PART 7 - PERMINTAAN SULIT

1.4K 6 0
                                    


Setelah menyapa gadis di kursi roda, Winarni, Ray menjatuhkan diri ke sofa tua, di samping Bu Siti. “Bima juga akan ke sini nanti siang, Bu. Mumpung akhir pekan, aku dan dia sepakat malam ini menginap di sini.”

Lelaki itu mengedarkan mata ke setiap sudut ruangan. Ia ingat pertama kali melihat wajah Pak Mahardika dan Bu Mahardika di ruangan ini kala ia berusia 9 tahun. Momen itu menjadi titik balik dalam hidupnya, mengubah kehidupannya seratus delapan puluh derajat.

Ia juga ingat ketika kembali dapat melihat wajah Bima saat usia mereka 15 tahun, ketika ia akhirnya diperbolehkan berkunjung ke panti asuhan ini lagi setelah diadopsi.

🍃🍃🍃

“Kau gila.” Bima mendesis, menatap Ray dengan mata menyipit. “Kau pasti sudah gila.”

“Bim ….”

Bima bangkit dari kursi makan dan berjalan menuju ruang tamu panti. Ray membuntuti.

“Bim, dengarkan aku dulu. Hanya ini satu-satunya jalan.”

Bima keluar dari pintu depan menuju halaman panti asuhan yang bersemen. Diambilnya bola basket dari kotak kayu di pojok halaman, lalu mulai melakukan dribble.

“Bim ….”

“Ide macam apa itu? Gimana aku bisa menggantikanmu menikahi gadis yang bahkan aku nggak kenal?” Suara Bima ditingkahi bunyi bola basket yang memantul-mantul di lantai semen.

“Paling tidak, cobalah pergi menemuinya! Dia gadis yang baik, sungguh!” seru Ray, berusaha mengalahkan berisiknya gedebak-gedebuk bola menghantam lantai semen. “Kau pasti akan … suka.” Suaranya melirih. Dadanya mendadak perih. Ia sedang meminta lelaki lain mengambil wanita yang disukainya. Bima benar, dirinya pasti sudah gila!

Ray merasa kekalutan ini telah membuatnya jadi gila.

“Tangkap, Ray!” Bima melakukan chest pass, mengoper bola kepada Ray. Namun, Ray bergeming, membiarkan bola tersebut menabrak dada bidangnya dan kembali jatuh ke lantai semen. Bola oranye itu memantul satu kali, kemudian menggelinding.

“Aku sedang nggak mood main basket, Bim. Sorry.”

“Nggak asyik kamu, Ray,” sahut Bima, sembari mengejar bola yang menggelinding. Rambut legamnya yang bergelombang melompat-lompat seiring gerakan kakinya yang berlari kecil. Ia mengadang jalan bola dengan kaki, membungkuk memungutnya, lantas melakukan dribble menuju tiang keranjang.

“Bim, pergilah temui dia. Aku nggak bisa tenang menghilang darinya begitu saja!” seru Ray, putus asa.

Bima melakukan shoot. Bola oranye berputar di ring besi, lalu bergulir masuk ke jaring jala. Lelaki itu membiarkan bola yang lolos dari jaring meluncur jatuh menghantam lantai semen sementara ia berbalik untuk berkacak pinggang kepada Ray. “Ray, kita memang kembar. Tapi bukan berarti selera kita sama. Kau dan aku, kita dibesarkan dengan cara yang berbeda, ingat? Gadis itu, siapa tadi namanya? Senja? Dia belum tentu menyukaiku. Demikian juga aku.”

“Dia akan menyukaimu, Bim,” ucap Ray, sedikit melirih. “Kau juga.” Ray menatap Bima dengan pandangan bingung. Ia bingung akan idenya sendiri, bingung dengan hatinya sendiri.

Membuang napas kasar, Ray menjatuhkan diri, terduduk di lantai semen. Ia menunduk, meremas rambut dengan frustrasi. “ARGH! Andai saja kau bisa menggantikan aku menjadi Langit Arrayan Mahardika, lalu menikah dengan anak teman Abi. Aku lebih ingin bersama Senja.”

“Oww, dan aku memimpin perusahaan abimu, begitu, ya? Pintar!” Bima mendecak. “Apa kau pikir ilmu yang kau dapat bertahun-tahun di bangku kuliah dapat kau transfer ke kepalaku seperti transfusi darah, begitu? Kau pikir ummi dan abimu nggak akan mengenali cara makanmu, cara ketawa, cara jalan, juga cara bermanjamu? Belum lagi keluarga besar, aku nggak kenal satu pun dari mereka. Nama mereka, juga background masing-masing. Bunuh diri namanya, Ray!”

Ray tertunduk, menekuri alas kakinya dengan lesu. “Aku tahu. Abi dan Ummi merawat dan membesarkanku bertahun-tahun. Mereka pasti tahu kalau kau bukan aku. Aku pun, tak mungkin jadi anak angkat yang tak tahu balas budi. Tak ada yang bisa kulakukan selain mengikuti harapan mereka demi apa yang selama ini telah mereka curahkan untukku.”

Bima mendekat dan duduk di samping Ray.

Ray mengangkat wajah, memandang saudaranya. “Karena itu, Bim. Kau hanya bisa menggantikanku untuk Senja. Dia baru mengenalku. Dia nggak akan tahu kalau kita dua orang yang berbeda.”

“Kenapa kau nggak berterus terang saja padanya, Ray?”

“Aku nggak tega melihat dia kecewa, Bim. Dan juga …,” suara Ray melirih, “Aku nggak mau berubah jadi pria berengsek pemberi janji palsu di matanya.” Ray kembali tertunduk, menekuri lantai semen. Nyeri berdenyut dalam rongga dadanya.

Bima meliriknya sekilas, lalu menghela napas.

***

“Tidak! Aku sudah bilang berkali-kali, aku nggak mau, Ray!”

Bima meneriaki ponselnya dengan gemas. Sejak pagi, Ray terus meneleponnya dengan rengekan yang sama. “Yang benar saja! Masa aku mengambil wanita yang dicintai saudaraku sendiri?”

Beberapa kepala menoleh, dan Bima baru tersadar bahwa ia sedang berada di sekolah, berdiri di koridor di depan deretan kelas. Siswa-siswa yang lewat melihat ke arahnya dengan terheran-heran. Seorang guru tua juga memandangnya dari balik kacamata yang melorot. Rekan kerja Bima yang berpostur bungkuk tersebut kebetulan lewat sambil mengepit buku-buku biologi ketika lelaki muda itu memarahi ponsel dengan emosi.

“Duh, Ray, sudah dulu, ya.” Bima mengubah teriakannya menjadi bisikan. “Aku sedang di sekolah, nih.”

Buru-buru diputusnya sambungan jarak jauh tersebut, lantas mengangguk sembari tersenyum rikuh kepada senior guru bertubuh bungkuk yang masih menatapnya dari balik kacamata yang melorot.

“Pak Langit Abimanyu,” panggil si Guru Biologi.

“Iya, Pak Siswoyo?” Bima menjawab sopan.

“Saya sebenarnya tidak ingin ikut campur. Hanya saja, saya merasa prihatin bila Pak Langit bermaksud merebut kekasih saudara Bapak. Saya mengerti, Pak Langit memang telah dewasa. Tentu organ reproduksi telah berkembang sempurna. Sehingga agak sulit mengendalikan kebutuhan biologis. Pasti masa yang berat bagi Bapak yang masih bujangan. Akan tetapi, Pak, di atas desakan kebutuhan tersebut, hati nurani harus tetap dikedepankan.”

Dua siswa di depan pintu kelas tampak menahan gelak, sedangkan tiga siswi yang kebetulan berdiri di dekat mereka cekikikan, sambil saling berbisik.

Wajah Bima merah padam. Ia membuka mulut untuk membantah, tetapi menutupnya lagi karena bingung harus menjelaskan apa. Keadaannya memang cukup rumit untuk dijelaskan, terlebih kepada pria tua yang sudah di ambang lansia. Guru yang setiap hari berkutat dengan gen, kromosom, dan sistem organ manusia itu pasti akan sulit mengerti peliknya situasi ini.

Pak Siswoyo menghampiri Bima dan menepuk punggungnya dua kali dengan agak keras hingga menimbulkan bunyi plak plak. “Ingat, Pak Langit, saudara tetaplah saudara,” ujarnya penuh penekanan, sebelum pergi sambil geleng-geleng kepala.

Bima mengusap dagu dengan gerakan kasar, agak kesal.

Ah, sial! Ini gara-gara Ray.

Gangguan Ray tidak berhenti sampai di situ. Ponsel Bima terus berbunyi sepanjang waktu. Tak kenal tempat, maupun situasi. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.

Bima tahu betul sifat saudara kembarnya. Ray akan terus berusaha hingga titik darah penghabisan.

Bima juga menyadari sesuatu, betapa Ray sangat mengkhawatirkan gadis itu.






LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang