PART 18 - DUA BOCAH YANG SERUPA

1.1K 6 0
                                    


Kini, senyuman tersungging di wajah sang guru muda. Bayangan percakapan mereka yang diwarnai kemesraan malam itu jelas akan membuat harinya indah. Terlebih, bisa memandangi wanitanya yang tampak lahap menikmati lontong balap di hadapan. Tak masalah bila sedikit petis tepercik ke kerudung jingga pastelnya.

“Setelah ini, kau mau ke mana, Senja? Ini hari terakhirku cuti, aku akan mengantarmu ke mana pun kau ingin pergi. Tunjungan Plaza? Atau, kalau ingin ke pantai, kita bisa ke Kenjeran. Yang agak jauh, kita bisa ke Taman Safari Prigen, Pasuruan. Atau ke kota apel, Malang.”

“Panti asuhan,” jawab Senja.

“Apa?”

“Aku pilih ke panti asuhan. Aku ingin melihat tempat kau dibesarkan.”

Bima tersenyum. “Baiklah. Kebetulan, aku ingin menjenguk Ibu.”

Senja membalas senyum itu, lalu kembali sibuk dengan lontong balapnya.

Sementara itu, lelaki di sampingnya mengeluarkan ponsel, mengirimkan sebaris pesan kepada seseorang.

Bima : Ray, kau masih di Paris atau sudah balik? Bukan sedang di panti, kan? Aku dan Senja mau ke sana.

***

Mata Senja menyapu bangunan putih kusam tersebut, membaca tulisan “Panti Asuhan Insan Harapan” penuh antusias. Setelah tempat kerja Bima, sekarang ia akan melihat-lihat rumah masa kecil suaminya. Senja merasa senang.

Sedari tadi mendung bergelayut di langit, tetapi tetes air tak juga turun. Kumpulan awan kelabu yang memayungi justru meneduhkan perjalanan mereka. Sungguh beruntung.

Namun, bagi Bima, awan suram yang membuntuti itu seolah menjadi representasi tabir rahasia yang terus membayangi pernikahan mereka. Mungkin hujan belum turun, tetapi mendung senantiasa mengancam.

Dua anak laki-laki berusia sekitar 11 tahun dan 4 tahun yang sedang berjongkok di halaman depan mencabut rumput segera bangkit begitu motor Bima masuk ke halaman panti.

“Mas Bima!” Si anak 4 tahun berlari datang dan melompat menubruk Bima sesaat setelah lelaki itu turun dari motor. Guru muda tersebut tertawa, menangkap tubuh kecil yang menabraknya tanpa kira-kira.

“Ical sedang apa?” tanya Bima, mengangkat anak itu ke gendongannya.

“Ical bantuin Mas Adit cabut rumput.” Anak itu tertawa lebar, memamerkan gigi depannya yang gigis.

Anak yang lebih besar menghampiri sambil menepuk-nepukkan tangan, berusaha menghilangkan kotoran dari tangannya. “Ical, ih. Salim, dong. Bukan gendong,” Ia menegur anak kecil dalam gendongan Bima.

Bima terkekeh. “Sudah pulang sekolah, Dit?” sapanya, saat Adit mencium punggung tangan kanannya.

“Iya, Mas. Barusan,” jawab Adit. “Mbak.” Ia beralih mengulurkan tangan kepada Senja.

“Namamu siapa?” tanya Senja, ramah.

“Adit, Mbak.”

“Kalau yang ini?” Senja membungkuk, memandang anak kecil yang tadi digendong Bima. Anak itu kini berdiri di lantai semen, bersembunyi di balik kaki Bima, sambil ragu-ragu memandang Senja.

Karena anak kecil itu bungkam, akhirnya Bima yang menjawab. “Namanya Faisal. Kami memanggilnya Ical.”

“Hai Ical, aku Senja.”

Ical tetap bungkam.

“Ia pemalu. Agak takut dengan orang asing,” Bima menjelaskan.

Senja manggut-manggut.

“Mas Bima, ajak Mbak Senja masuk.”

Suara itu membuat mereka menoleh. Seorang gadis di kursi roda tengah memandang mereka dari ambang pintu. Senja ingat telah berkenalan dengan gadis itu di acara pernikahannya kemarin. Winarni.

“Ibu sedang ke puskesmas, Mas,” kata Winarni, begitu mereka berdua menghampirinya. Sementara Adit dan Ical kembali ke halaman untuk meneruskan mencabut rumput.

“Ibu sakit lagi?” Bima tampak cemas.

“Dadanya agak sesak,” jawab Winarni, murung. “Tunggu di dalam saja, Mas.”

“Kau tunggulah di dalam.” Bima menoleh kepada Senja. “Aku ingin bantuin Adit dan Ical cabut rumput.”

Senja mengangguk. Dilemparkannya senyum manis kepada Bima, sebelum melangkah masuk, mengikuti Winarni.

Ruang tamu itu menyatu dengan ruang makan, membentuk ruangan panjang dengan perabot sederhana. Sofa tua berwarna cokelat seakan bersiap menyambut tamu, lengkap dengan meja kaca tanpa ukiran. Menempel di dinding kiri di samping jendela, berdiri sebuah rak buku yang isinya penuh sesak. Sepertinya anak-anak panti suka membaca. Di ruang makan, terdapat meja kayu panjang, lengkap dengan kursi kayu yang juga panjang di kedua sisinya.

“Mbak Senja duduk dulu, ya. Aku ke dapur dulu bikin teh. Eh, ada adonan pisang goreng juga di kulkas. Aku gorengin pisang goreng, ya. Sebentar ya, Mbak.”

“Aku bantu ya, Win,” Senja menawarkan.

“Nggak usah. Orang cuma bikin teh aja, kok,” Winarni menolak. “Mbak Senja kan baru datang bertamu ke sini, masa langsung masuk dapur.”

Sepeninggal Winarni, Senja menghampiri jendela. Senyumnya langsung terkembang melihat di halaman suaminya tampak mencabut rumput sambil sesekali bercanda bersama kedua adik pantinya.

Mata Senja berpindah ke rak buku di samping jendela. Jemarinya menjelajah. Sesekali diambilnya buku cerita dari rak, membaca blurbnya, lalu mengembalikannya lagi. Semuanya cerita anak-anak. Hingga matanya berhenti pada beberapa album yang tersimpan di bagian bawah rak. Diambilnya album yang bersampul biru tua.

Setelah menepis sedikit debu yang menempel, wanita itu mulai asyik melihat foto demi foto yang tersemat di dalam album.

Bu Siti tampak jauh lebih muda di foto-foto tersebut. Rupanya album biru tua ini album lama. Beberapa anak kecil tampak mengerubuti Bu Siti. Mereka tampak ceria. Seakan lupa bahwa mereka tidak memiliki orang tua.

Sebuah foto menampilkan seorang gadis kecil berusia sekitar 4 tahun yang tengah duduk di kursi roda tertawa ceria ke kamera. Seorang anak laki-laki berkaus hijau garis-garis memegang pegangan kursi tersebut, mendorongnya. Anak laki-laki lain dengan kaus hijau yang persis sama berjalan di belakang mereka sambil menenteng kantung plastik putih berlogo sebuah minimarket.

Senja tersenyum. Lucu sekali mereka. Ini pasti masa kecil Winarni dan teman-teman pantinya. Dua anak laki-laki berbaju hijau garis itu, wajahnya sungguh mirip satu sama lain.

Kening Senja tiba-tiba sedikit berkerut. Wajah anak-anak laki-laki itu seperti familier. Sayang pengambilan fotonya jauh, ia tak dapat meneliti detail wajah mereka dengan jelas. Didekatkannya foto itu ke wajahnya. Lebih dekat lagi. Walau sampai melotot, ia masih belum yakin. Fotonya terlalu jauh.

Dibaliknya lembar berikutnya. Foto anak-anak yang lain. Ketika membalik untuk kedua kali, dua anak laki-laki itu kembali muncul. Kali ini dalam jarak dekat. Senja menaksir usia mereka sekitar delapan tahun. Kali ini baju mereka berbeda. Yang satu berkaus putih, berdiri di lapangan sambil mengepit bola. Anak itu tertawa. Rambut bergelombangnya berantakan dengan rumput kering menempel di pipinya yang tampak berkeringat. Sedangkan anak yang satu lagi memakai kaus abu-abu. Tidak memegang apa-apa. Tangan kanannya merangkul bahu si Kaus Putih. Ia tersenyum lebar. Rambut gelombangnya tak kalah berantakannya dengan si Kaus Putih, meski tak ada rumput yang menempel di pipi.

Kedua anak laki-laki yang sama-sama bertubuh kurus itu memiliki bentuk rahang yang khas, persegi. Alis mereka hitam tebal, menaungi mata berbentuk bulan separuh.

Kerutan di dahi Senja semakin dalam. Jantungnya berdebar. Anak-anak ini, wajah mereka jelas adalah versi anak-anak dari wajah suaminya.

Akan tetapi, di foto ini, kenapa suaminya ada … dua?

.
.

Halo, Pembaca. Apa kabar? Semoga semua sehat, ya. 😊

Sesuai peraturan dari penerbit untuk LANGIT DWI WARNA, maka insyaAllah saya akan memposting satu kali lagi untuk sosmed.

Kemudian, saat masa PO nanti, insyaAllah saya akan memposting 1 part spoiler. So stay tune 🤗💖




LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang