Sudah ada beberapa pasien lain di UGD saat Ray dan Senja masuk. Pemuda dari rumah bercat biru telur asin dan adik lelakinya yang mengantar mereka berdua menunggu di luar.
Lengan kanan Ray sudah dibebat kain oleh salah seorang warga, tetapi warna merah kian menyala, kainnya juga makin basah, pertanda darahnya masih merembes. Kaus putih Ray berubah warna di sekitar luka, dan bercak-bercak di sana-sini. Senja yang berdiri di samping tempat tidur Ray tampak gelisah. Wajah ovalnya pucat pasi seolah ia yang kehilangan banyak darah. Gadis itu tak banyak bicara, hanya berdiri diam sambil menggigit bibir bawah. Kecemasan tergambar nyata di bola matanya yang bulat kecokelatan. Diam-diam, Ray memperhatikan. Ia bahkan sudah melupakan bahwa saat ini, dirinyalah yang tengah terluka.
Dua orang perawat, pria berbadan gempal dan wanita setengah baya berkacamata, menghampiri dipan Ray. Jarum suntik ditembuskan ke lengan Ray, membuatnya meringis. Barulah sekarang ia ingat dengan luka tersebut. Bibir lelaki itu sedikit mendesis ketika obat bius diinjeksikan ke sekitar luka. Baru kini terasa sakit saat lukanya diotak-atik. Di sebelahnya, Senja menyatukan kedua tangan, berusaha meredam rasa khawatir dengan meremas jemari.
Dahi Ray agak mengernyit ketika perawat pria mulai menjahit luka menganga di lengan kanannya.
“Jangan khawatir, Pak. Setelah dijahit, nanti rapi lagi.” Perawat wanita setengah baya yang memegang wadah berisi kapas dan perlengkapan medis lainnya, memberi tahu dengan baik hati.
Proses penjahitan cukup menegangkan bagi Ray, juga Senja. Mereka baru bisa bernapas lega setelah diizinkan keluar dari UGD. Lengan Ray kini telah rapi ditutup perban. Sebelum melepas pasiennya, perawat pria berpesan agar Ray tidak lupa datang lagi untuk kontrol jahitan.
“Sebenarnya, kau tidak perlu repot-repot mengantarku, Senja.” Ray tersenyum kepada gadis yang kini memasang ekspresi lega itu. Wajah pucatnya tadi telah kembali ke warna yang normal. Tampaknya kecemasan telah meninggalkan benaknya.
Aku laki-laki dewasa yang bisa pergi ke UGD sendiri. Tak perlu didampingi saat menjahitkan lengan, batin Ray. Tetapi, tentu saja, aku senang sekali kau menemani.
“Kau terluka karena menolongku. Membantu keluargaku menangkap pencuri itu. Tentu saja aku harus menemanimu, Langit. Memastikan bahwa kau baik-baik saja.”
Ah ... Ray tak tahu mau berkata apa. Hanya saja, rumah sakit mendadak menjadi tempat yang sangat romantis baginya. Yah, asalkan ia tak mengingat jarum melengkung dan benang jahit yang tadi menembus kulitnya.
***
Setiap akhir pekan, Ray sengaja merapikan penampilan pagi-pagi dan menunggu Senja lewat bersama sang ayah. Lelaki itu ingin menjalin hubungan pertemanan yang harmonis dengan tetangganya.
Baiklah, lebih dari pertemanan.
Duduk bersedekap di kursi yang sengaja ia pindahkan ke depan jendela, lelaki itu memandang ke luar. Kalau bisa, tak ingin berkedip. Jangan sampai targetnya lepas.
Oke, ia memang berlebihan. Mana mungkin ada orang berjalan dengan kecepatan cahaya, sehingga langsung menghilang dalam satu kedipan mata? Kecuali super hero dalam film.
Kebetulan, jendela rumah petaknya menggunakan kaca cermin. Dari dalam bisa melihat ke luar. Namun, dari luar akan memantulkan bayangan layaknya cermin. Kemungkinan pemilik indekos memilih kaca jenis ini agar penyewa rumah petaknya bisa tetap memiliki privasi tanpa harus terus terkungkung di balik tirai.
Begitu melihat sosok gadis berjilbab yang mendorong kursi roda, Ray langsung berdiri. Lalu terlonjak saat terdengar bunyi gelodak di belakangnya. Ia menoleh dan mendapati kursinya tergelimpang. Rupanya kursi itu terjengkang saat ia berdiri tiba-tiba. Saking semangatnya.
Tanpa menolong kursinya untuk kembali bangun, Ray melesat ke pintu, dan buru-buru membukanya.
Senja sedang berdiri di sana, memandang penuh tanya ke arah rumah petaknya. Tampaknya gadis itu mendengar kegaduhan yang diakibatkan insiden kursi.
“Pagi, Senja,” sapa Ray dengan senyum mengembang, sementara tangan kanannya menyelipkan kunci kamar ke dalam saku celana. “Pak.” Ia menambahkan anggukan sopan ke arah ayah Senja begitu tiba di dekat kursi roda.
“Hari ini mau ke mana?” tanya Ray. Seperti biasa, ia langsung mengambil alih kursi roda tanpa permisi dan mendorongnya.
“Langit, biar aku saja yang mendorong—”
“Tak apa. Aku saja,” potong Ray. “Ke mana kita?”
“Belanja dulu. Lalu, mencari bubur ayam.”
“Ide bagus!” Ray menjentikkan jari. “Aku juga sedang ingin makan bubur ayam.”
“Bagaimana pekerjaanmu?” tanya Ray, setelah lima menit mereka berjalan dalam diam. “Lancar?”
“Ya. Cukup lancar. Hanya saja ….” Senja mengembuskan napas, terdiam sejenak. “Mungkin aku perlu mencari pekerjaan baru. Andaikan saja aku punya cukup uang, aku ingin membawa Ayah keluar dari rumah Om. Semakin lama, Ayah tampak semakin stres.”
“Apa yang terjadi?” Ray membelokkan kursi roda ke sebuah taman kecil. Beberapa anak kecil tampak asyik bermain dengan ayunan dan perosotan, sementara ibu mereka mengejar sambil membawa mangkuk dan sendok. “Maafkan aku. Aku tak sengaja mendengar.”
Senja mengangkat alis. “Mendengar apa?”
Ray memarkir kursi roda ayah Senja di samping bangku taman yang kosong. “Pertengkaran-pertengkaran kalian.”
“Oh?” Wajah gadis itu memerah, kemudian menunduk. “Kau mendengarnya? Itu memalukan.”
“Tak mengapa. Kau bisa bercerita padaku,” Ray menawarkan.
“Kau tak akan suka mendengarnya. Yang ada hanya cerita pahit.”
“Aku … justru ingin tahu.”
Senja mengerjap. Ia terpana, menangkap kesungguhan yang tersirat dalam manik hitam yang menatapnya lurus.
Lelaki ini, masuk tanpa permisi ke dalam hidupnya. Seperti ia selalu tanpa permisi mengambil alih kursi roda.
***
Hari ini pun, Senja hanya tersenyum dan melangkah mengikuti. Sudah hampir tiga bulan lamanya Ray selalu merebut kursi roda ayahnya di akhir pekan. Senja telah terbiasa dengan tingkah lelaki itu.
“Langit.”
“Apa?”
“Aku mau coba belanja ke tempat lain. Ikuti aku.” Gadis itu tersenyum lebar. Tak sadar bahwa senyuman tersebut bisa menerbangkan pria di sebelahnya.
Kursi roda sedikit bergoyang-goyang saat Ray mendorongnya melalui jalanan yang belum diaspal. Kerikil dan batu-batu kecil mengeluarkan dentingan.
“Senja.”
“Iya?”
“Minggu depan masa training tiga bulanku berakhir.”
“Oh!” Langkah gadis itu terhenti. Lalu, kembali melangkah dengan senyum sendu. “Jadi … kau akan pergi?”
Ray mengangguk dalam diam.
Keluar dari gang yang beralaskan tanah kering dan kerikil kecil, kini langkah mereka menapaki jalan beraspal. Putaran roda kursi pun tenang tak bergoyang. Jalanan masih sepi. Udara pagi masih bersih. Kepulan-kepulan asap bau masih belum banyak yang unjuk diri.
“Senja.”
“Iya?”
“Kalau aku diterima bekerja di PT Rajawali, maukah …,” Ray menghentikan langkah panjangnya, menoleh mencari mata bulat dengan bulu mata lentik, “maukah kau menikah denganku?”
Mata Senja membulat sempurna. Ia membekap mulut. Napas yang tertahan menunjukkan keterkejutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)
RomanceRay Cinta yang bersemi ternyata membentur tembok yang tak mampu kutembus. Bagaimanakah cara melindungimu agar kau tak terluka? Bima Punya saudara "gila" menyeretku ke dalam pusaran rumit, membuatku hidup dalam kekhawatiran dan pertanyaan, apakah cin...