PART 3 - BIUS CINTA

1.7K 6 0
                                    

“Ke arah mana tukang sayur?” tanya Ray.

“Lurus saja. Di perempatan depan, belok kiri,” jawab Senja. Tangannya bergerak memberi arahan.

Dengan cekatan, Ray mendorong tempat duduk beroda dengan lelaki tua di atasnya menuju jalan sesuai petunjuk Senja.

Ray tak tahu mengapa ia begitu ngotot mendekati gadis tetangga yang masih asing baginya ini. Mungkin, karena gadis lembut ini tampak begitu … keibuan.

***

Saat malam itu ia mendengar teriakan demi teriakan lagi, Ray merasa sulit untuk terus berpura-pura tuli. Tak sedikit pun matanya dapat terpejam.

“Kamar yang kamu dan bapakmu pakai itu kan kamar Roni. Kasihan, Roni tidur di ruang tamu terus. Kalau nyusahin orang tuh jangan kelamaan!” Suara Tante Galak nyaring memekakkan telinga.

“Nangis-nangis mulu kerjaanmu. Dikira kalau kamu nangis boleh numpang di sini terus, gitu? Makanya, dengerin, ommu kan udah nyuruh kamu kawin!”

Tangan Ray terkepal. Telinganya tak menangkap adanya isakan. Pun tak ada suara Senja menjawab. Namun, dari semburan kata-kata tantenya, Ray bisa membayangkan air mata berlelehan di wajah gadis itu.

“Lha kamu pilih-pilih segala. Nyari lelaki yang mau nerima bapakmu. Ya mana ada? Bapakmu titipin aja di mana gitu, kek. Tapi jangan di sini! Lagian, heran, bapakmu kok awet bener.”

Kini, isakan itu terdengar.

Ray menekan tinjunya ke dinding. Rahangnya mengeras.

Senja, si gadis lembut, teriakan-teriakan dengan kata-kata menyakitkan itu ditujukan kepadanya. Dan itu, membuat Ray geram.

***

“MALING!”

Teriakan itu membuat Ray tersentak bangun.

Suara Tante Senja.

Buru-buru ia melompat turun dari ranjang. Saat membuka pintu, keremangan menyergapnya. Ternyata masih dini hari. Tak ada tanda-tanda semburat matahari.

Terdengar kegaduhan dari rumah merah bata. Barang-barang jatuh, suara pukulan, teriakan pria, dan pekikan wanita.

Ray sudah akan melangkahkan kaki ke halaman rumah sebelah ketika matanya menangkap sosok pria yang posturnya belum pernah ia lihat keluar dari pintu rumah. Orang itu berlari ke arahnya.

Dua sosok lain, Senja dan tantenya, muncul di pintu. Sang tante mendorong Senja. “Tangkap dia, Senja! Dompetku diambilnya! Kalau kau tak bisa menangkapnya, kau dan bapakmu nggak usah makan, buat ganti uangku!”

Senja berlari mengejar orang itu dengan wajah pucat.

Si pencuri berlari ke arah Ray. Tergopoh-gopoh dan tampak brutal. Ray bisa melihat tangan kiri orang itu mencengkeram dompet hijau tua berukuran besar.

Ray bergegas ke tengah gang, berdiri mengadang.

“Minggir!” Pencuri bertubuh tinggi besar itu menggeram. Sepasang mata yang menatap tajam dari lubang di kain hitam yang menyembunyikan wajahnya tampak garang. Diangkatnya tinju, melayangkannya ke wajah Ray.

Sigap, Ray menghindar. Lantas, ia mengayunkan pukulan balasan yang telak mengenai samping kanan muka si pencuri. Orang itu terhuyung ke kiri.

Ray segera merebut dompet hijau bermotif batik dari cengkeraman tangan kiri si pencuri, lalu melemparkannya ke arah Senja. “Senja!”

Gadis itu mencoba menangkap dompet yang melayang, tetapi luput. Benda tebal berisi uang simpanan tantenya itu jatuh ke tanah. Senja buru-buru memungutnya.

Sementara itu, si pencuri yang kalap dalam kemarahan berhasil menghempaskan Ray ke tanah dengan tendangan mautnya. Kemudian, preman tersebut segera berbalik menuju Senja. “Berikan dompet itu!” bentaknya.

Beringas, orang bertopeng itu menarik keluar pisau lipat dari saku. “Berikan, atau kau mati!”

Tante Senja berteriak histeris.

Senja mundur ketakutan. Pria tinggi besar itu bergerak cepat ke arahnya dengan pisau terhunus. Dompet di dekapan gadis itu adalah tujuan utamanya.

Langkah mundur Senja kalah cepat. Penjahat itu melangkah sigap mendekatinya, mengarahkan pisau ke wajah gadis yang ketakutan tersebut.

Ray yang telah bangkit berdiri, tanpa menghiraukan rasa sakit akibat tendangan yang baru menghantam tubuh, bergegas memburu. Susah payah, ia berhasil merenggut lengan kiri lelaki itu sebelum si pencuri meraih Senja. Ditariknya orang itu mundur, didorongnya kuat-kuat hingga maling tersebut terhuyung ke belakang.

“Senja, pergi!” perintah Ray kepada Senja yang mematung syok.

“I-iya.” Senja tergagap.

Gadis itu sudah akan berbalik ketika mata indahnya terbeliak, menatap si pencuri yang meghambur ke arah Ray dengan pisau terhunus di tangan.

“Langit, awas!” serunya.

Ray menoleh, dan sempat melihat lelaki asing itu beringas menusuk ke arahnya. Serta merta ia berusaha menghindar, melindungi diri dengan lengan. Lengan kanannya tersabet.

Ray meringis kesakitan, lalu segera merunduk dan menyeruduk tubuh tinggi besar itu hingga mereka berdua terjatuh bersama-sama. Bersamaan dengan itu, pintu-pintu rumah warga sekitar satu per satu terbuka. Keributan yang terdengar telah menarik perhatian mereka.

Melihat warga mulai berkumpul, pencuri itu panik. Ia buru-buru bangkit dan hendak lari, tetapi Ray yang masih terbaring di tanah menggapai, menangkap kaki kanannya, lalu menariknya, hingga orang itu terjungkal ke tanah.

Pria-pria yang berdatangan segera meringkus si pencuri. Beramai-ramai menekan tubuh berpakaian serba hitam tersebut agar tetap melekat di tanah. Seorang bapak memukul tangannya dan mengambil paksa pisau yang ada dalam genggaman orang itu. Seorang bapak yang lain menarik lepas topengnya.

Tante Senja berseru terkejut. “Olas?”

Lelaki setengah baya yang menggenggam topeng si pencuri menoleh ke arah Tante Senja. “Ibu kenal?”

“Iya, Pak. Dia teman Roni, anak saya. Ooh, pantesan. Kamu tahu di mana saya menyimpan uang. Datang merampok sekarang karena tahu Roni sedang ke luar kota, ya?  Dasar berandal tak tahu diri!” Berang, Tante Senja mengayunkan kedua tangan memukuli si pencuri yang tak berdaya dikunci oleh warga di tanah.

Senja tak memedulikan keributan di sekitarnya. Ia bergegas menghampiri Ray yang masih duduk di tanah sambil memegangi lengan kanan. Gadis itu berjongkok di sebelahya.

“Langit, apa kau terluka?” Senja bertanya dengan penuh kecemasan. Sejurus kemudian, gadis itu terpekik saat menyadari ada rembesan merah di lengan Ray. Kaus putih lelaki itu robek di bagian lengan atas, dekat bahu. Terlihat luka menganga. Kulit dan sebagian dagingnya terbelah. Darah menetes ke tanah.

Ray meringis, sedikit mendesis. Tangan kirinya memegang lengan kanannya yang terluka.

“La-langit, lenganmu,” Senja terbata. Kedua tangan gadis itu terulur, ingin memegang lengan Ray, tetapi batasan mahram membuatnya bimbang. “Kau harus ke rumah sakit.”

“Kenapa, Neng? Si Abang luka?” Bapak setengah baya yang memegang topeng si pencuri kini mengalihkan perhatian kepada mereka berdua.

“Iya, Pak. Langit terkena pisau. Tolong, Pak,” ucap Senja panik. “Saya rasa dia perlu ke rumah sakit.”

“Wah, ayo, Bang. Saya antar ke rumah sakit,” seorang lelaki muda menawarkan. “Sebentar, Bang. Saya ambil motor dulu.” Pemuda itu segera bangkit dan setengah berlari ke sebuah rumah berwarna biru telur asin di sisi kiri gang.

Ray memandang Senja yang tampak pucat. Dia yang menetes-neteskan darah, tetapi justru gadis ini yang memucat seperti kehabisan darah.

“Jangan khawatir, Senja. Di UGD, lukaku akan diobati.” Lelaki itu menenangkan, padahal sesungguhnya dia sendiri juga ngeri melihat lukanya.

Ah, masa bodoh amat dengan luka ini, pikir Ray. Melihat gadis di sampingnya mengkhawatirkannya saja sudah mampu mengurangi rasa sakit. Mungkin ini yang disebut dengan bius cinta.

LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang