Ketika tiba di rumah, Senja mendapati suaminya tengah mempersiapkan bahan untuk mengajar. Padahal lelaki itu sedang dalam masa cuti. Bima memang rajin.
Tak ingin mengganggu Bima, ia segera menuju dapur untuk mulai memasak tumis kangkung dan telur balado. Wanita muda yang telah lama kehilangan ibunya itu memang cekatan dalam urusan dapur.
Satu jam kemudian, ia menghampiri suaminya dengan segelas kopi yang wangi. “Sarapan sudah siap, Langit.”
Bima mengangkat wajah dari buku yang tengah ia tulisi. Senyum menghias wajah cakapnya. Ditepuknya sofa, tepat di sebelahnya, mengisyaratkan istrinya agar duduk. Senja menurut, duduk di samping sang suami setelah meletakkan gelas kopi di meja.
“Kau lelah?” tanya Bima, mengusap punggung istrinya.
“Biasa saja,” jawab Senja. “Di rumah Om, aku malah harus masak lebih banyak. Orangnya banyak dan seleranya berbeda-beda. Masak di sini lebih ringan bagiku.”
“Aku beruntung mendapatkan istri yang pintar masak sepertimu.”
“Aku lebih beruntung lagi, Langit. Mendapat laki-laki sebaik dirimu. Sejak awal bertemu di angkot dulu, kau selalu baik padaku.”
“Angkot?” Bima tersenyum kecut. Tentu saja orang di angkot itu bukan dirinya.
Senyuman lembut menghiasi bibir Senja. Sepasang matanya bercahaya memandang Bima.
Namun, suaminya justru termenung.
“Aku akan memberi tahu Ayah bahwa sarapan sudah siap.” Wanita itu maju, mengecup lembut pipi kanan Bima, lantas beranjak pergi.
Bima duduk membeku, memandang punggung Senja yang menjauh. Mendadak hawa kurang enak menyusupi dadanya. Istrinya menunjukkan rasa sayang mendalam kepadanya. Akan tetapi, tiba-tiba ia ragu, benarkah cinta itu untuknya? Atau untuk ... Ray?
Lelaki itu mengusap wajah. Kini ia menjadi gelisah. Ketidakjujuran yang ia lakukan berkomplot dengan Ray telah membuatnya hidup dalam keraguan. Meragukan alamat tujuan dari cinta istrinya sendiri.
***
“Ayah nggak apa-apa sendirian di rumah?“ Senja merangkul bahu kurus ayahnya yang duduk di kursi roda dari belakang. Wajah wanita itu tampak sedikit waswas.
“Lebih baik sendirian, daripada bersama tantemu yang seharian mengomeli Ayah menyuruh kita pergi.” Ayah Senja terkekeh dengan suara berat yang serak.
“Aku khawatir meninggalkan Ayah sendirian.”
“Langit memberi Ayah telepon ini.” Pria tua itu mengeluarkan ponsel dari saku bajunya. “Kalau Ayah membutuhkanmu, Ayah akan menelepon.”
Tangan keriput itu terangkat, menepuk-nepuk kepala Senja yang menempel di bahunya. “Pergilah, Nak. Kenalilah dunia suamimu. Hiduplah bahagia dengannya.”
Senja mengangkat kepala dari bahu sang ayah, memandang mata tuanya yang tak lagi jernih.
“Hanya itu yang Ayah harapkan darimu, Senja. Hiduplah dengan bahagia.”
🌞🌞🌞
Gapura SMA yang berlokasi di Benowo Surabaya itu cukup megah. Warna krem yang dipadu dengan bebatuan alam memberikan kesan gagah. Belum lagi gerbangnya yang hitam mengilat dengan liukan besi sebagai motif pemanis.
Saat Honda Revo yang mereka kendarai berbelok memasuki gerbang, security sekolah menyapa Bima ramah, seraya mengangkat sebelah tangan. “Pagi, Pak Langit. Sudah masuk, Pak?“
“Masih cuti, Pak,” jawab Bima. “Hanya mampir mengambil berkas buat besok.”
Security berkumis itu beralih memandang wanita yang duduk di boncengan, di belakang Bima, lalu mengangguk sopan. Senja buru-buru membalas anggukannya.
Senja gugup. Ia merasa asing. Tatapan para siswa di sekitar mereka juga tertuju pada mereka berdua, terutama kepadanya. Ia hanya menunduk sambil mengikuti langkah sang suami.
Bima memelankan langkah, menyejajari Senja. Kalau bukan karena banyak tatapan mata, dan tidak ingat lokasi, ia ingin menggandeng wanita yang berjalan canggung di sisinya itu.
“Selamat pagi, Pak Langit,” Para siswa berseragam putih abu-abu menyapa Bima kala berpapasan di pelataran sekolah. Juga saat melintasi lapangan basket.
Di koridor, mereka berpapasan dengan guru bungkuk yang mengepit buku-buku Biologi. Ia memandang Senja dari balik kacamatanya yang melorot. Lantas, beralih pada Bima.
“Selamat pagi, Pak Siswoyo,” sapa Bima, sopan.
Pak Siswoyo mengembangkan senyum lebar. “Hari ini ke sekolah membawa istrinya, Pak?”
“Iya, Pak. Sekalian mau jalan-jalan. Mampir ke sekolah sebentar, ada keperluan.”
Pria bungkuk itu berjalan mendekati Bima, berbisik—bisikan yang terlalu keras. “Nah, benar kan yang saya bilang waktu itu. Pak Langit akan menemukan jodoh sendiri. Untung Bapak tidak jadi meneruskan niat Bapak merebut kekasih orang.”
Wajah Bima memerah, sementara Pak Siswoyo menepuk bahunya dengan mantap.
“Kau berniat merebut kekasih siapa, Langit?” Senja bertanya heran, setelah si guru bungkuk berlalu dengan senyum puas, merasa telah berhasil meluruskan anak muda yang nyaris tersesat.
“A-apa?” Bima tergagap. Diusapnya dagu. “Tidak ada. Pak Siswoyo hanya salah paham. Jangan dengarkan dia, Senja.” Digandengnya sang istri menuju ruang guru, tempat berkas yang akan ia ambil berada. Lupa bahwa lokasinya tidak tepat untuk bergandengan.
Di depan ruang guru, seorang pria berbadan tegap dan berkumis tebal yang kebetulan keluar dari ruangan memanggil Bima. Setelah memperkenalkan Senja kepada pria itu, yang ternyata adalah wakil kepala sekolah, Bima terlibat pembicaraan serius tentang perlombaan di Dinas Pendidikan.
Senja sedikit menjauh. Wanita itu menyibukkan diri memperhatikan tanaman hias dalam pot yang diletakkan di sepanjang teras di depan ruang-ruang kelas.
Empat orang siswi berdiri tak jauh darinya, menatapnya dari ujung jilbab hingga ke ujung kaki, sambil saling berbisik. Sorot mata dua dari mereka tampak tak ramah.
Senja menghela napas.
“Apa kau tenar di antara para siswi?” tanya Senja, saat ia dan Bima telah berpindah tempat ke depot pinggir jalan untuk makan siang.
Bima berhenti menyuapkan nasi rawon ke mulut, untuk mengangkat kedua alisnya tanda bertanya.
Senja memajukan tubuh, dan berbisik. “Sepertinya ada siswi yang nggak suka karena pak gurunya ini menikah.”
“Ow … bisa jadi. Maklumlah, mereka kehilangan guru yang muda, lajang, dan … tampan.”
Senja tertawa. “Apa kamu nggak malu memuji diri sendiri, Langit?”
“Sebenarnya, aku menunggu istriku yang memujiku,” goda lelaki itu, tersenyum senang melihat rona merah di wajah Senja diiringi bibir mungil yang mencibir.
Bima senang, sejak pindah dari rumah tantenya di Tangerang Selatan dan ia bawa ke Surabaya, Senja banyak tertawa. Wajahnya tampak lebih cerah. Sungguh pemandangan yang menyenangkan, membuatnya ingin terus menggambar kebahagiaan di wajah itu.
“Terima kasih karena kembali, Langit.” Ucapan sang istri di malam setelah ijab kabul kembali terngiang. Saat itu, duduk berdampingan di dalam kamar pengantin membuat kecanggungan sedikit hinggap. “Berbulan-bulan kau menghilang tanpa kabar. Kupikir aku kehilanganmu. Tante bilang, ajakanmu menikah hanya sekadar lelucon. Kata Tante, kau hanya mempermainkan aku. Rasanya sedih mendengar Tante berkata begitu.”
Ketika itu, Bima meraih istrinya, menariknya ke dalam pelukan. “Seandainya aku datang lebih cepat, mungkin kau tak perlu sesedih itu, ya.”
Saat itu, aku sedang sibuk menolak ide gila Ray untuk menggantikannya datang padamu, batin Bima. Apa aku datang terlalu lama, Senja?
Lelaki itu mendaratkan kecupan di puncak kepala Senja, menghidu aroma segar rosemary dari rambut istrinya yang panjang kecokelatan. “Aku menyesal tidak datang menemuimu lebih cepat.”
Senja mendongak, tersenyum dengan bibirnya, juga dengan mata bulatnya. “Yang penting sekarang kau datang. Terus terang, tadinya aku sudah patah harapan. Kukira kau berubah pikiran.” Direbahkannya kepala ke dada Bima, membalas pelukan sang suami. “Terima kasih sudah kembali, Langit.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)
RomanceRay Cinta yang bersemi ternyata membentur tembok yang tak mampu kutembus. Bagaimanakah cara melindungimu agar kau tak terluka? Bima Punya saudara "gila" menyeretku ke dalam pusaran rumit, membuatku hidup dalam kekhawatiran dan pertanyaan, apakah cin...