PART 11 - TAK ADA YANG SEMPURNA

1.1K 6 0
                                    



Ia ketahuan!

Jakun Bima bergerak naik, lalu turun lagi, seiring lelaki itu menelan ludah. Sebelah tangannya mengusap dagu.

Ayah Senja sangat pendiam, hampir tak pernah bicara. Orang lain sering salah mengira pria tua dengan satu kaki ini tuna wicara.

Bima melirik ke arah kerumunan ibu-ibu yang asyik berceloteh di lapak tukang sayur. Senja tampak sedang asyik memilih kangkung, mempertimbangkan di antara dua ikat tanaman hijau berdaun panjang meruncing di ujung yang ia pegang di tangan kanan dan kiri.

Lelaki muda tersebut sedikit lega, Senja tak akan kembali pada mereka dalam hitungan detik. Ia mengalihkan mata pada penghuni kursi roda yang masih menatapnya dengan dahi tua yang berkerut, Alis-alis putihnya bertaut.

Bima melangkah ke hadapan ayah Senja, lantas berjongkok dengan lutut kiri bertumpu pada aspal di depan kursi roda, sehingga pria tua itu tak lagi mendongak saat memandangnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Adrenalinnya terpacu.

Sejenak, kedua lelaki beda generasi itu saling bertatapan. Manik hitam Bima bersirobok dengan netra ayah Senja yang berwarna keabuan karena usia.

“Bapak mengetahuinya?” tanya Bima setelah berdeham. “Bahwa saya bukan orang yang sama?”

Sang pria tua mengangguk. Mungkin raganya tak lagi kuat, tetapi jiwa kebapakannya sangat mengkhawatirkan putrinya. Bima melihat kecemasan dalam mata tua itu.

Bima menghela napas, sejenak memikirkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan. “Orang yang sebelumnya Bapak kenal, adalah saudara kembar saya.”

“Ke mana dia?” Suara parau itu bertanya.

“Dia tak bisa kembali, Pak.” Bima menjelaskan dengan hati-hati, tak ingin membuat pria tua tersebut syok. Ia bisa melihat bahwa ayah Senja yang sangat pendiam ini telah menggantungkan harapan pada Ray. “Karena itulah, dia meminta saya menengok Senja. Orang tua angkatnya menjodohkannya dengan putri teman mereka. Bulan depan saudara saya itu akan menikah.”

Bima melihat keterkejutan dan kekecewaan yang berbarengan di wajah keriput itu. Lalu, layu.

“Maafkan dia, Pak. Dia tak pernah bermaksud memberikan harapan palsu. Dia hanya tidak tahu kalau sudah dijodohkan.”

Pria tua itu manggut-manggut pelan. Tampak masygul, tetapi mengerti. Tangan-tangan rentanya meremas-remas pegangan kursi.

Setelah beberapa saat menekuri aspal dengan kesedihan membayangi wajah keriputnya, mata tua itu memandang Bima. “Kalau kau bukan Langit, lalu siapa namamu?”

“Saya juga Langit, Pak,” jawab Bima, tersenyum. “Saudara saya bernama Langit Arrayan, sedangkan saya Langit Abimanyu.”

Ayah Senja hanya menatap ke arahnya setengah menerawang. Entah apa yang dipikirkan.

“Pak,” panggil Bima. “Seandainya … saya menggantikan saudara saya untuk menepati janji yang pernah dia ucapkan kepada Senja, apakah Bapak mengizinkan?”

Ayah Senja sontak memandangnya. Tatapannya yang sebelumnya menerawang kini terfokus pada wajah Bima.

🍃🍃🍃

“Kenapa calon pengantin bisa ada di sini?” Bima meletakkan helm hitamnya ke meja kayu, lalu duduk di kursi sebelah Ray. Ia baru pulang dari sekolah. Saat menelepon saudaranya, ternyata Ray ada di panti, maka ia menyusul. Dan, di sinilah dia, menemukan saudara kembarnya duduk melamun di teras rumah masa kecil mereka. “Lusa kamu menikah, kan, Ray?”

Anggukan kepala pria di sampingnya membenarkan.

“Insya Allah aku akan datang.”

“Terima kasih.”

Bima mengetuk-ngetukkan telunjuk kanan ke helm. Bunyi tuk tuk menjadi pengisi kesenyapan. Suara kaku Ray saat berterima kasih, dan ekspresi murungnya, membuat Bima iba.

“Apa kamu ingin membatalkan?”

Seulas senyum tipis samar muncul di bibir Ray. “Kalaupun aku ingin, aku tidak akan bisa.”

Bima mengusap dagu. Ia tak menyangka seorang calon pengantin akan semuram ini. Padahal, pernikahan adalah hal yang biasanya membuat pelakunya berdebar-debar penuh kebahagiaan.

Ray mengusap wajah. “Sebenarnya, apa yang diinginkan Mentari dariku? Seandainya saja ia tidak memilihku ....” Kalimatnya mengambang di udara, tak terselesaikan.

“Seandainya Mentari tak memilihmu, apa kamu yakin abi dan ummimu akan setuju menerima Senja sebagai menantu?” Bima menatap lekat saudaranya.

Helaan napas lolos dari bibir Ray seiring matanya yang tertunduk ke lantai. Kepalanya menggeleng lemah. “Seandainya aku tak berjodoh dengan Mentari, maka Abi akan menjodohkan aku dengan Stephany dari Hotel Armeda, atau putri pengusaha yang lainnya lagi.”

“Jadi hasilnya akan sama saja?” Bima menyimpulkan. “Tak akan pernah ada tempat untuk gadis sederhana seperti Senja dalam keluarga kalian?”

“Ya.” Jawaban itu keluar seiring desahan berat Ray. “Sekarang aku baru benar-benar menyadarinya. Abi menjelaskan panjang lebar padaku ketika beliau menolak permintaanku untuk menerima Senja. Kepentingan perusahaan di atas segalanya. Pernikahan ahli waris harus bisa memperkokoh pondasi perusahaan, bukan malah melemahkannya. Dan Abi, tidak memiliki penerus yang lain selain aku.” Kabut tipis mengambang di manik hitam lelaki muda yang tengah kusut tersebut. Tak ada pilihan baginya. Peperangan batin itu telah menemukan pemenangnya. Cintanya telah kalah. Balas budi kepada orang tua angkat yang telah mengasihinya, menaklukkan cinta yang telanjur ada.

Bima manggut-manggut. Ia sudah menduga. Mendadak, tak ada lagi secuil pun iri terhadap keberuntungan yang dulu merengkuh saudaranya. Semua iri hati ataupun kesedihan yang pernah menyelusup dalam diri sirna tak berbekas. Ternyata, setiap hal memang memiliki konsekuensi. Di dunia ini, tak ada hidup yang sempurna.

Belasan tahun lalu, Ray terpilih untuk menjadi putra mahkota dalam keluarga Mahardika. Menyisakan Bima seorang diri di luar lingkaran. Meski terkadang terasa sesak di dada, ia berusaha bertahan. Untunglah, dirinya bukan tipe histeris, tak pernah diizinkannya perasaan negatif itu menguasai hati. Meski kala itu, tak bisa dihindari, kadang terpikir kenapa takdirnya tak seindah Ray? Ia harus berusaha sendirian jatuh bangun memperjuangkan hidup dan masa depannya tanpa dukungan materi yang memadai. Namun, ternyata, segala privilese yang Ray terima juga diimbangi dengan hilangnya kebebasannya untuk menentukan sendiri cita-cita dan pendamping hidupnya.

Mendadak, Bima merasa sangat bersyukur telah menjadi dirinya yang mampu berdikari dan bebas menikah dengan siapa pun yang ia cinta.

🍃🍃🍃

“Saya terima nikah dan kawinnya Mentari Kirani … eh,” Ray terhenti. Otaknya mendadak kosong. Ia lupa kalimat yang harus ia lisankan. Susah payah, lelaki itu menelan ludah. Keringat dingin terasa merayap di tengkuknya.

Pak Surya yang menjabat tangan Ray menunggu calon menantunya itu menguasai diri, sementara hadirin mulai berkasak-kusuk.

Duduk di sebelah Ray, Mentari melirik calon suaminya tersebut. Secuil gelisah menyembul. Wanita yang tampak anggun dalam balutan gaun putih panjang itu menangkap keraguan dalam gestur lelaki di sampingnya.

Ray menoleh ke arah tamu undangan, menatap Bima. Untuk beberapa detik, kedua mata hitam mereka beradu.

Bima mengamati jalannya proses ijab kabul dengan berdebar. Ada prihatin yang ia rasa menyaksikan dilema saudara kembarnya. Ia memahami beratnya beban yang dipercayakan di bahu Ray.

Ijab kabul diulang. Kali ini, Ray menarik napas panjang dan memantapkan hati.

“Saya terima nikah dan kawinnya Mentari Kirania Surya binti Adibrata Surya dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai.”





















LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang