PART 5 - PETIR MENYAMBAR

1.5K 5 0
                                    


Satu detik, dua detik … satu menit.

“Tapi … aku harus membawa Ayah,” gadis itu berkata ragu.

“Tentu saja ayahmu ikut kita.” Ray tersenyum.

“Sungguh?” Mata bulat itu berbinar laksana bintang, penuh dengan harapan. “Kalau begitu, aku … i-iya, aku mau. Aku ingin segera keluar dari rumah Om. Ayah juga tampaknya sudah nggak tahan tinggal di situ, Langit.” Netra bening itu berkaca-kaca. “Alhamdulillah ….”

***

“Kau melamarnya?” Suara Bima terdengar dari speaker ponsel yang menempel di telinga Ray.

“Yap,” Ray berucap antusias. Wajah tampannya berseri-seri. “Dan, alhamdulillah dia menerimaku. Makanya, doakan aku diterima di PT. Rajawali, agar kami bisa segera menikah.”

Tak ada suara di seberang. Hanya desah halus napas Bima.

“Kenapa, Bim? Tak memberiku selamat? Jangan bilang kau tak setuju.”

“Hei, aku mana pernah bawel dengan pilihanmu, Ray.” Bima menjeda. “Cuma ... apa kau yakin orang tuamu akan setuju?”

Ray tertegun. Dia lupa mempertimbangkan ini. Bima mungkin sering iri dengan segala yang ia miliki, tetapi bila ada satu hal di dunia yang justru dimiliki Bima dan tidak dimilikinya, itu adalah ... kebebasan.

***

Sejak pagi, Madiun dipayungi mendung. Awan-awan kelabu tak jua mau beranjak dari langit kota yang terkenal dengan jajanan brem itu.

Namun, sendunya cuaca tak memengaruhi semringah di wajah Ray. Betapa tidak, Manajer PT Rajawali cabang Madiun baru saja memberi tahu bahwa ia diterima sebagai karyawan perusahaan elektronik tersebut. Namanya tertulis paling atas di kertas pengumuman kelulusan calon karyawan. Itu artinya, ia sudah mengibas lepas status pengangguran.

Dan, itu artinya, ia sudah bisa untuk … menikahi Senja.

Ia ingin segera pulang dan menceritakan kabar baik ini kepada abi dan umminya. Sekaligus meminta restu mereka untuk secara resmi melamar Senja.

Sepatu pantofel hitamnya berdetak di lantai kantor yang kinclong mengiringi tiap langkahnya yang penuh antusiasme. Harapan indah terbayang di depan mata. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

Senja, aku datang!

***

“Abi tahu kau pasti bisa!” Pak Mahardika tersenyum lebar penuh kebanggaan, sambil menepuk-nepuk punggung Ray yang tak kalah semringahnya.

“Ya jelas to, Bi. Anak siapa dulu,” Bu Mahardika menimpali, seraya meletakkan sepiring roti goreng isi pisang, keju, dan cokelat di meja kaca di depan kedua pria itu. “Ummi dan Minah bikin roti goreng, nih. Ayo, dicicipi. Mumpung masih hangat.”

“Anak Ummi laah. Langit Arrayan Mahardika.” Ray menepuk dadanya dengan gaya pongah, yang disambut tawa manis Bu Mahardika. Lelaki muda itu mengambil roti goreng buatan sang ummi. Yah, sebenarnya, roti goreng ini sudah pasti buatan Minah—asisten rumah tangga mereka—dengan arahan resep yang diperoleh Bu Mahardika dari majalah, internet, atau teman arisan. Ray tahu umminya tidak begitu bisa memasak.

“Tapi ingat, kamu bekerja di perusahaan itu hanya sebentar. Setelah ini, kamu harus mengurusi usaha hotel Abi.”

Senyum Ray sedikit memudar.

Ya, memang itu peraturan yang diterapkan abinya kepadanya. Begitu lulus, ia harus mencari kerja di tempat lain dulu, baru memegang bisnis sang abi.

Namun, sudah susah-susah menjalani beberapa tes hingga akhirnya diterima, berat hati rasanya bila ditinggal begitu saja. Ray sedikit mengeluh dalam hati.

Bu Mahardika yang melihat perubahan air muka Ray mengelus bahunya. “Abi nih ada-ada saja. Padahal nggak apa-apa lho kalau begitu Langit lulus kuliah langsung menjadi direktur hotel kita. Nggak perlu repot masuk perusahaan lain dulu segala. Kan dia capek jadinya.” Bu Mahardika sedikit cemberut. Tangan lembutnya yang mulai agak keriput masih membelai putra semata wayangnya.

“Kan biar mandiri dulu, Mi. Nggak langsung nepotisme,” ujar Pak Mahardika. “Juga untuk membuktikan pada besan kita bahwa anak kita ini memang mumpuni.”

Kata “besan” membentuk siluet seorang pria tua di kursi roda dalam benak Ray.

“Biar Surya tahu kalau Langit kita ini bukan anak manja yang bisanya cuma ngandalin fasilitas orang tua. Jadi dia yakin pada kemampuan menantunya.” Pak Mahardika terkekeh.

Kekehan yang justru bagai petir menyambar di kepala Ray. Tangannya yang tengah asyik menyuapkan roti goreng ke mulut sontak berhenti di udara.

Lelaki muda itu menegakkan punggung. “Om Surya … teman Abi yang di Surabaya?”

Abinya mengangguk dengan rona semringah menghiasi wajah, masih mengunyah nikmat roti goreng buatan istrinya—dan Minah.

“Apa … hubungannya Om Surya dengan besan?” tanya Ray, hati-hati. Jantungnya berdegup mulai tak karuan. Sebuah kemungkinan menyelusup masuk dalam benak dan membuatnya berkeringat dingin.

Pak Mahardika menelan kunyahan terakhir roti gorengnya, lalu meneguk air dari gelas jumbo yang telah disediakan sang istri di meja. Dokter meminta pria tua gemuk itu untuk berhenti mengonsumsi kopi, dan menggantinya dengan air mineral. Meneguk minumannya dengan tenang, Pak Mahardika tak menangkap tatapan nanar putranya yang mulai gelisah. Setelah meletakkan gelas kembali, dipandangnya Ray sambil tersenyum lebar. “Surya itu calon mertuamu. Kau ingat Mentari, kan? Iya, anak perempuan Surya. Nah, kalian berdua sudah kami jodohkan. Sekarang, kau sudah membuktikan mampu berdiri sendiri, jadi pernikahan bisa segera dilangsungkan. Tari juga sebentar lagi wisuda.”

Ray membeku.

Kekhawatirannya barusan ternyata tepat.

Lalu … Senja?
Bagaimana dengan Senja?
Dan janjinya kepada gadis lembut itu.

Tangan gemuk putih melambai-lambai di depan matanya, tetapi Ray masih mematung tak bereaksi. Bu Mahardika tertawa kecil sambil kembali melambai. “Tampaknya Langit syok, Bi. Nggak nyangka dia kalau dijodohkan sama gadis secantik Mentari.” Perempuan tua baik hati itu menarik tangannya dari depan wajah Ray dan beralih mengguncang bahunya.

Ray mengerjap, berusaha mengumpulkan akalnya, juga nyalinya. Ia harus berterus terang tentang pujaan hatinya kepada kedua orang tuanya, sebelum terlambat.

“Abi ….” Ray berdeham, menelan ludah satu kali, dua kali. Sementara itu, Pak Mahardika menatapnya dengan pandangan bertanya.

“Langit … sudah mempunyai gadis pilihan sendiri.” Takut-takut, Ray mengangkat matanya, menatap sang abi.

Kesunyian langsung menyelimuti. Bahkan udara pun seolah takut untuk bergerak. Tak ada angin sama sekali. Semua begitu … senyap.

“Kau punya pacar? Teman kuliahmu?” Akhirnya suara berat Pak Mahardika mengisi keheningan. “Abi kan sudah melarangmu pacaran.” Bukan bentakan. Namun, nada penuh penekanan yang membuat Ray sesak, merasa tertekan.

Ray segera menggeleng. “Langit tidak pacaran, Bi. Langit mengenal gadis itu tiga bulan yang lalu. Di Tangerang Selatan. Saat training kerja.”

“Kalau begitu, tak ada masalah. Kalian tak ada ikatan apa pun. Lupakan saja gadis itu,” tandas Pak Mahardika datar.

“Tapi, Bi … Langit telah berjanji akan kembali untuk melamarnya begitu diterima bekerja.” Suara Ray kini memelas, berharap sang abi bisa mengerti.

Pak Mahardika menyandarkan punggung dengan tangan kiri ditumpangkan ke sandaran sofa abu-abu. “Tinggal hubungi dia, dan katakan maaf karena kau sudah dijodohkan dengan gadis lain. Selesai perkara.”

Dan menghancurkan hati Senja? batin Ray, nyeri.

LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang