Livy, seolah ia sedang mentertawakan dirinya sendiri. "Menyedihkan sekali, bukan? Aku yang ada di puncak rantai makanan, tiba-tiba turun ke konsumen tingkat satu."

"Bagaimana perasaanmu?" Pertanyaan yang sedari tadi bercokol di hati Wonwoo, akhirnya ia keluarkan lewat mulutnya.

Selama beberapa saat, yang ditanya tidak kunjung menjawab. Sampai jarum pendek jam yang semula ada di angka satu, kini bergeser ke angka enam, saat itu barulah muncul jawaban dadi labium pucat Livy. "Aku tidak tahu ...," gadis itu melirih. "Mama selalu bilang kalau aku adalah anak paling bahagia di antara anak lain, maka aku juga harus jadi seperti itu." Pandangan mata Livy berubah sendu. "Bahkan kalau aku sedih, itu artinya aku bahagia. Kalau aku kesakitan, artinya aku bahagia. Apa pun itu situasinya, Mama tidak pernah mengajariku perasaan lain selain bahagia, meski sejujurnya ... ia tidak pernah benar-benar menunjukkan padaku bahagia itu seperti apa?"

Pantas saja. Wonwoo tahu Livy berusaha menutupi kata hatinya sendiri, apa yang ia rasakan. Makannya Wonwoo cuma bisa melihat aura dingin seolah gadis itu memang tidak bisa merasakan apa-apa. Barangkali, hati gadis itu sudah lama dibekukan dengan tangan mamanya sendiri.

"Oppa," Livy kembali melirih memanggil Wonwoo. Begitu dapat respon berupa deheman kecil serta pandangan yang jelas punya sorot khawatir di sana, gadis itu baru kembali bersuara, "Aku ingin tahu siapa penyebab semua kejadian ini. Aku ingin tahu, aku punya salah apa padanya? Kenapa harus aku? Kenapa dia menjerumuskan hidupku yang sudah mati rasa ke dalam jurang? Kenapa?"

Nada suara Livy kelihatan putus asa, mukanya jelas sedih, tapi yang ditangkap oleh mata Wonwoo adalah sorot mata kosong milik Livy. Rasanya ia seperti berhadapan dengan tubuh tanpa jiwa begitu melihat ke dalam mata gadis itu. 

Helaan napas keluar dari bibir Wonwoo. Lelaki itu menepuk pundak Livy. "Baiklah, mari kita tangkap siapa pun itu, dan kita buat ia bicara."

Wonwoo rasa, malam itu ia sudah gila karena mengambil jalan yang bahkan tidak bisa ia prediksi ke mana arahnya.

[]

A-akhirnya aku bisa update ㅠㅠ

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang