PART 8 - GILA

1.3K 5 0
                                    


Kursi roda bergerak nyaris tanpa suara menuju teras, mendatangi lelaki muda berrahang persegi yang tengah duduk memandangi pelataran semen yang kosong. Malam telah menyempurnakan gelapnya. Jam dinding tua di ruang tamu panti berdentang tujuh kali.

“Mas Bima melamun?” Suara gadis di kursi roda membuat lelaki itu sedikit terkejut.

Bima tersenyum saat menyadari kehadiran saudari angkatnya. “Ibu sudah tidur, Win?”

“Sudah, Mas,” jawab Winarni, menggerakkan roda hingga kursinya sejajar dengan kursi rotan yang Bima duduki. “Terima kasih, ya, Mas Bima mau menginap di sini. Kalau Ibu sedang sakit begini, aku takut sendirian dengan adik-adik saja.”

“Jangan khawatir, Win. Aku akan pulang ke sini setiap hari, minimal sampai Ibu sudah tidak demam lagi.”

“Maaf, ya, Mas. Perjalanan ke sekolah jadi jauh”

“Orang naik motor ini. Tinggal berangkat lebih pagi, beres.”

Winarni tersenyum lega. “Mas Bima tadi sedang melamun apa?”

Bima mengembuskan napas berat. “Entahlah, Win. Aku cuma sedang khawatir akan terlibat ke dalam masalah rumit.” Ia menjeda. “Sulit bagiku membiarkan si Bodoh itu kebingungan sendiri.”

“Si Bodoh? Mas Ray, ya?” tebak Winarni, seraya tertawa.

Bima ikut tertawa. “Harusnya aku nggak memanggil dia begitu, ya?”

“Kalian kan memang selalu begitu sejak kecil,” celetuk Winarni. “Ingat, nggak, hari itu? Yang kursi rodaku didorong dan kalian berdua berakhir luka-luka?” Wanita muda itu menerawang ke masa kecil mereka bertiga.

Hari itu, salah satu hari terburuk bagi Winarni. Ia yang berusia tujuh tahun tengah duduk di kursi roda yang terparkir di tepi lapangan. Di lapangan rumput tersebut, Ray dan Bima yang kala itu berusia sembilan tahun sedang berebut bola berwarna hitam putih menggunakan kaki. Sesekali mereka tergelak, dan di lain waktu saling melempar ejekan. Gadis cilik di kursi roda itu sangat menikmati menonton permainan sepak bola kedua kakaknya.

Winarni ingin ikut turun bermain, tetapi tak mungkin, karena kaki kiri gadis itu tidak berkembang seperti seharusnya. Winarni terlahir cacat. Akhirnya, ia cukup puas dengan menonton dari tepi lapangan.

Namun, tiba-tiba, kursi rodanya bergerak sendiri!

Spontan Winarni menoleh ke belakang. Ternyata ada tiga anak laki-laki di belakang kursinya. Satu berambut keriting, satu cepak, dan satu lagi botak. Mereka anak-anak berandal di kampung ini. Anak-anak SD yang sok jago. Hobinya mengganggu anak-anak lain yang lebih lemah.

Winarni ketakutan. Anak-anak berandal itu memegang kursi rodanya, menggerak-gerakkannya maju mundur.

“Mas Bima! Mas Ray!” Winarni berteriak memanggil kedua kakaknya, meminta pertolongan. Nyalinya kian menciut. Wajah kecilnya memucat.

Ray dan Bima menoleh, tampak terkejut, lalu berpandangan. Selanjutnya, mereka berlari ke arah Winarni berada.

“Heh, Anak Panti!” Salah satu dari anak di belakang Winarni berteriak. Suaranya sangat keras hingga gadis kecil itu menutup telinga. “Ngapain kalian di sini? Ini daerah kekuasaan kami, tahu?!” Anak itu mengguncang kursi roda, membuat si gadis kecil malang menjerit ketakutan.

“Jangan ganggu adikku!” Ray berteriak sambil tetap berlari. Dia dan Bima baru sampai di tengah lapangan.

“Nih, adikmu!”

Kursi roda tiba-tiba didorong cepat menuju tanah menurun ke arah lapangan. Jalan beraspal itu memang berada lebih tinggi daripada lapangan rumput tempat Ray dan Bima berada. Winarni menjerit-jerit panik.

Ia tahu tangan-tangan di belakang melepaskan kursinya saat benda yang ia duduki itu terdorong, lalu melaju bebas menuruni tanah berbatu. Roda kursi berputar makin lama kian kencang karena kondisi tanah yang menurun. Winarni terguncang-guncang. Jeritannya tersapu angin yang menampar-nampar wajah dan tubuh kecilnya.

Winarni memejamkan mata rapat-rapat. Tangan-tangan mungilnya mencengkeram pegangan kanan dan kiri kursi, susah payah berusaha agar tak terlempar jatuh. Napasnya tertahan. Ia sangat ketakutan.

Ia merasakan kursinya oleng, hendak terguling. Namun, entah apa, atau siapa, menahan kemiringannya hingga batal celaka.

Saat membuka mata, gadis kecil itu tahu apa yang membatalkan kursinya terguling. Ternyata kedua kakaknya memegangi kursi. Bola berwarna hitam putih yang biasa keduanya bawa tak terlihat di tangan, tampaknya mereka tinggalkan begitu saja dalam upaya menyongsong kursinya.

Kedua anak lelaki itu berlari mengikuti laju kursi sambil berusaha mengerem dengan kaki. Perlahan, kecepatannya berkurang, lalu berhenti. Winarni meringkuk terisak-isak.

“Terlalu.” Ray mendesis berang, lalu berlari meninggalkan kursi Winarni.

“Jangan, Ray! Jangan berkelahi! Nanti dihukum lagi!” Bima berseru, berusaha menahan. Namun, saudaranya telah berlari mendaki tanah miring menuju tepi jalan, ke arah tiga anak bandel yang tengah terbahak-bahak sambil mengacungkan jempol terbalik untuk mengejek mereka.

“Akh!” Bima mengentakkan kaki. “Dia belum kapok juga luka-luka.”

Di sela-sela bulu mata yang basah, Winarni melihat perkelahian tidak seimbang di atas sana. Tentu saja, karena Ray sendirian, sedangkan musuhnya bertiga.

“Kamu tunggu di sini, ya, Win,” Bima berkata sekilas kepada gadis kecil di kursi roda. Kemudian, ia berlari secepat-cepatnya menuju Ray.

Winarni mengakhiri nostalgia masa lalunya dengan senyuman tersungging. “Hari itu, kalian pulang penuh luka. Kepala benjol, bibir berdarah, lutut lecet. Pokoknya mengerikan. Kau masih ingat, Mas?”

Bima mendengkuskan tawa kecil. “Tentu saja ingat. Ibu mengomeli aku dan Ray, tetapi beliau juga dengan panik mengobati kami.”

“Mas Ray yang pemberani dan nekat mudah terkena masalah, sedangkan Mas Bima, selalu ikut terseret ke dalamnya.” Gadis berjilbab cokelat muda yang duduk di kursi roda itu cekikikan. “Kalian sejak dulu memang seperti itu.”

***

Winarni benar, ia selalu terseret ke dalam masalah Ray. Sekarang pun begitu.

Ray sudah gila!
Dan aku juga gila!
Karena mau-maunya mengikuti kegilaan Ray.
Dalam hati, Bima merutuki dirinya sendiri yang berakhir di Tangerang Selatan, berdiri diam seperti orang aneh di tepi gang sebuah perkampungan tempat Ray pernah indekos.

Bima mendecak, mengamati rumah merah bata dari tempatnya berdiri, sepuluh meter dari rumah itu.

Menendang kerikil, Bima mengusap dagu dengan gelisah. Diamatinya kerikil itu menggelinding dengan bunyi klitik klitik.

Tiga minggu, waktu yang bisa ia janjikan kepada Ray untuk menengok kondisi gadis bernama Senja ini. Sudah empat bulan Ray terus merongrongnya hingga akhirnya ia menyanggupi untuk ke sini saat libur kenaikan kelas.

Kontrakan Bu Gendut sedang penuh saat ia tiba. Jadi, Bima mengontrak kamar lain di gang sebelah. Dan pagi ini, di hari Minggu, ia berdiri canggung menunggu gadis yang belum pernah ia kenal.

“Gara-gara si Bodoh itu,” Bima menggerutu. Diliriknya arloji hitam di pergelangan tangan kiri. Hampir pukul tujuh.

Punggung Bima menegak kala ia melihat seorang gadis berjilbab jingga keluar dari rumah merah bata sambil mendorong pria tua di kursi roda.

Pasti dia

Bima membatin. Wajahnya mirip seperti foto di ponsel Ray.

Ia berdiri diam, menunggu gadis itu mendekat. Benar saja, gadis berjilbab jingga tersebut bereaksi saat melihatnya.

Langkah gadis itu terhenti. Matanya melebar.

Hanya hitungan detik ia terpaku, sebelum tergesa mendorong kursi roda menghampiri Bima. Pak tua di kursi roda yang tadinya melamun tampak terkejut karena tiba-tiba kursinya ngebut, terguncang-guncang di jalan tanah yang tidak rata.

“Langit!”

“Sen ... ja?” balas Bima, ragu.








LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang