PART 9 - MENAMBATKAN HATI, JUGA JANJI

1.3K 6 0
                                    

“Kau kembali.” Napas Senja sedikit tersengal. Sepasang mata bulatnya menatap Bima lebar-lebar. Tak berani berkedip, seolah takut bila ia berkedip, lelaki di hadapan akan menghilang. “Nomormu tiba-tiba nggak aktif. Aku takut kau kenapa-kenapa, Langit.”

Bima diam, hanya mengamati wajah kuning langsat yang memerah dan netra bening yang berkaca-kaca di hadapannya. Ia tahu, tiga bulan lalu, Ray mengganti nomor ponselnya.

“Aku nggak ingin dia terus berharap, Bim. Dan aku juga nggak ingin, bila aku terus mengharap keajaiban yang tak mungkin datang.” Itu yang Ray katakan, saat mendatanginya dan memberitahu tentang penggantian nomor ponsel tersebut. Ketika itu, Ray berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan ekspresi menyedihkan. Ponsel biru tergeletak di sisi pewaris Mahardika itu. “Nggak berkomunikasi sama sekali adalah jalan terbaik, untuk memaksa harapan ini agar berhenti.”

“Kau akan membuatnya bingung, Ray,” tegur Bima, saat itu. “Kau menggantung dia namanya.”

“Ya, aku tahu.” Ray memejamkan mata, memijat pangkal hidung. “Tapi … aku nggak sanggup menjelaskan masalahku pada Senja. Mungkin, aku terlalu pengecut untuk menghadapi kekecewaannya. Aku harus bisa mengendalikan diriku sendiri, Bim. Kalau enggak, aku pasti akan memorakporandakan rencana yang telah disusun Abi dan Ummi.” Saat itu, Bima melihat tangan Ray terkepal kuat, menahan peperangan dalam batinnya.

“Hmm … aku mengganti nomor ponsel.” Kini, Bima berkata dengan nada kaku kepada Senja. “Maaf, nggak sempat ngabarin.”

“Oh … iya, nggak apa-apa.” Senja melengkungkan senyum. “Aku lega kau baik-baik saja. Itu sudah cukup.”

Bima tak tahu harus berkata apa lagi, hanya berdiri diam sambil mengusap-usap dagu. Lalu, matanya bertumbukan dengan mata tua milik Ayah Senja. Entah sejak kapan lelaki dengan satu kaki di kursi roda itu menatapnya?

“Pak.” Bima mengangguk sopan.

Tak ada tanggapan atas sapaannya. Lelaki yang hampir keseluruhan rambut tipisnya didominasi uban itu tak menggerakkan bahkan sudut bibir. Namun, matanya tak teralih dari Bima, seolah tertancap pada lelaki muda itu.

Bima pun kembali diam.

Senja juga berdiam diri, hanya menatap Bima dengan mata bulatnya. Gadis itu merasa ada yang aneh. Lelaki ini terasa begitu berjarak dengannya.

“Kau mau sarapan sambil berbincang?” Senja menawarkan. “Bubur ayam yang kau sukai, jam segini kan sudah buka.”

Bima mengangguk, “Ya, boleh.”

Senja mendorong kursi roda ayahnya, menyusuri jalan tanah yang tak rata. Bima mengikuti dari belakang.

Selangkah, dua langkah, … lima langkah.

“Senja, bagaimana kalau aku saja yang mendorong kursi rodanya?”

Senja berhenti, menoleh, dan jelas-jelas menatapnya dengan heran.

“Kenapa?” tanya Bima, menangkap ekspresi aneh di wajah Senja. “Yah, maksudku, itu pun kalau kamu tak keberatan.”

Mata Senja justru makin melebar. Kening gadis itu berkerut. Netranya tak putus menatap Bima.

“Eh, ada apa?” Bima mengusap dagunya yang ditumbuhi jenggot tipis dengan kikuk.

“Biasanya kau kan  langsung mengambil alih kursi roda ayahku. Nggak pakai minta izin.”

Aah, ternyata si Bodoh itu biasanya asal rebut. Astaga! Harus bilang apa aku untuk mengelak? Bima membatin.

“Lama nggak ketemu, aku jadi canggung,” ia beralasan, lantas segera maju dan mendorong kursi itu.

Senja mengikutinya, dengan kening sedikit berkerut. Matanya melekat pada Bima yang berjalan kaku tanpa menoleh.

***

“Paris atau Hawaii, menurut saya itu tempat bulan madu yang sangat romantis,” Bu Surya berkata, sembari tersenyum lebar. “Ini, kemarin saya menemukan brosur-brosur ini saat jalan-jalan ke mal. Bisa untuk merencanakan destinasi anak-anak nanti, Jeng.” Ia menyodorkan beberapa brosur ke arah Bu Mahardika.

Ruang tamu mewah di Ketintang Wiyata Surabaya itu merupakan rumah keluarga Surya. Hari ini, Pak Mahardika mengajak Ray dan istrinya berkunjung ke rumah calon besan untuk membicarakan detail rencana pernikahan. Semua tampak gembira, kecuali Ray, yang tampil dengan senyuman terpaksa.

Dihelanya napas, mengingatkan diri dalam hati, Ingat, Ray. Ingat jasa Abi dan Ummi padamu. Jangan sampai mengacau.

Ray duduk satu sofa panjang bersama abi dan umminya. Sedangkan di seberang meja tamu marmer, Mentari duduk bersama papi dan maminya.

Ketika pandangan mereka berdua bertemu, Ray mengangguk sopan, lantas memalingkan mata ke arah lain. Sedangkan di seberang, Mentari menatap lelaki itu lekat, nyaris tak berkedip.

Mentari Kirania Surya, sebenarnya gadis berparas cantik. Berwajah oriental dengan mata sipit yang bersinar. Bando kuning tersemat manis di rambutnya yang hitam, menyempurnakan daya tariknya. Seumur hidup, Ray baru tiga kali bertemu dengannya. Ketika abinya berkata bahwa  Mentarilah yang memilih dirinya, sungguh Ray tak paham kenapa. Tiga kali pertemuan, yang masing-masing tidak lebih dari tiga jam, pada masa anak-anak dan remaja, rasanya belum cukup untuk membuat seorang gadis jatuh cinta.

Bu Mahardika mengulurkan tangannya yang dilingkari dua gelang emas, menyambut kertas-kertas berisi tujuan wisata yang disodorkan calon besannya. Dibuka-bukanya. “Lihat, Langit, kau dan Tari nanti bisa keliling Paris atau Hawaii. Tinggal pilih.”

“Atau, kalau Langit punya pilihan negara yang lain, juga boleh, lho.” Bu Surya berkata riang. Wanita paruh baya tinggi semampai itu tersenyum ramah kepada calon menantunya.

“Atau, bisa juga ke tempat wisata lokal,” ujar Mentari. “Seperti Tre—.”

“Tari.” Terdengar nada menegur dalam suara Pak Surya yang memotong kalimat putrinya. “Kita kan tadi malam sudah membicarakan itu.”

Mentari merapatkan bibir, tampak sedikit manyun.

“Iya, Tari. Luar negeri jelas lebih menarik untuk berbulan madu.” Bu Surya mendukung suaminya. “Kalau kau dan Langit nggak ingin ke Eropa atau Amerika, bisa pilih negara Asia seperti Jepang atau Korea. Bagus-bagus. Ah, biar Langit saja yang memilih.”

“Setelah menikah nanti, Langit perlu mempelajari tentang seluk beluk Hotel Baskara milik keluarga Surya,” Pak Surya berkata dengan serius. “Kau akan memimpin dua perusahaan, Langit. Mahardika dan Baskara Surya. Sayangnya, Mentari mungkin tak bisa banyak membantumu.”

Mentari menunduk.

“Bisa aku dan Mahardika berbincang di ruang kerja sambil menunggu makan malam, Sayang?” Pak Surya mengalamatkan pertanyaan ini kepada istrinya.

“Ya, tentu saja. Akan kukabari bila makan malam sudah siap,” jawab istrinya.

Pak Surya bangkit, diikuti Pak Mahardika.

“Langit, sebenarnya Abi ingin mengajakmu juga, tapi, mungkin lebih baik kau di sini saja, berbincang dengan Mentari. Urusan perusahaan bisa kita diskusikan nanti,” Pak Mahardika berkata kepada putranya yang hanya mengangguk patuh seperti robot.

Kedua pria tua itu pun beranjak pergi. Saat kemudian Bu Surya pergi ke ruang makan untuk mengecek persiapan jamuan makan malam yang tengah dipersiapkan oleh asisten rumah tangga, dan Bu Mahardika ikut, Ray mendapati dirinya hanya berdua dengan Mentari. Ia tahu wanita muda itu memandangnya. Ia sendiri lebih memilih menekuri permukaan meja tamu yang terbuat dari marmer putih kekuning-kuningan, dengan kedua tangan terkepal lemas di atas paha.

Ketika Mentari akhirnya bangkit, kemudian pindah ke sebelah Ray, barulah lelaki itu menoleh dan memandang calon istrinya.

“Mas Langit, bisakah kau minta kepada Papi agar mengizinkan kita bulan madu ke Tretes saja?”

“Kenapa kau tak memintanya sendiri?”

“Sudah, tapi tidak boleh.” Mentari mendecak, bibirnya mencebik. “Papi selalu menghalangiku ke sana. Padahal aku sangat ingin.”

“Kenapa tidak boleh?”

“Karena ...,” Mentari tampak ragu. “Yah, nanti juga kau tahu.”

Ray kembali memindahkan tatapannya ke permukaan meja marmer, menekurinya. Masalah antara Mentari dan papinya, mungkin sebaiknya ia tak perlu terlibat. Hidupnya sendiri sudah cukup rumit.

Ia merasakan guncangan di lengan kirinya. Ternyata putri Pak Surya yang mengguncangnya. Mata hitam wanita itu menatapnya dengan memohon, seperti tatapan anak kucing. “Ayolah, kalau kau yang minta, Papi akan setuju.”

Astaga! Ray mengeluh dalam hati. Sial amat nasibku. Sudah patah hati, sekarang diajak bersekongkol oleh gadis yang ingin menentang peraturan papinya.

“Apa Mas Langit ingin ke Paris atau Hawaii? Kapan-kapan saja. Kita ke Tretes dulu.”

Ray berdeham. “Sebenarnya, Mentari, aku tidak bisa ke Tretes, Paris, ataupun Hawaii. Aku sedang sangat sibuk. Kau tahu, kan, kalau aku baru saja memegang tampuk kepemimpinan di Hotel Mahardika. Banyak sekali yang harus kupelajari. Aku ... tidak akan sempat berbulan madu. Maaf, ya.”

Kekecewaan tergambar jelas di wajah putih calon istrinya. Ray jadi merasa bersalah. Namun, lelaki itu benar-benar ingin menghindari acara bulan madu. Ia belum bisa menerima wanita di sebelahnya sebagai kekasih.

Seandainya saja ia mengetahui rencana perjodohan ini lebih awal, mungkin ia akan lebih menjaga hati.

Kini, ia telah menambatkan hati, juga janji, kepada gadis lain.

Pelan, Ray menghela napas.

Senja dan Bima, apa kabar? Pikirannya melayang ke Tangerang Selatan. Mungkinkah Senja akan tahu bahwa orang yang sedang bersamanya bukan aku?


LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang