-28-

146 33 2
                                    

     Yerim membuka matanya perlahan, menyesuaikan sinar matahari yang masuk rimis-rimis ke dalam netra ayu itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


     Yerim membuka matanya perlahan, menyesuaikan sinar matahari yang masuk rimis-rimis ke dalam netra ayu itu. Setelah terbuka sepenuhnya, bola mata gadis Kim itu melirik ke kanan kiri, tapi tak dapati satu pun orang menunggunya di ruangan itu.

Yerim sejujurnya maklum saja, apa lagi ketika sempat melirik jam di dinding yang bilang kalau sekarang pukul satu siang lewat beberapa menit. Jam segini mungkin kakaknya sedang berada di kantor untuk menyelesaikan kasus-kasus.

Namun, belum selesai Yerim berspekulasi, pintu ruangan itu terbuka. Menampilkan sosok lelaki bertubuh jangkung dengan raut wajah khawatir.

"Yerim? Kau sudah sadar? Astaga, coba tebak berapa lama kau tertidur begitu? Apa kau putri tidur, hah?" Wonwoo langsung memberondong si gadis dengan pertanyaan begitu sampai di hadapannya.

Sementara yang diomeli, hanya tersenyum tipis. Tanpa menjawab pertanyaan Wonwoo, Yerim justru balik ajukan pertanyaan setelah melihat sekeliling dan tidak menemukan seorang lagi bersama Wonwoo. "Livy Eonnie ke mana?"

Wonwoo mengusap tengkuknya, kebingungan harus bagaimana menjelaskan pada Yerim perihal masalah Livy. Begitu selesai merangkai kata-kata dalam pikirannya, lelaki Jeon itu baru menjawab, "Ah, itu ... Livy kembali ke rumahnya untuk mengurus beberapa urusan."

Alis Yerim menaut. "Urusan? Urusan apa?"

"Yah, Oppa juga tidak begitu paham," jawab Wonwoo sekenanya. "Sudahlah, ia 'kan juga pasti punya masalah pribadi. Livy bilang ia akan segera menemuimu setelah masalahnya selesai, jadi kau tenang saja dan fokus pada perawatanmu, ya?"

Yerim mengangguk dengan raut wajah kecewa. "Padahal, ada sesuatu yang belum sempat kuceritakan padanya."

Seorang pria dengan jas rapi dan kacamata yang bertengger di hidungnya, melangkah memasuki ruangan kerja presdir setelah dipersilahkan oleh pemilik baru ruangan itu. Sebenarnya tidak bisa disebut pemilik baru juga, sih. Toh dari awal itu memang sudah seharusnya jadi milik seseorang yang kini duduk di kursi direktur.

"Oh, sekretaris Min?" Livy tersenyum tipis pada sosok pria di hadapannya.

Pria itu membungkuk beberapa derajat sebagai tanda hormat. "Senang mendengar Anda kembali ke sini, Nona Muda. Mulai sekarang saya akan melayani Anda." Beberapa sekon kemudian, ia meralat kalimat tadi setelah menyadari kesalahan. "Ah, maksud saya, Presdir."

Livy terkekeh pelan. "Tidak masalah kalau mau memanggilku seperti biasa. Lagi pula kita cukup dekat sedari kau pertama bekerja untuk Papa." Gadis itu lantas tersenyum kecut. "Lagian aneh rasanya kalau tiba-tiba dipanggil begitu. Dulu, Papa yang punya gelar itu."

Hening beberapa saat sebelum sekretaris Min bicara dengan ragu. "Malam itu ... sebenarnya apa yang terjadi, Nona?"

Pandangan Livy menerawang, seolah sedang mengembalikan ingatan yang ia lihat pada malam itu. Kalau bisa, ia ingin hilang ingatan saja, supaya hatinya tidak penuh beban, supaya hidupnya tenang. Tapi mana bisa Livy mengesampingkan fakta bahwa yang terbunuh adalah kedua orang tuanya. Lagi pula, matanya, telinganya, bahkan hingga bulu romanya masih mengingat jelas seolah kejadian itu baru saja terjadi.

𝓶𝓸𝓻𝓽𝓪𝓵𝓪。Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang