PART 15 - GEGABAH

1K 5 0
                                    


Apa yang harus kulakukan? pikir Mentari. Curhat pada Mami?

Ia menggeleng. Oh, tidak. Mami adalah orang yang paling mudah panik dan gampang trauma sedunia. Mami bakal langsung syok kalau tahu bahwa putri semata wayangnya telah menikah dengan gay.

Wanita itu menggigit-gigit kuku jempol kanan, mencoba mencari solusi. Mendekat ke ranjang, diamatinya paras suaminya yang tampak tenang. Ia berpikir bagaimana caranya memastikan bahwa lelaki ini gay atau bukan.

Buru-buru disambarnya ponsel merahnya dari nakas. Dibukanya browser, dan mengetik di kolom pencarian, “ciri-ciri pria gay”. Jemarinya sedikit gemetar saking tegangnya.

Adapun ciri-ciri gay hasil kesimpulan Mentari setelah membaca beberapa artikel di internet adalah:
Tampil modis dan sangat peduli dengan penampilan, rajin fitness untuk menjaga bentuk tubuh, selalu ingin tampil wangi. kemudian, bila pria normal cenderung menyukai kaus longgar, maka gay lebih suka slimfit yang memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Mentari naik ke ranjang. Duduk di samping Ray yang masih nyenyak, ia memindai tubuh sang suami yang tertutup selimut.

Sebenarnya kurang cocok. Mentari mempertimbangkan dalam hati. Mas Langit memang rapi dan wangi bila ke kantor, tetapi selebihnya, penampilannya biasa saja. Bajunya juga bukan yang ketat. Kaus-kausnya cukup longgar.

Ciri gay yang lain, menjaga jarak dengan wanita.

Nah, ini yang iya. Dia menjaga jarak denganku. Mentari mengeluh dalam hati.

Ciri lain lagi, jari kelingking melentik, gestur tubuh gemulai.

Ah, tidak. Mentari menggeleng sambil membatin. Mas Langit sama sekali tidak gemulai. Malah, ia termasuk macho.

Wanita itu mengacak rambut sendiri dengan frustrasi. Ia yakin, saking stresnya, ia tidak akan bisa tidur sampai pagi, memikirkan apakah suaminya seorang  gay atau bukan?


***

Ray mengerjap. Sedikit beringsut ke kiri, diraihnya ponsel dari atas nakas, dan mengecek penanda waktu yang tertera di bagian atas layar.

Ia bangkit duduk. Saat menoleh ke kanan, didapatinya Mentari tergolek tanpa selimut. Ponsel tergenggam pada tangannya yang terkulai. Tampaknya wanita itu tertidur saat bermain ponsel.

Ya, pemikiran Mentari salah. Tak lama setelah ia berpikir tak mungkin dapat tidur sampai pagi, wanita itu terlena ke alam mimpi. Pulas.

Ray mendecak, geleng-geleng kepala melihat cara tidur istrinya. Diambilnya ponsel merah dari genggaman lemas tangan putih itu, lalu meletakkannya di nakas.

Sejenak, ia memandang wajah yang pulas tersebut. Setelah seharian berkunjung ke berbagai tempat di Paris, pasti tubuh istrinya sangat lelah. Ray sengaja mengajaknya melakukan berbagai kegiatan dan berjalan-jalan agar tak ada waktu bagi mereka berdua untuk melakukan inti dari sebuah bulan madu, yaitu bermesraan.

Ia lelaki normal, hasrat itu tentu ada. Terlebih, Mentari bukan wanita buruk rupa. Ia cantik, malah. Sebenarnya, tak perlu cinta baginya untuk melakukan hal tersebut. Namun, Ray memperingatkan dirinya agar tidak gegabah bertindak.

Ia pernah gegabah saat mengajak Senja menikah, tanpa memperhitungkan kondisi dirinya yang tak memungkinkan mewujudkan hal itu. Terbuai cinta, ia melupakan segala aturan keluarga Mahardika yang mengungkung dan membatasi kebebasannya. Hingga dengan menggebu, melisankan janji yang ternyata tak mampu ia tepati.

Janji yang akhirnya menempatkan ia dan Bima dalam situasi rumit ini. Tanpa Bima, mungkin ia akan menjadi pria berengsek yang meninggalkan Senja begitu saja dalam kondisi patah hati.

Kali ini, ia akan sangat berhati-hati dengan Mentari. Sejujurnya, wanita manja kekanakan seperti putri keluarga Surya itu bukanlah tipe idamannya. Bila ia belum yakin ingin hidup seterusnya bersama Mentari, Ray memutuskan tidak akan mengambil hal berharga milik wanita ini.

Dalam tidurnya, Mentari menggeliat, mengubah posisi tubuh, lalu melanjutkan tidur dengan meringkuk.

Ray menarik selimut tebal hotel berwarna marun yang tadi dipakainya, lantas menyelubungi tubuh istrinya hingga ke bahu. Kemudian, lelaki itu beringsut, dan bangkit dari ranjang.

Dinginnya udara malam langsung menyambutnya begitu ia membuka pintu kaca menuju balkon. Ditutupnya kembali pintu itu, memutus keinginan angin untuk menerobos masuk ke kamar.

Setelah menekan tombol ponsel, ia menunggu. Disandarkannya punggung ke pembatas balkon dengan ponsel tertempel di telinga kanan.

“Assalamualaikum, Ray?”

Ray tersenyum tipis, sembari membalas salam tersebut.

“Jam berapa di sana?” Speaker ponsel mengantar pertanyaan Bima ke telinga Ray. “Seharusnya masih malam. Atau malah tengah malam?”

“Jam satu malam,” jawab Ray. “Di Indonesia jam tujuh pagi, kan? Kenapa? Apa kau belum bangun?” Di luar kemauannya, suaranya terdengar sinis untuk kalimat yang terakhir.

Bima terkekeh. Ray bisa membayangkannya menyeringai.

“Aku sudah bangun sejak Subuh tadi, Bro,” Bima menjawab.

“Bagaimana pernikahanmu kemarin? Lancar?” tanya Ray.

“Alhamdulillah lancar,” jawab Bima. ”Ibu dan yang lainnya menanyakanmu.”

Ray mendesah. “Sorry, Bim. Ibu dan anak-anak panti pasti heran aku nggak datang.”

“Nggak apa. Aku bilang kau di luar negeri.”

Ray tersenyum sendu.

“Kapan kau pulang, Ray? Kau nggak bermaksud menetap di Paris, kan?”

Ray membalikkan badan, menghadap Eiffel. Jarinya mengetuk-ngetuk besi pembatas balkon. Sekarang ia agak menyesal karena tidak mengenakan jaket. Udara malam ternyata lebih dingin daripada yang ia kira. “Dua hari lagi, Bim.”

“Langit!”

Ketukan Ray terhenti. Jarinya membeku di udara. Wajahnya menegang.

Suara yang baru saja masuk melalui speaker sangat ia kenal. Suara lembut yang pernah ia idamkan menemani hari-harinya. Suara itu memanggil namanya. Ray merasa seakan dirinya yang sedang dipanggil.

“Kau mau sarapan apa? Oh, kau sedang menelepon?”

Ray diam mendengarkan. Mendadak dinginnya angin malam tak lagi terasa.

“Apa saja, Say … Senja,” jawab Bima. Sedikit tergagap di akhir kalimat.

Ray mengangkat sudut kiri bibirnya. Ia bisa menebak kata apa yang batal diucapkan saudaranya.

“Aku ke tukang sayur dulu, ya. Aku lihat di kulkas nggak ada bahan.”

“Aku antar?” Bima menawarkan.

“Kau kan sedang menelepon. Lanjutkan saja. Aku tahu kok di mana tukang sayur. Kemarin, saat ke sini, aku melihat lapaknya. Keluar gang, belok kiri, kan? Jangan khawatir, aku bisa ke sana sendiri. Lagi pula, Ayah sedang tidur. Nanti bingung kalau bangun tidak ada orang.”

Percakapan itu bagaikan sandiwara radio di telinga Ray. Anehnya, ia tak ingin melewatkan satu pun kata dari suara yang sangat familier baginya itu. Suara yang selama setahun terakhir ia rindukan.

Suara Senja semakin keras, pertanda wanita itu berjalan mendekat ke arah Bima berada.

Memejamkan mata, Ray seolah dapat melihat wajah ovalnya yang lembut, melihat lagi mata bulat yang pernah ia kagumi. Rambutnya? Ia tak pernah tahu seperti apa rambut Senja.

Suara itu terdengar lagi. Dekat. Seolah bertanya kepadanya.

“Siapa yang menelepon pagi-pagi, Langit?”

Ray menahan napas. Bima juga terdiam.




LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang