PART 10 - BUKAN ORANG YANG SAMA

1.2K 4 0
                                    



“Kau jadi lebih kurus, Langit.” Senja mengamati Bima. Mereka duduk berdampingan di bangku taman. Sang ayah duduk diam di kursi roda di sebelahnya, juga memandang Bima.

Tentu saja, batin Bima. Ray setiap hari dijejali umminya dengan makanan bergizi, tentu lebih gemuk daripada aku yang harus hidup berdikari. Ia tersenyum getir, membayangkan betapa ia dan saudaranya tumbuh besar dengan cara yang sangat berbeda.

“Apa karena pekerjaanmu di PT Rajawali sangat berat?”

“PT Rajawali?” Bima menjeda, menggaruk pelipis dengan ujung jari. “Hmm ... aku tidak diterima di PT Rajawali,” jawabnya. Itu benar. Ia memang tidak pernah diterima di PT Rajawali. Bahkan, ia tidak pernah mendaftar. Raylah yang menjadi karyawan di perusahaan tersebut.

“Oh?” Senja tampak merasa bersalah telah bertanya. “Maaf.”

Bima hanya menjawab dengan senyum.

“Tak mengapa, Langit. Kau bisa mencari pekerjaan di tempat lain.” Senja berusaha menghibur.

Lelaki itu mengusap dagu, berdeham.

Karena pria di sampingnya tak mengucap sepatah kata pun, Senja kembali berusaha membesarkan hati. “Insya Allah, nanti ada rezeki lain untukmu. Jangan putus asa, ya.”

Tak ada jawaban. Lelaki di sampingnya hanya diam memandang anak-anak kecil yang berlarian di taman itu, sementara telinganya mendengarkan kata-kata Senja.

Angin berembus cukup kencang, membuat jilbab jingga Senja melambai-lambai. Gadis itu memegang bagian depan jilbab agar tidak tersingkap. Pepohonan bergoyang-goyang, seolah-olah menari. Daun-daun kering terangkat dari tanah, dan berputar-putar mengikuti arah angin, untuk kemudian terhempas ke tanah lagi setelah sejenak terseret.

“Coba beri tahu aku background pendidikanmu, Langit. Kalau aku melihat ada lowongan yang sesuai, nanti kau kukabari.”

Bima menatap mata polos Senja, lantas menyunggingkan seulas senyum. “Tidak usah, Senja. Aku sudah dapat pekerjaan.”

“Oh ya? Di mana?”

“Di sekolah. Aku guru SMA.”

“Benarkah? Sudah diterima?”

Bima mengangguk

Wajah Senja seketika berseri. “Alhamdulillah … Itu bagus sekali.”

“Menurutmu, guru profesi yang bagus?”

“Tentu saja.” Senja melengkungkan senyum. Kedua matanya ikut melengkung, seakan-akan turut tersenyum. Sebentuk senyum tulus.

Bima mengamati gadis itu dengan matanya yang tajam.

🍃🍃🍃

“Hari ini, Abi mengajakku ke rumah Om Surya. Sekarang, pernikahan telah dipersiapkan. Aku ... benar-benar tidak bisa mundur.”

Malam harinya, suara Ray yang dihantarkan speaker ponsel menjadi pengantar tidur bagi Bima. Lelaki itu duduk bersila di dipan ukuran single di kamar indekosnya. Hawa Tangerang Selatan yang panas membuatnya berkeringat. Tak ada AC di kamar berukuran 3x4 meter persegi tersebut. Karena hanya tiga minggu di situ, Bima memutuskan tidak membeli kipas angin dan bertahan dengan kipas manual berupa brosur minimarket.

“Seperti apa Mentari?” tanya Bima. “Kalian sudah saling mengenal sebelumnya, kan?”

“Entah. Aku tak terlalu mengenalnya.” Suara Ray menjawab di seberang. “Tadi pertemuan kami yang ke empat. Sepertinya gadis manja kekanakan yang ingin memberontak kepada papinya.” Terdengar helaan napas. “Duh, kenapa gadis itu memilihku?”

“Dia yang memilih?”

“Kabarnya begitu. Dari pembicaraan Ummi dan Bu Surya tadi, kandidatnya sebenarnya ada tiga. Aku, Frederic Prasetyo dari Hotel Gandara, dan Anton Simolangi dari Hotel Damai.”

“Mungkin kamu yang paling ganteng?” Bima berkelakar.

“Apa kau sedang memuji dirimu sendiri?” sahut Ray, yang ditanggapi gelak Bima.

“Anton memang biasa, tetapi Frederic, kabarnya banyak gadis terpikat pada wajah blasterannya. Kalau hanya perkara tampang, aku kalah dari Frederic. Dan, tentu kau juga, Tuan Sok Tahu.”

Bima terbahak mendengar kalimat terakhir Ray. Tentu saja, kalau Ray kalah dari Frederic, otomatis dia juga, karena wajah mereka serupa.

“Apa mungkin gadis itu, Mentari maksudku, menginginkan sesuatu darimu, Ray?”

“Terus terang, aku juga curiga demikian.”

“Sesuatu yang kau miliki, tetapi tidak dimiliki oleh si blasteran Frederic.”

“Tapi apa?”

“Mana aku tahu.”

Hening menjeda obrolan. Mungkin Ray sedang berpikir keras mencari “sesuatu” itu.

“Bim, Senja, bagaimana kabarnya?”

“Kabar yang bagaimana yang kau tanyakan?” Bima balas bertanya.

“Yah … apa dia sehat? apa tampak sedih?”

“Dia tampak sehat.”

“Syukurlah.”

“Di akhir pekan masih mendorong kursi roda ayahnya.” Bima melanjutkan laporannya. “Dan sangat gembira saat melihatku. Hmm, lebih tepatnya, dia kira, melihatmu."

Di ujung sana, suara Ray menghilang sesaat, seolah menahan napas. “Dia tidak curiga?”

“Mungkin sedikit heran.”

Suara Ray kembali berganti senyap. Selama beberapa saat, hanya terdengar desah napasnya. “Andai saja aku bisa kembali pada Senja. Tapi ... aku benar-benar tidak bisa.”

🍃🍃🍃

Dua minggu berlalu. Senyum simpul Bima kian sering muncul membersamai Senja yang tampak bahagia dengan kehadirannya.

Menghilangnya Ray sempat menghadirkan kecemasan dan tanda tanya bagi gadis bermata lembut itu. Kini, ia lega, dan bahagia, dapat bertemu dengan sosok itu kembali. Tanpa mengetahui, bahwa dia bukan pria yang sama.

Berbeda dengan Ray yang setiap malam mendengar teriakan-teriakan dan isakan dari rumah merah bata, Bima tak mendengarnya. Ia tak tinggal di kamar yang dulu Ray tempati.

Senyuman lembut Senja, itu yang selalu terlihat oleh Bima. Meski terkadang, sembap yang tampak di mata bulat itu membuatnya mengernyit, bertanya-tanya. Cerita yang dikisahkan Ray kepadanya seolah menjadi jawaban penyebab mata sembap dan hidung memerah gadis itu.

“Baju kotor itu segera dicuci! Jangan ditumpuk! Bikin bau rumah. Apalagi kemarin pas bapakmu muntah.” Suara serak seorang wanita terdengar saat pagi ini Bima sengaja mendatangi rumah Senja. Dua hari lagi ia harus kembali ke Surabaya. Selepas salat Subuh, lelaki itu lari pagi sekalian ingin mampir ke rumah Senja, dan ternyata disambut suara teriakan.

“Baju Ayah kan langsung Senja cuci begitu Senja sampai rumah, Tante.”

“Iya, tapi kamu kan pulang kerja sore!” Suara wanita yang dipanggil “Tante” itu makin garang. Tampaknya semakin kesal. “Bayangin! Sampai sore, aku harus nahan bau muntahan. Kau kira enak apa?”

“Maaf, Tante.” Suara Senja melirih.

“Mana, yang katamu ada laki-laki yang mengajakmu menikah? Katamu nungguin dia. Mana? Sampai sekarang orang itu ngilang, kan? Hah, omong kosong!”

Bima, yang berdiri di depan pintu, masih menahan salam yang sudah akan ia lisankan. Tak dimungkiri, ia merasa terkejut melihat adegan di depan matanya kini, dan memutuskan untuk sejenak mengamati.

“Lelaki itu pasti nggak serius sama kamu. Nungguin dia, mau berapa tahun lagi kalian mau numpang di sini? Padahal kami tuh udah nggak tahan terbebani sama kali—” Kalimat sang Tante terputus saat matanya menatap sosok lelaki berkaus abu-abu yang berdiri di depan pintu dengan wajah tegang.

🍃🍃🍃

“Kau pasti senang tak lagi mendengar teriakan-teriakan kami dari balik tembok kamarmu.” Senja tertawa sambil mengikuti langkah Bima yang mendorong kursi roda. Tangannya terangkat untuk mengusap air mata yang mengaliri pipi. Ya, ia tertawa sambil menangis.

Bima tidak menjawab, terus mendorong kursi roda dalam diam. Benaknya berkecamuk. Tawa gadis di sebelahnya terasa menyakitkan.

Senja pun berhenti bicara, berhenti tertawa, hanya tersaruk-saruk melangkahkan kaki dalam kebisuan.

Di depan kios tukang sayur, mereka berhenti. Senja berusaha mengeringkan pipinya dengan kedua telapak tangan, lalu melangkah ke kios itu, berbaur dengan ibu-ibu yang asyik memilih sayuran sambil mengobrol.

Bima memarkir kursi ayah Senja di bawah rindangnya pohon Mangga. Menghela napas, ia berdiri di samping kursi roda sambil memandang Senja di kejauhan.

“Kau … bukan dia.”

Suara berat yang terdengar parau itu menyentak Bima. Ia menoleh ke bawah. Ternyata, pria beruban dengan kepala nyaris botak di kursi roda itu tengah memandangnya.

“Kau … bukan orang yang sama.”





LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang