PART 13 - EIFFEL

1.1K 3 0
                                    


“Syukurlah. Jangan membuatku sport jantung,” Bima menukas. “Aku yakin, saudaraku tidak akan menjadi seberengsek itu. Ibu telah menanamkan hal baik pada kita semenjak kecil.”

Ray kembali meneguk espresso-nya.

“Ray, ayah Senja tahu kalau aku bukan kau.”

Putra Mahardika itu sontak tersedak.

Masih terbatuk-batuk, diletakkannya cangkir. Isinya tepercik sedikit ke meja, membuat bintik basah di permukaan meja kayu berpelitur cokelat tua. Ia melotot ke arah Bima. Wajahnya menegang. “Gimana bisa?”

Bima mengangkat bahu, terkekeh. “Bagi orang-orang yang terbiasa melihat sesuatu secara detail, pasti akan terlihat perbedaannya. Dalam diamnya, ayah Senja ternyata tipe pemerhati.”

“Lalu gimana? Beliau marah?” tanya Ray, waswas.

“Alhamdulillah enggak. Ayah Senja bisa menerima penjelasanku tentang kondisimu. Beliau tak keberatan aku menggantikanmu. Beliau sangat mengkhawatirkan Senja.”

“Syukurlah,” Ray tersenyum lega, sekaligus getir.

“Aku merasa lebih tenang dengan restu beliau,” Bima berujar. “Hanya saja, aku mengkhawatirkanmu.”

“Aku sendiri yang memintamu menggantikan aku,” sahut Ray. “Seharusnya aku berterima kasih karena kau melaksanakan janji yang tak mampu kutepati.” Ditatapnya Bima. Mata hitamnya meredup. “Mereka memang membutuhkan bantuan untuk keluar dari rumah itu.”

Kegetiran dalam suaranya, tertangkap jelas oleh Bima. Namun, ia tahu, Ray lebih memilih dirinya menikahi Senja daripada membiarkan gadis itu tetap menderita di rumah merah bata. Bima tahu, Ray tulus kepada gadis bermata lembut itu.

***

Berdiri di rooftop hotel, pewaris Mahardika memandang jauh ke batas langit. Kedua tangannya terbenam di saku celana panjang.

Ia mendongak memandang langit. Matahari mulai tergelincir turun ke ufuk barat. Semburat jingga kemerahan perlahan muncul sebagai tanda datangnya senja.

Dulu, Bima kecil menatap nelangsa saat suami istri itu mengambil Ray seorang untuk diadopsi dan dilimpahi kasih sayang.

“Kau memiliki segalanya. Kau punya apa yang aku inginkan, Ray.” Bima remaja berusaha untuk tegar tersenyum, menyembunyikan air bening yang mengintip di sudut mata.

“Dan sekarang, kau akan memiliki apa yang aku inginkan, Bim,” bisik Ray.

Roda kehidupan memang selalu berputar. Kadang kau di atas, dimanja dengan kebahagiaan. Kadang kau di bawah, berjuang melawan penderitaan.

Ray mengembuskan napas perlahan, memandang pesona semburat jingga yang muncul seiring menepinya matahari.

Sesuatu dalam saku celana sebelah kanannya bergetar. Ray mengeluarkan benda persegi itu dan menggeser ikon telepon berwarna hijau yang bergerak-gerak.

“Assalamu’alaikum, Tari?”

“Mas Langit di mana? Kok belum pulang?”

“Iya. Aku pulang sekarang.” Ia menjeda. “Emm, Tari, ayo kita ke Paris.”

“Paris?” Suara Mentari terdengar heran. “Untuk apa?”

“Bulan madu.”

“Bulan madu? Kalau begitu, ke Tretes saja, Mas.”

“Paris dulu. Tretesnya bisa nanti,” Ray berkata tegas, memberi isyarat tak ingin dibantah. Setelah mengucap salam, ditutupnya sambungan jarak jauh tersebut.

Menghela napas, lelaki itu memandang senja yang menjingga di kejauhan untuk terakhir kali, sebelum beranjak pergi.

Dalam hidupnya, ia harus merelakan senja menghilang dalam gelap malam, dan bersabar menanti hingga mentari dapat terbit di hatinya esok hari.

Ya, ini sudah yang terbaik.

Ini adalah solusi terbaik yang mampu ia usahakan. Dengan begini, utang budi kepada orang tua angkatnya dapat ia lunasi. Dan dengan bantuan Bima, janjinya mengeluarkan Senja dari rumah merah bata pun dapat ditepati.

***

Eiffel menjulang ke angkasa. Lampu-lampu yang terpasang pada menara itu berkilau memancarkan cahaya keemasan. Sinarnya membebaskan sekitar dari gulita malam. Tampak begitu megah.

Sayang, Ray tak terlalu menikmati keindahan yang disuguhkan oleh ikon Paris tersebut. Bersandar di besi pembatas balkon hotel, lelaki itu menerawang. Angin malam membelai rambut hitamnya yang bergelombang, menggerakkan helaian rambut itu seolah mencari perhatian.

Namun, Pria itu bergeming. Manik matanya yang meredup memandang gumpalan-gumpalan asap putih yang ia semburkan dari bibir. Batang putih penghasil asap tersebut setia terjepit di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

“Aku nggak akan datang, Bim.”

Itu yang ia katakan kepada Bima dua minggu lalu, saat saudara kembarnya menyodorkan selembar undangan sederhana berwarna cokelat. Mereka bertemu kembali setelah persiapan pernikahan Bima mendekati sempurna. Berkas-berkas telah diselesaikan. Pernikahan itu di ambang mata. Pojok ruang kafe yang mereka pilih saat itu sangat cocok untuk perbincangan pahit, ditemani hitamnya kopi.

Cangkir minuman berkafein yang tengah dalam perjalanan menuju mulut Bima terhenti di udara.

Raut Ray datar, seolah-olah tanpa ekspresi, sementara netranya membaca nama kedua calon mempelai. “Senja Cahyadewi & Langit Abimanyu”. Diletakkannya undangan itu ke meja. “Pernikahanmu bertepatan dengan perjalanan bulan maduku ke Paris. Sorry.”

“Paris?” Bima menaikkan sebelah alis. “Bukankah pernikahanmu sudah berlalu empat bulan? kenapa tidak bulan madu saat baru menikah?”

“Waktu itu aku sibuk. Baru bisa sekarang.”

Bima menatap wajah yang serupa dengan dirinya itu, lama. Lantas, perlahan melanjutkan perjalanan cangkirnya yang sempat tertunda dan menyesap cairan hitam di dalamnya.

Bukan. Bukannya Bima tak mengerti apa yang berkecamuk di dada saudaranya.

“Bukankah memang lebih baik Senja tak melihatku? Bukan tidak mungkin dia akan mengenaliku.”

Perkataan Ray menghentikan tegukan Bima. Jakunnya yang semula bergerak seiring mengalirnya kopi di kerongkongan, seketika berhenti.

“Mas Langit merokok?”

Suara bernada heran itu membuyarkan lamunan Ray tentang perbincangannya dengan Bima dua minggu lalu di sudut sebuah kafe.

Ray menoleh, kemudian memaksakan senyum tipis kepada wanita berkulit putih dalam balutan sweter motif bunga yang tengah berjalan ke arahnya.

“Kadang,” jawab Ray, menjentikkan batang putih di tangan kanannya ke tepi asbak yang ia pegang di tangan kiri. Abu di ujung gulungan tembakau itu luruh ke dasar wadah berbentuk segitiga dari keramik biru. “Jangan ke sini kalau tak suka asap rokok, Tari.”

Mentari baru menghentikan langkah setelah tiba di sebelahnya, menatapnya dengan mata sipit yang dibeliakkan, berusaha tampak galak. “Apa Mas Langit tak tahu bahwa merokok buruk untuk kesehatan?” Wanita itu memajukan bibir, sedikit cemberut.

Ray terkekeh. “Baiklah, baiklah.” Ditekannya ujung rokok ke asbak hingga baranya mati.

Mentari meletakkan kedua tangan di besi pinggiran balkon, berdiri dekat di samping Ray. Bibir tipisnya melengkung kala netranya menatap kagum ikon Paris di hadapan. “Menara itu keren ya, Mas.”

Ray tidak menjawab, hanya ikut memandang Menara Eiffel yang berdiri gagah sendirian di tengah keramaian bangunan lain di bawahnya, juga para manusia yang mengaguminya.

“Mas Langit.”

“Hm?”

“Bukankah hari ini Mas Bima menikah?”

Pertanyaan Mentari bagai menyenggol belati yang tertancap di ulu hati. Ray meringis nyeri.

“Hmm … ya,” jawab pria itu.

“Lalu kenapa kita nggak hadir? Kenapa kita malah ke Paris?” Mentari beralih menghadapkan tubuh ke arah Ray yang masih menatap Eiffel.

“Kita sedang berbulan madu,” Ray menjawab pendek.

Mentari mengangkat sebelah alis. “Kenapa kita justru berbulan madu sekarang? Toh pernikahan kita sudah lama. Seharusnya kita bisa berangkat ke Paris pekan depan, jadi kita tidak melewatkan pernikahan Mas Bima.”

Ray tidak menjawab, lebih memilih untuk membuang matanya ke arah Eiffel.

“Meskipun tidak dibesarkan dalam keluarga yang sama, tetapi kalian kan sedarah. Mas Bima satu-satunya saudara kandungmu.”

“Bima tak keberatan bila aku tak hadir,” Ray berdalih.

Bima juga tahu, akan jadi masalah bila Senja mengenaliku. Lelaki itu melanjutkan dalam hati.

“Mas Bima nggak keberatan kau tak datang?” Mentari mengernyit. “Itu aneh. Kalian jadi kayak musuhan saja.” Wanita itu tertawa kecil. “Aneh … padahal kulihat kalian berdua selalu kompak.”

Mungkin saat ini pun, kami sedang kompak, batin Ray.

“Aku hanya punya waktu luang sekarang, Tari. Setelah menikah kan, kita belum sempat berbulan madu.”

Perkataan Ray menyemburatkan warna merah muda di pipi istrinya. Mata sipit wanita itu berbinar dengan harapan, sekaligus rasa heran. Mentari berjinjit, melongokkan wajah ke hadapan Ray, menginterupsi Eiffel dari pandangan suaminya. “Kalau sedang berbulan madu, kenapa kau tampak murung?”

“Benarkah?”

Mentari mengangguk.

Ray menatap lama wajah putih susu di hadapannya. “Mentari, kenapa kau memilihku?”

Mentari menelengkan kepala ke kanan. Seperti gaya anak kecil, kalau menurut Ray.

“Kenapa memilihku, padahal kau tidak mengenalku?”

“Aku mengenalmu,” jawab Mentari. “Kita berkenalan sambil minum teh bersama boneka.”

Alis Ray sedikit berkerut, mencoba mengingat momen yang dimaksud oleh Mentari.

LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang