PART 6 - DUA

1.4K 6 0
                                    


Lelaki muda itu meremas kepalan tangannya yang berkeringat dingin. Wajah berbinar Senja saat ia berkata akan menikahinya dan membawa serta ayahnya terekam jelas dalam ingatan.

Bagaimana mungkin ia tega membuat harapan gadis lembut itu berkeping-keping?

“Abi … Langit menyukai gadis itu.”

“Kalian baru kenal. Perasaanmu padanya masih dangkal. Sebentar juga hilang.”

Ray tertunduk kelu.

Bu Mahardika memandang Ray dengan wajah sedih. Tak tahu harus berkata apa. Di balik kacamata bulat, mata tua itu berkaca-kaca. Di satu sisi, ia ingin putranya bahagia, tetapi di sisi lain, ada suami yang sangat ia hormati, perusahaan tempat mereka mengais rezeki, dan balas budi yang perlu untuk dilunasi.

Pak Mahardika mencondongkan tubuh ke depan, menatap tajam wajah putranya yang tengah menekuri lantai. Lantas, berbicara dengan volume sedang, tetapi penuh penekanan. “Langit, kau Abi besarkan untuk menjadi pewaris bisnis Abi. Jauh-jauh hari, bahkan semenjak kau masih anak-anak, Abi sudah sering menanamkan ini padamu.” Pria tua itu menjeda sejenak. “Surya, adalah teman Abi yang pernah menolong Abi saat perusahaan kita dalam kebangkrutan. Abi berutang budi padanya. Bila kau menikah dengan Mentari, bisnis kedua perusahaan bisa saling menguatkan. Kalian berdualah yang akan mengurusnya. Juga mewarisinya. Itu sudah Abi dan Surya rencanakan.” Suara Pak Mahardika sedikit tersengal. “Tolong, jangan rusak rencana kami hanya karena cinta sesaatmu.”

Mendengar suara abinya yang terengah, Ray mengangkat wajah, dan mendapati sang abi mengernyit sambil memegangi dada kiri.

“Abi?” Lelaki muda itu segera bangkit, pindah ke sisi Pak Mahardika. Begitu pun umminya, buru-buru menghampiri sang suami.

“Langit, sudah. Hentikan saja diskusinya,” pinta Bu Mahardika, seraya mengusap-usap punggung suaminya. “Tolong ambilkan obat Abi di laci nakas di kamar.”

“Baik, Ummi.” Ray segera bangkit dan menuju ke kamar orang tuanya. Kekhawatiran akan kondisi sang abi berkecamuk. Hatinya pilu. Runtuh sudah harapannya untuk membahagiakan Senja.

Ray bertanya-tanya, gadis seperti apa yang akan dijodohkan Pak Mahardika untuk menjadi istrinya? Apakah gadis kelas atas penyuka shopping, salon, parfum, dan barang bermerek?

Padahal, justru gadis sederhana yang lembut dan keibuan seperti Senjalah yang ia damba.

Memikirkan Senja, membuat dada Ray seakan diremas perlahan. Sesak.

***

Dibiarkannya deraian air dari shower terus menerpa kepala dan tubuhnya. Lalu luruh, menggenang ke lantai kamar mandi dan kemudian mengalir ke lubang pembuangan.

Sudah satu jam ia berdiam seperti itu, membiarkan shower menangis di atas kepalanya, seolah-olah mewakili hatinya. Sudah terlalu lama untuk keperluan mandi. Biarlah, Ray tak peduli. Ia ingin mendinginkan kepalanya yang terasa mengepul.

Perlahan, tangan Ray terangkat, dan mematikan keran. Diraihnya kimono mandi putih berbahan handuk untuk menyelimuti tubuhnya yang kini kedinginan.

Cermin di wastafel memantulkan wajah lelaki dengan rahang persegi. Rambut legamnya kuyup. Tak ada senyum menghiasi wajah itu.

“Apa kau menyukaiku, Senja?” Itu pertanyaan Ray seminggu yang lalu, setelah Senja menyetujui tawarannya untuk bermasa depan bersama.

Gadis itu merona. Untuk sejenak, hening. Namun, karena Ray tampak menunggu jawaban, dan pria itu jelas memaksa ingin dijawab, akhirnya Senja malu-malu berucap, “Yah ... tentu saja aku menyukaimu. Kau laki-laki yang baik, Langit. Lagi pula, aku menyukai bentuk wajahmu.”

“Bentuk wajahku? Seperti apa wajahku?”

“Yaa ... ya seperti itu.” Senja salah tingkah. “Wajah yang khas. Sangat khas. Rahang persegi, hidung mancung, rambut bergelombang.” Gadis itu menutup mulut dengan sebelah tangan, menyembunyikan senyum yang dikulum. Muka ovalnya kian memerah.

Saat itu, Ray merasa di awang-awang. Betapa ia bersyukur dengan garis wajahnya yang khas.

Ya, saat itu.

Sedangkan, saat ini, ia justru menatap wajahnya dalam cermin dengan nanar. Wajah yang disukai Senja.

Ray tertunduk. Menumpukan kedua siku ke wastafel, ia meremas rambut kuat-kuat seraya mengepalkan kedua tangan, frustrasi.

“Aargh!”

Andai saja ia bisa membelah diri menjadi dua. Maka, satu dirinya akan mengikuti kemauan abinya, menikahi Mentari dan meneruskan perusahaan keluarga, mewujudkan impian lelaki yang telah mencurahkan segala biaya dan cinta kasih untuknya. Sedangkan dirinya yang lain bisa pergi menolong Senja keluar dari rumah merah bata yang penuh derita, menjaga dan membahagiakan gadis lembut yang telah mencuri hatinya itu.

Andaikan saja … andai ia ameba yang bisa membelah diri menjadi dua, agar baik abinya maupun Senja tak ada yang terluka.

Ray mengangkat kepala, menatap ke dalam cermin sambil membelalak, memperhatikan wajah berrahang persegi itu lekat-lekat.

Sesuatu tebersit di benak Ray. Hei, mungkin … aku memang ada dua.

🍃🍃🍃

Bangunan putih itu catnya telah kusam. Lebih kusam dari terakhir kali ia berkunjung ke sini, tujuh bulan yang lalu. Di halamannya yang bersemen dengan sedikit retak di sana-sini, seorang anak laki-laki berusia 10 tahun tampak berusaha memasukkan bola basket ke dalam keranjang. Anak itu tak patah semangat meski terus gagal dan gagal. Tulisan PANTI ASUHAN INSAN HARAPAN di papan yang tertancap di depan rumah tampak hitam legam seperti baru saja dicat ulang.

Mungkin Bima yang mengecatnya. Ray tahu, Bima cukup sering berkunjung ke panti asuhan ini.

Anak laki-laki yang bermain basket menyadari kehadiran Ray. Ia berlari mendekat dengan muka semringah. “Mas Bima!”

Ray melengkungkan senyum, membungkuk di hadapan anak itu, menyejajarkan wajah mereka. Telunjuk kanannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di depan wajah si bocah. “Kau yakin? Coba tebak lagi, Dit.”

“Oh?” Adit, anak laki-laki tadi, menelengkan kepala ke kiri. Matanya melebar meneliti wajah Ray, lalu turun ke kaus putih yang Ray kenakan hingga ke sepatu ketsnya yang putih bersih dengan dua garis biru tua. Kemudian, Adit kembali menatap mata hitam lelaki di hadapan seraya tersenyum lebar. “Mas Ray?”

“Gotcha!” Ray mengacungkan jempol kanan di depan wajah Adit, lalu kembali menegakkan tubuh. “Ibu di dalam?”

“Iya, Mas.” Adit mengikuti langkah Ray memasuki bangunan tua berwarna putih kusam itu.

Seorang wanita tua berjilbab abu-abu tampak menjahit, memperbaiki bagian yang robek dari kaus hijau milik salah seorang anak penghuni panti. Di sebelahnya, seorang gadis yang duduk di kursi roda terlihat asyik membaca buku memasak.

Ray menghampiri mereka dan mengambil tangan kanan wanita berjilbab abu-abu untuk dicium. “Assalamu’alaikum, Ibu.”

Wanita tua itu, Bu Siti, menjawab salamnya sambil memandanginya lekat-lekat, tampak berpikir. “Ray?” tebak pengasuh panti itu sambil tersenyum hangat.

“Bagaimana Ibu langsung tahu kalau dia Mas Ray?” tanya Adit, heran.

“Bima baru datang 2 hari lalu. Agak kurus. Nggak mungkin bertambah gemuk segini hanya dalam dua hari. Jadi yang ini pasti Ray.” Bu Siti tertawa. “Duduk, Ray. Ibu senang kau mampir.”










LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang