PART 14 - GAY

1.1K 6 0
                                    


Surabaya, 15 tahun yang lalu.

Gadis cilik berusia delapan tahun bergaun kuning kunyit menyodorkan cangkir kecil putih bergambar bunga matahari ke depan Anabelle. Ia bersama Anabelle dan beberapa yang lain sedang melakukan gelaran piknik di kebun belakang rumahnya. Tepat di bawah rindang pohon mangga.

“Silakan minum, Tuan Putri,” ucap Mentari kecil, bergaya anggun. “Tak lupa juga secangkir teh untuk Rosalia, Clara, dan ….”

Gadis cilik itu berhenti berceloteh. Perhatiannya pecah saat merasakan seseorang berdiri di sebelah kanannya. Kepalanya yang berpita kuning cerah refleks menoleh ke kanan.

Seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun berdiri mengamati gelaran piknik si gadis cilik.

“Kau mau ikut minum teh?” Mentari menawarkan, menunjuk tempat kosong di sebelah Clara.

Anak laki-laki itu duduk bersila di karpet kuning. Mentari mengamati anak berkemeja kotak-kotak biru dan celana jeans yang duduk di depannya. Bagi Mentari, bentuk wajah anak itu sungguh unik. Mukanya kotak. Benar-benar menyerupai kotak. Jarang ia melihat orang dengan bentuk wajah seperti ini.

“Kau Mentari, ya? Anak Om Surya?” Anak laki-laki itu bersuara.

“Iya.” Mentari mengangguk. “Kau siapa?”

“Aku Langit. Abi dan ummiku sedang bertamu di rumahmu.”

“Waah, namamu kayak itu.” Mentari mengacungkan telunjuk kecilnya ke atas, ke arah hamparan biru cerah dengan sedikit gumpalan awan putih di atas kepala mereka.

Senyum Ray—anak laki-laki tersebut—mengembang. “Iya.”

Mentari menuang cairan tak kasat mata dari teko putih bergambar bunga matahari kuning ke cangkir kecil, lalu menyodorkannya kepada sang tamu. “Silakan diminum.”

Ray menerimanya, lalu memandang cangkir kosong di tangannya. Menoleh ke kanan, ia melihat Clara yang berambut ikal pirang dengan pita kuning panjang melambai tertiup angin. Begitu pun boneka-boneka Mentari yang lain, mereka semua memakai pita panjang.

“Hei, kau harus berpura-pura meminumnya,” Mentari menegur, sedikit tak suka karena Ray tak meminum teh pura-pura yang ia berikan.

Ray tertawa, lalu membawa cangkir kosong itu ke bibir, pura-pura meneguk. “Kau lucu. Seperti adikku. Adikku juga seusiamu.”

“Siapa namanya?” tanya Mentari antusias.

“Winarni.”

“Dia di dalam? Sama orang tuamu? Bisa kau panggil dia ke sini?”

Ray menggeleng. Wajahnya berubah murung. “Dia tak lagi bersamaku. Atau … mungkin akulah yang tak lagi bersamanya.”

Mentari mengerjapkan sepasang mata sipitnya, tampak tak mengerti. Ray hanya tersenyum datar, terlihat agak sedih.

“Hei, maukah kau jadi kuda? Anabelle ingin naik kuda,” pinta Mentari, memandang penuh harap.

“Baiklah.” Ray tak keberatan. Diletakkannya cangkir kecil, lalu ia mengambil posisi merangkak.

Dengan girang, Mentari buru-buru mengambil Anabelle, kemudian mendudukkan boneka bergaun merah polkadot itu ke punggung Ray.

“Ayo, jalan, kuda!” celetuk Mentari. Ia berdiri di samping Ray sambil memegangi Anabelle agar boneka itu tak terguling jatuh. Tangannya memegang punggung kemeja Ray dan mengentak-entaknya. Dalam imajinasi si gadis cilik, kemeja itu adalah tali kekang. “Kuda, ayo, jalan!”

“Mentari, bukan seperti itu caranya,” protes Ray. “Bonekamu harus menyentuhkan kakinya ke perutku. Begitu cara membuat kuda berjalan. Ketuk pelan, tak perlu kasar.”

“Bagaimana kau tahu?”

“Begitu yang diajarkan di tempat kursusku. Aku ikut kursus berkuda.”

“Ooh, kau beruntung sekali!” Mentari berseru iri. “Aku selalu ingin naik kuda, tetapi Papi dan Mami nggak bolehin.” Gadis itu cemberut, tampak sedih.

“Jadi kau tak les apa-apa?” Ray bertanya sambil menoleh. Sulit memandang wajah lawan bicaranya dengan posisi merangkak seperti kuda.

“Aku dimasukkan kursus balet dan piano.”

“Itu juga bagus,” komentar Ray. “Cocok untuk anak perempuan.”

“Papi dan Mami juga bilang begitu. ‘Jangan berkuda, nanti jatuh, nanti luka. Balet, piano, atau biola saja. Anggun dan aman untuk anak perempuan’. Ugh! aku nggak suka! Aku nggak suka balet, piano, ataupun biola. aku ingin berkuda!”

“Hei, jadi jalan nggak, nih, kudanya?” tanya Ray, memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan karena gadis cilik di sampingnya mulai emosional.

“Oh, jadi,” jawab Mentari cepat-cepat. “Jadi, tendang perut kudanya, ya?”

“Bukan tendang keras-keras, lho, ya. Tapi ketuk pelan aja.”

Mentari memegang kaki kiri Anabelle dan menepukkannya ke pinggang Ray.

Sambil mendengus-dengus menirukan kuda, Ray berjalan dengan kedua tangan dan lututnya. Mentari di sampingnya, memegangi Anabelle agar tetap duduk di punggung Ray, tidak tergelincir jatuh. Anak perempuan itu mengikuti gerakan si kuda tampan dengan surai bergelombang sembari tertawa gembira.

“Siapa tadi namamu?

“Langit.”

“Langit siapa?”

“Langit Arrayan Mahardika.”

Pita kuning cerah di kepala Mentari ikut bergerak-gerak kala kepala kecilnya manggut-manggut.

***

“Ooh, yang main kuda-kudaan dulu itu,” ujar Ray, setelah dapat mengingat kapan tepatnya mereka berkenalan.

Mentari mengangguk dengan senyum cerah menghias bibir tipisnya.

“Dan saat kita bertemu lagi beberapa tahun kemudian, aku ingat kau masih saja mengeluh tentang papimu yang tidak memperbolehkanmu berkuda.” Ray tertawa kecil.

Mentari cemberut. “Sampai sekarang pun juga Papi masih melarang.”

Ray mendesah. “Memang ada kalanya, kita mau tak mau mengalah pada peraturan orang tua. Melepas keinginan sendiri.” Dibuangnya pandangan ke arah Eiffel, meskipun ia tak benar-benar memandang menara kebanggaan Paris tersebut. Pikirannya kosong dan semangatnya menguap.

Dari sudut mata, Mentari melirik Ray. Senyumnya melengkung saat teringat betapa beruntung ia hari itu mendengar perbincangan orang tuanya, sehingga bisa memilih sendiri calon suaminya. Kala itu, usianya 17 tahun. Di petang yang melelahkan, sepulang dari les piano, ia mendengar obrolan papi dan maminya di ruang keluarga.

“Siapa yang akan kita jodohkan dengan Mentari?” terdengar suara Pak Surya. “Ada baiknya segera memutuskan. Pemuda-pemuda dengan background pendidikan dan masa depan seperti anak-anak itu, banyak pengusaha lain yang juga ingin menjodohkan dengan putri mereka. Segera tentukan dan jalin kesepakatan dengan calon besan.”

Mentari mengendap-endap, merapatkan diri ke dinding, menguping. Jantungnya berdebar. Ia memang masih belia saat itu, tetapi gadis itu sudah tahu bahwa kelak saat dewasa, ia pasti akan mengalami perjodohan. Memang seperti ini nasib pewaris perusahaan. Bahkan papi dan maminya juga produk perjodohan.

“Sebaiknya kita ambil pemuda dari keluarga pengusaha hotel juga. Jadi sesuai dengan perusahaan kita. Bisa saling menguatkan.” Suara Pak Surya kembali terdengar.

“Papi sudah memperkirakan siapa saja yang tampak menjanjikan?” Suara Bu Surya. Mentari menahan napas, menajamkan telinga.

“Yang prestasi akademisnya bagus, keluarganya baik, dan perusahaannya cukup kuat, ada tiga,” kata Pak Surya. “Langit Arrayan Mahardika dari Hotel Mahardika, Frederic Ludwig Prasetyo dari Hotel Gandara, dan Anton Ridwan Simolangi dari Hotel Simolangi.”

“Langit saja,” Mentari menyeletuk, tiba-tiba menyelonong ke ruang keluarga, membuat orang tuanya terbengong-bengong sesaat. “Tari mau dengan Langit Arrayan Mahardika saja, Pi.”

Pak Surya dan istrinya berpandangan.

Mentari mengulum senyum bila teringat betapa berani dia saat itu. Dengan penuh keyakinan, merengek agar papinya menjodohkannya dengan Langit Arrayan Mahardika.

Kini, ditatapnya bagian samping wajah suaminya yang tertunduk, menekuri jalan beraspal nun jauh di bawah balkon tempat mereka berdiri. Rasanya sulit Mentari percaya, bahwa sekarang, lelaki itu telah menjadi miliknya. Sejak awal kenal, ada hal yang sangat menarik dari diri Ray bagi Mentari. Saat remaja, ia sudah memikirkannya, dan mengincar Langit Arrayan Mahardika untuk dijadikan suami. Lewat Ray, wanita itu berencana melaksanakan keinginannya yang lama terpendam.

***

Semua seakan sudah berjalan sempurna sesuai rencana Mentari. Hanya saja, ternyata ada ganjalan besar yang tak pernah ia perkirakan akan terjadi.

Suaminya tak pernah menyentuhnya.

Lelaki itu seolah membangun batasan di antara mereka. Saat Ray memasangkan cincin kawin di jari manisnya setelah akad, itu merupakan pertama dan terakhir sang suami menyentuh kulitnya hingga kini. Mentari tak mengerti kenapa? Ia bingung, tetapi terlalu malu dan gengsi untuk bertanya. Maka ia hanya bungkam dengan seribu tanya berseliweran dalam benak, tak tahu kepada siapa harus bercerita. Dalam diam, ia menduga-duga tanpa jawaban.

Dugaan-dugaan yang kini membuatnya tetap terjaga, memandangi suaminya yang lelap. Seharian tadi Ray mengajaknya berkeliling Paris mengunjungi banyak tempat. Dalam dua hari di Paris, mereka telah pergi ke Louvre Museum dan Pyramid, tempat tersimpan lukisan asli Monalisa. Kemudian ke Jardin Des Tuileries, taman besar tempat warga setempat suka berjemur. Selain itu, mereka juga mengunjungi Arc de Triamphe, monumen gerbang kemenangan, juga Notre Dame Cathedral. Ray juga mengajaknya naik perahu di Sungai Sine, dan piknik di tepiannya.

Sebenarnya, semua kegiatan tersebut mengasyikkan. Ray bersikap baik kepadanya. Liburan yang sempurna. Namun, kalau ini disebut bulan madu, maka ada satu hal yang justru tidak ada. Sesuatu yang menjadi ciri khas bulan madu.

Mentari memandang wajah berrahang persegi yang sepasang matanya terpejam itu. Selimut tebal menyelubungi tubuhnya yang terbalut piyama biru. Dada bidang suaminya naik turun perlahan beraturan sesuai irama napas. Seharian berkeliling tadi rupanya membuat lelaki ini lelah. Mentari juga merasa letih, tetapi pikiran yang mengganjal membuatnya tak bisa tidur.

Apa aku tidak cantik?

Pikiran itu mulai lewat di benaknya.

Apa bagimu aku tidak menarik?

Mentari mendesah lesu. Ia bangkit dari ranjang, dan melangkah ke depan cermin. Wanita muda bertubuh langsing dengan kulit seputih susu dan rambut legam sebahu terlihat di dalam cermin, balas memandang ke arahnya. Sepasang matanya sipit, dan tulang hidungnya agak tinggi. Ia menelengkan kepala ke kanan. Apa iya dia jelek?

Tidak, ah.

Menurut Mentari, ia cukup menarik. Mami dan papinya juga selalu mengatakan ia cantik—Yah, meskipun semua orang tua pasti akan mengatakan bahwa anaknya rupawan. Beberapa teman laki-laki pernah ada yang menyatakan ketertarikannya pada Mentari. Jadi, dia yakin, dirinya bukan tidak menarik.

Lantas, bila dirinya tak bermasalah, apa itu berarti suaminyalah yang bermasalah?

Mentari menoleh ke ranjang, tempat Ray tidur dengan damai.

Mendadak napas wanita itu tertahan. Kedua tangannya membekap mulut. Sebuah pikiran melintas.

Apakah Mas Langit tidak tertarik pada wanita?
Mungkinkah dia menyimpang? Tidak normal?
Mungkinkah dia ... gay?



LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang