“Sudah, ini saja?”
Ray bertanya, sembari menarik dua koper beroda, satu ukuran besar berwarna kuning dan satu ukuran medium berwarna merah, keluar dari kamar Mentari. Ransel biru dongker miliknya tersandang di punggung. Mentari mengikuti dari belakang.
“Yah ... mungkin ada lagi yang belum masuk. Mas Langit ngasih tahu kalau kita akan berangkat pindah ke Madiun mendadak, sih. Mana sempat aku kemasi semua.”
“Kalau ada yang ketinggalan, bisa minta dikirim. Atau kalau urgent, beli di Madiun saja.” Ray menanggapi.
Mentari mengerucutkan bibir, sambil mengikuti langkah Ray menyusuri lorong rumah papinya. Tas kulit kuning gading tersampir di bahunya.
“Kok buru-buru sudah ke Madiun?” Bu Surya menyambut di anak tangga terbawah. “Langit baru dua hari menginap di sini.”
“Iya, Mami. Langit cuti hanya tiga hari. Jadi, hari terakhir biar untuk menata barang Tari di rumah baru.” Ray menjawab sopan ibu mertuanya. “Papi sudah berangkat ke hotel ya, Mi? Nanti biar kami mampir sebentar ke sana untuk berpamitan.”
“Bukankah kamu bisa cuti lebih lama untuk berbulan madu? Seminggu atau dua minggu, begitu? Langit kan pemilik hotel, tidak seratus persen terikat dengan peraturan untuk karyawan. Kalian bahkan belum pergi berbulan madu. Bagaimana dengan Hawaii, Paris, Tokyo, atau Seoul?” Bu Surya mengerucutkan bibir. Sedikit lucu bagi Ray. Mertuanya itu persis seperti Mentari saat memanyunkan bibir kepadanya di kamar tadi, tanda tidak suka pada keputusannya. Dua wanita ini memang cukup mirip, hanya berbeda di generasi dan keriput.
“Bulan madunya nanti bila pekerjaan sudah longgar, Mi. Sekarang, Langit sedang mulai belajar mengelola hotel.” Ray mengulurkan tangan kanan, lalu membungkuk untuk mencium tangan sang mertua.
Keputusannya tak bisa diubah. Terpaksa Bu Surya mengantar anak dan menantunya ke mobil dan melambai di tepi jalan hingga sedan putih itu menghilang di tikungan.
“Mas langit terlalu gila kerja, rupanya.” Mentari bersedekap, menyandarkan punggung dengan malas ke jok penumpang depan saat kendaraan mereka meninggalkan Ketintang Wiyata, berbaur dengan lalu lintas yang tidak begitu padat karena jam berangkat kerja telah terlampaui. Rambut hitamnya tergerai ke bahu yang tertutup kaus kuning kunyit. Bando kuning kesayangannya menghias kepala bak mahkota sederhana. Tampilannya terlihat segar dan manis meski matanya yang sipit kian menyipit karena kesal. Wanita itu sebenarnya agak kecewa pada suaminya. Bagaimana tidak? Di malam pertama setelah akad, Ray memilih untuk membuka laptop dan semalaman meneliti laporan-laporan dari bawahannya di kantor. Sesekali, ia menanggapi bila Mentari mengajaknya berbincang. Namun, bicaranya irit dan sopan. Terlalu sopan, malah, untuk ukuran suami istri. Terkesan formal, bagaikan partner bisnis.
Malam kedua? Tentu sama saja.
Mentari merasa telah salah menangkap kepribadian Ray. Pada tiga pertemuan mereka sebelumnya, menurutnya Ray ramah dan menyenangkan. Siapa sangka, setelah menikah, ternyata beku.
Ray melirik Mentari, hanya mengulum senyum melihat istrinya cemberut. “Kalau ingin mampir untuk membeli sesuatu dalam perjalanan nanti, bilang, ya.”
***
Hari-hari Ray diisi dengan kesibukan kerja yang luar biasa. Mungkin, kesibukan yang ia sengaja. Abinya sampai geleng-geleng kepala. Namun, hasilnya memang Ray cepat beradaptasi dengan permasalahan hotel.
Mentari sendiri, dibebaskan oleh suaminya, boleh ikut mengurusi hotel, boleh juga berdiam di rumah. Kadang, wanita itu lebih memilih di rumah atau berbelanja. Di lain waktu, ia ikut ke Hotel Mahardika. Mentari memang tidak begitu tertarik berurusan dengan hotel.
“Besok tolong siapkan meeting pagi pukul delapan. Meeting dengan bagian keuangan.” Ray berbicara melalui ponselnya, kepada Manajer Hotel Mahardika Madiun.
Pintu terbuka tanpa ketukan. Mentari masuk membawa secangkir kopi panas yang tadi Ray minta untuk menemaninya lembur malam ini. Usai meletakkan cangkir porselen hitam ke meja kerja Ray, wanita itu duduk di kursi yang berseberangan dengan suaminya, terpisah oleh meja kerja. Rumah dua lantai mereka yang berlokasi di Mangunharjo Madiun memiliki lima kamar. Salah satu kamar digunakan Ray sebagai ruang kerja. Isinya hanya meja, dua kursi dengan roda, seperangkat laptop dan printer, juga lemari dan rak yang menempel ke dinding berisi berkas-berkas kantor, buku-buku perhotelan, ekonomi, dan buku penunjang lain.
Jam dinding putih yang tertempel di dinding warna senada menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Besok rapat lagi?” tanya Mentari dengan nada lelah, ketika suaminya telah meletakkan ponsel ke meja, di samping laptop yang menyala, menampilkan laporan keuangan Hotel Mahardika Madiun. Seharian tadi ia ikut Ray ke hotel dan mengikuti rapat Dewan Direksi.
“Iya.” Ray memandang sekilas ke arah sang istri.
“Kalau begitu, besok aku di rumah saja. Capek.”
“Baiklah.”
Mentari menatap Ray yang kembali meneliti kertas-kertas berkas yang bertumpuk di mejanya. “Kapan kita ke Tretes?” Ia bertanya dengan suara kecil. Harapannya kian mengabur melihat suaminya yang seolah-olah tak punya sedikit pun waktu luang. “Kau tak pernah tak sibuk.”
“Nanti, ya, Tari.”
Mentari mendesah, lalu bangkit dari kursi tanpa berkata apa-apa lagi. Ia tak yakin apakah telah menikah dengan manusia ataukah robot.
Ray mengangkat wajah dari berkas-berkasnya, memandang punggung istrinya yang menjauh dengan perasaan bersalah. Disugarnya rambut, menyandarkan punggungnya yang lelah ke sandaran kulit sintetis kursi.
Maafkan aku, Tari.
Ponsel biru di meja berdenting. Diraihnya untuk mengecek pesan yang masuk.
Bima : Ray, aku perlu bertemu denganmu.
Ray : Kau yang ke Madiun, atau aku yang ke Surabaya?
Bima : Kalau kamu ke Surabaya, Mentari akan ikut. Aku perlu bicara berdua saja. Aku yang akan ke Madiun. Jam berapa kau bisa?
Ray : Aku bisa menyelinap ke luar hotel siang setelah rapat.
Bima : Kau tentukan tempatnya. Cari kafe yang lokasinya strategis dan mudah kutemukan.
Ray : Oke, Bim.
***
Melangkah masuk ke kafe di jalan Slamet Riyadi Madiun, Bima mendapati Ray termenung di meja sudut, menatap lalu lalang orang di jalanan dari balik jendela.
Saat Bima tiba di samping meja, baru Ray menolehkan kepala. “Kau sudah datang. Mau minum apa, Bim?”
“Aku pesan sendiri.” Sigap, Bima melangkah ke meja layan.
Ketika kembali ke depan Ray, guru muda itu duduk, lalu merogoh saku jaket, dan meletakkan kotak kecil dari beludru berwarna biru tua di meja.
Ray melirik kotak itu, lalu tersenyum miring. “Apa itu? Kau akan melamarku?” selorohnya.
Bima menanggapi dengan dengkusan. “Ray … aku akan menikahi Senja.”
Ray manggut-manggut. “Hmm, itu bagus. Dia memang membutuhkanmu.” Diambilnya cangkir espresso dari meja dan meneguk isinya.
”Kamu tak masalah?”
Ray menjauhkan sedikit cangkirnya dari bibir. “Apa yang mau kupermasalahkan? Toh aku tak mungkin kembali pada Senja. Yah, kecuali kalau dia mau kujadikan wanita simpanan.”
Punggung Bima menegak. Mata hitamnya menatap tajam saudaranya di bawah sepasang alis tebal yang berkerut
“Hei, santai, Bro. Aku nggak akan melakukan itu.” Ray meggariskan senyum tipis. “Aku menghargai Senja. Tak akan tega meletakkan dia di posisi seperti itu. Tebakanku, dia juga nggak akan mau.” Lelaki itu menjeda. “Juga, aku nggak berencana melukai Mentari.”
KAMU SEDANG MEMBACA
LANGIT DWI WARNA (SUDAH TERBIT)
RomansaRay Cinta yang bersemi ternyata membentur tembok yang tak mampu kutembus. Bagaimanakah cara melindungimu agar kau tak terluka? Bima Punya saudara "gila" menyeretku ke dalam pusaran rumit, membuatku hidup dalam kekhawatiran dan pertanyaan, apakah cin...