PART 2 - SENJA

2.4K 6 0
                                    


Ada apa di rumah sebelah?

“Makanya, Om bilang kan kamu kawin aja.” Kali ini suara laki-laki. Terdengar ketus.

Wait! Kenapa aku menguping? pikir Ray.

Tiba-tiba ia tersadar, posisinya sedang menempel di dinding seperti cecak. Lelaki itu menggaruk tengkuk, merasa konyol. Terlalu kepo.

Beringsut menjauhi dinding, Ray membaringkan tubuh kembali. Ia memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Namun, suara teriakan-teriakan dan isakan masih terdengar.

***

Gadis itu berjalan tergesa melewati teras rumah petaknya kala Ray mengunci pintu. Lelaki itu menoleh sekilas. Sosok berjilbab yang barusan lewat itu pasti salah satu penghuni rumah merah bata yang tadi malam ingar bingar dengan teriakan. Tak mungkin salah, karena ini gang buntu. Rumah merah bata sebagai ujungnya.

Dengan langkah lebar, Ray melangkah di belakang gadis yang jilbab birunya dimasukkan rapi ke dalam seragam. Ray mengenali seragam biru merah kuning itu. Seragam khas sebuah jaringan retail waralaba ternama, minimarket yang telah menjamur di Indonesia.

Apakah gadis ini … yang tadi malam menangis?

Saat keluar dari gang, Ray berdiri sekitar satu meter di sisi kanan sang gadis. Sesekali, ia melirik tetangganya yang bahkan tak menyadari kehadirannya karena sibuk memperhatikan angkot yang lewat.

Jalan lebar beraspal itu telah dipenuhi kendaraan berasap yang lalu lalang. Entah angkot yang mana yang gadis itu tunggu. Ray sendiri tahu angkot seperti apa yang ia tunggu. Kemarin, ia telah survei lokasi kantor dan transportasi paling murah dan cepat untuk mencapainya.

Ray mengamati angkot-angkot yang melaju mendekat. Sekilas, ia melirik gadis yang berdiri gelisah sambil sesekali mengecek penanda waktu di pergelangan tangan kirinya itu.

Perlukah ia mengajak gadis tetangga dari rumah yang penuh keributan ini berkenalan?

Lalu, Ray melihat angkot hijau bergaris merah. Hmm, ternyata takdir tak mengizinkannya berkenalan dengan gadis tetangga. Angkotnya sudah datang, ia harus berangkat.

Baru saja lengan kanan Ray terangkat, gadis di sebelahnya sudah melambai-lambaikan tangan lebih dulu.

Angkot hijau bergaris merah mengerem mendadak. Bukan pemberhentian yang mulus mengingat sebelumnya ia ngebut. Angkot jago balap tersebut melewati gadis itu dan baru bisa berhenti sempurna di depan Ray.

Si gadis tetangga setengah berlari menghampiri. Manik beningnya memandang kepada Ray yang berdiri di depan pintu angkot, tak sengaja menghalangi jalannya untuk naik.

“Mas mau naik?” Ternyata suara gadis itu merdu.

Ah! Ray tersadar. “Mbak duluan saja,” ia mempersilakan, sembari mundur selangkah.

“Thanks.” Gadis itu memberikan anggukan kecil sambil tersenyum tipis, lalu naik dengan sedikit tergesa. Ray menyusul di belakangnya.

Angkot itu hampir penuh dan hanya tersisa dua tempat di tepi dekat pintu. Ray yang paling pinggir. Pengap terasa di dalam angkot. Ray bisa menghidu aroma parfum yang menyengat dari tempatnya duduk. Wangi, memang. Namun, terlalu menusuk. Seolah merampas oksigen di sekitar. Entah penumpang mana yang hari ini mengguyurkan isi botol parfumnya tidak kira-kira.

Ray melirik pada gadis di sebelahnya. Tetangganya itu menampilkan ekspresi melamun. Seolah raganya terbawa angkot, tetapi pikirannya entah ke mana.

Ray berdeham. “Mbak tinggal di rumah nomor 27?”

Gadis itu menoleh. Mata bulatnya melebar, menatap Ray heran. Kedua alisnya yang berbaris rapi terangkat.

“Aku baru pindah ke rumah petak di sebelah rumah Mbak,” Ray menjelaskan.

“Oh … iya.” Gadis itu terlihat kikuk.

“Aku Langit,” Ray memperkenalkan diri.

“Senja.” Gadis itu tersenyum.

Senyumnya lembut sekali, Ray membatin. Selembut nama dan wajahnya.

Senja … jadi, gadis inilah yang tadi malam menangis.

***

“Iya, Ummi. Tempat kos Langit enak, kok. Warung makan ada dekat sini. Menunya buanyak. Ummi nggak usah khawatir. Langit nggak akan kurang gizi di sini.” Ray terkekeh sambil mendengarkan wejangan-wejangan dari wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih itu. “Iya, iya, pasti, Ummi. Langit nggak akan lupa makan. Ummi juga jaga kesehatan, ya. Jangan banyak khawatir. Sungkem buat Abi, ya, Mi. Abi jangan lupa kontrol ke dokter. Tiga bulan lagi Langit pulang.”

Setelah mengucap salam dengan hangat, Ray mengakhiri pembicaraan jarak jauh itu. Senyum menghiasi wajah cakapnya. Seorang ibu memang selalu over protektif terhadap putranya.

Ia baru akan beranjak keluar ketika ponselnya menyala dan bernyanyi lagi. Senyum sekali lagi tersungging saat membaca nama si penelepon. “Yoo, Bim?”

“Ray, Bu Siti sakit.”

“Oh, sakit apa?”

Masih ada dalam ingatan Ray, segala kebaikan yang pernah Bu Siti berikan kepadanya. Bagaimanapun, Bu Siti sangat berjasa pada dirinya. Tanpa Bu Siti, bisa jadi sekarang ia tak ada di sini. Tanpa Bu Siti, barangkali ia, juga Bima, hanya tinggal nama.

Oh, salah. Mereka berdua bahkan mungkin tak pernah bernama.

“Tifus.” Speaker mengantarkan suara Bima ke telinga.

“Waduh! Aku ingin nengokin. Tapi aku nggak bisa ke sana sekarang, Bim,” sesal Ray. “Aku masih di Tangerang Selatan. Tiga bulan lagi aku baru pulang. Sayangnya, Abi juga sedang kurang sehat. Kalau enggak, mungkin Ummi berkenan menjenguk Bu Siti.”

“Jangan khawatir, Bro. Fokus aja sama training-mu. Aku akan sering nengokin Bu Siti.” Kata-kata Bima itu melegakan hati Ray yang risau. “Semoga abimu lekas sehat juga, ya, Ray.”

“Thanks, ya, Bim”

“Oke.”

Ray menurunkan ponsel setelah menjawab salam Bima, sembari mengembuskan napas pelan. Bima memang selalu pengertian.

Buru-buru disimpannya ponsel ke dalam saku celana karena terdengar gemuruh bersahutan dari dalam perutnya. Cacing-cacingnya berdemo. Padahal baru pukul tujuh pagi, tetapi lambungnya sudah minta diisi. Tidak peduli bahwa ini hari Minggu saat semua orang ingin berlama-lama bergelung di tempat tidur.

Saat membuka pintu, ia melihat Senja lewat sambil mendorong pria tua di atas kursi roda. Gadis itu tampak berbicara pada laki-laki yang hanya diam termangu itu.

Ray segera mengunci pintu dan mengikuti mereka dari belakang.

“Udaranya segar, ya, Yah?” Terdengar gadis itu bertanya kepada sang pria tua.

Oo, ternyata lelaki itu ayahnya. Ray manggut-manggut kecil.

“Ayah ingin dimasakkan apa? Ayah boleh request lebih dari satu macam masakan. Hari ini Senja libur, jadi bisa masakin sebanyak yang Ayah mau.” Gadis itu terus berceloteh, meski hanya ditanggapi oleh sepi. Ia bahkan tak menyadari keberadaan lelaki muda yang berjalan pelan di belakangnya. Ia terus berbicara dengan lembut kepada pria berambut putih nyaris botak yang tengah didorongnya.

“Hari ini Ayah ingin berjalan-jalan ke mana? Kita mampir tukang sayur, ya. Kita beli kentang, daun bawang, sayuran, juga ayam. Ayah mau kan makan fillet ayam? Juga salad. Lalu—”

Kalimat Senja terpotong saat terdengar suara ranting patah terinjak di belakangnya. Ia menoleh dan mendapati Ray yang tampak salah tingkah seperti maling yang tertangkap basah. Lelaki itu memandangnya sambil menggaruk tengkuk.

“Langit?”

Ray berhenti menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menegakkan punggung, lalu mengangkat sebelah tangan. “Hai.”

“Sedang apa?” tanya Senja. Mata bulatnya masih menatap Ray nyaris tak berkedip.

“Mau cari sarapan.“ Ray berjalan mendekat. “Ayahmu, ya?”

Lelaki tua itu menoleh memandang Ray. Ah, ternyata Bapak Tua ini bisa merespons. Ray mengangguk sopan. “Saya Langit, Pak.”

Mata pria tua itu hanya memandangnya. Namun, tak mengeluarkan tanggapan apa pun.

“Ayah sudah lama enggan bicara. Maaf,” Senja berbisik lirih.

Ray mengangguk, memaklumi.

“Mau ke mana?” tanya Ray, mengganti topik pembicaraan, ingin menghalau murung yang hinggap di wajah gadis itu saat membicarakan kondisi ayahnya.

“Ke tukang sayur.”

“Sini, aku dorongin kursi rodanya,” Ray menawarkan.

“Eh, nggak usah, Langit.”

“Nggak apa-apa. Sekalian aku juga ingin jalan-jalan, lihat-lihat daerah sini.” Lelaki itu maju, dan tanpa menunggu izin mengambil alih kursi roda, lalu mendorongnya perlahan. Senja terpaksa mengikuti.


LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang