Setelah beberapa detik sunyi, Ray mendengar Bima menjawab.“Ray. Saudaraku.”
“Saudara?” Suara Senja terdengar heran. “Tapi, bukankah kamu … Ah, maksudmu, dia juga anak panti, ya?”
“Dulu. Ray sudah lama sekali diadopsi,” Bima menjawab.
“Oh, begitu. Ya sudah. Lanjutkan ngobrolnya dengan Ray. Aku berangkat dulu.”
Terdengar suara gemerisik. Ray menajamkan telinga. Apakah Senja mencium punggung tangan Bima? Atau … lebih dari itu? Tanpa sadar, tangannya yang bertumpu pada besi pembatas balkon terkepal.
“Assalamu’alaikum.” Suara lembut itu terdengar menjauh. Ada yang terasa hilang dalam hati Ray. Rasanya ia tak rela Senja pergi.
Suara pintu dibuka dan ditutup. Lalu, hening.
“Ray, kau masih di sana?”
“Hm ….”
“Kabari aku kalau kau pulang ke Madiun.” Suara Bima terdengar lagi.
“Oke.”
“Kalau sempat, pergilah ke panti. Ibu kurang sehat, Ray. Aku khawatir padanya.”
“Ibu masih sesak?”
“Ya. Kasihan beliau.”
Ray menghela napas. Wanita pengasuh panti asuhan itu sampai kapan pun adalah ibu pertama baginya. “Insya Allah, Bim. Begitu pulang, aku akan menjenguk beliau ke panti. Pastikan kau dan Senja tidak ke sana pada hari yang sama.”
Bima tertawa hambar. “Aku nggak pernah menyangka, bahwa aku tidak bisa memperkenalkan istriku pada saudaraku sendiri.”
Kekehan Ray terdengar sama kecutnya. “Kau tahu betul risikonya.”
Hening menjeda dua pria kembar itu.
“Ray … kemarin, ayah Senja juga menanyakanmu.”
Ray mengerjap. Bayangan pria tua di kursi roda melintas. “Oh ya?” Ia tak mengira laki-laki pendiam yang dulu kursinya sering ia dorong berkeliling itu sempat mengingatnya di tengah semaraknya acara pernikahan sang putri. “Bagaimana kabar beliau?”
“Cukup sehat, alhamdulillah. Hanya lelah karena acara kemarin. Juga pindahan. Meski lelah, beliau tampak bahagia.”
“Itu bagus.” Ada kelegaan, sekaligus gumpalan yang menyesakkan dada Ray. “Ehm, Bim. Sudah dulu. Akan kuhubungi lagi bila aku pulang.”
“Sampaikan salamku pada Mentari.”
“Oke.”
Setelah mengucap salam, Ray mematikan sambungan jarak jauh itu. Suara Bima lenyap digantikan oleh senyap.
Dirogohnya saku celana, mengeluarkan sekotak rokok dan pemantik berwarna silver yang tadi sempat ia ambil dari laci nakas sebelum keluar ke balkon.
Api kecil tercipta seiring dengan jentikannya, lalu membakar ujung batang putih di tangan kirinya. Tak lama, asap putih mengepul, membaur dengan udara malam Kota Paris.
Salahnya sendiri, bila sekarang harus merasakan pahitnya patah hati. Hingga nyeri terpaksa sesekali muncul, menjadi peliharaan hati. Salahnya, karena menganggap enteng peraturan abinya. Dia bahkan pernah menjadi remaja biasa yang berusaha mencari gadis idaman. Sejak dulu, di pikirannya, peraturan abinya lunak dan dapat ditawar. Ternyata salah.
“Gadis yang lembut.” Dirinya yang masih SMA pernah berkata seperti itu saat menginap di panti asuhan untuk mengunjungi Bima. “Cantik dan lembut. Itu tipeku. Bagaimana tipemu, Bim?”
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)
RomansaRay Cinta yang bersemi ternyata membentur tembok yang tak mampu kutembus. Bagaimanakah cara melindungimu agar kau tak terluka? Bima Punya saudara "gila" menyeretku ke dalam pusaran rumit, membuatku hidup dalam kekhawatiran dan pertanyaan, apakah cin...