Rio memperhatikan Fika dalam diam. Gadis itu terlihat sedang mengobrol seru dengan beberapa teman kelas mereka di tepi lapangan outdoor. Sesekali gadis itu terlihat bertepuk tangan pelan dan tertawa. Sayang tempat duduk Rio terlalu jauh, jadi dia tidak bisa mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan.
Rio menggelengkan kepalanya lalu menghela nafas pelan. Tidak boleh, dia tidak boleh seperti ini terus-terusan. Dia sudah berjanji pada dirinya untuk menyerah tentang perasaannya pada Fika.
"Ngapain lu disini sendirian?"
Suara teguran Agni menyadarkan Rio dari lamunannya. Entah sejak kapan gadis itu duduk disebelahnya, menatapnya dengan tatapan meneliti. Rio hanya melirik Agni sekilas.
"Lu bolos?" tanya Rio tanpa mengalihkan pandangan. Pasalnya sekarang masih jam pelajaran. Kelas Rio sendiri sedang jam olahraga dan mereka baru saja selesai mengambil nilai untuk materi bola voli.
Agni menggeleng, "Jam kosong" jawabnya. Matanya mengikuti arah tatapan Rio, ikut memperhatikan Fika lewat celah tanaman perdu yang sedikit menutupi tempat duduk mereka berdua.
Sebenarnya tadi Agni berniat ke kantin, namun saat melihat Rio duduk sendiri di tepi lapangan outdoor, terpisah dari teman-temannya yang lain, langkah kakinya malah berbelok menghampiri Rio.
"Lu kenapa natap Fika gitu banget? Sedih gitu keliatannya" Rio tersenyum kecil mendengar kata-kata Agni. Kadang Rio curiga Agni benar-benar punya kemampuan membaca fikiran.
"Gue panggil Fika ya?" Agni sudah bersiap mengangkat tangannya—berniat memanggil Fika, namun Rio menahan lengannya.
"Jangan, Ag" cegah Rio dengan cepat. Dia menggelengkan kepalanya dan menatap Agni dengan sorot mata memelas.
"Kenapa?" Agni balas menatap Rio sembari mengernyitkan dahi, "Lu ada masalah sama Fika?" tanyanya lagi.
Rio diam agak lama, lalu menghela nafas, "Gue.. gue udah nyerah sama perasaan gue" ucapnya pelan.
Agni menegakkan punggungnya dan mengerjapkan matanya beberapa kali—memastikan kalau dirinya tidak salah dengar, "A—apa, Yo? Lu ngomong apa tadi?"
"Gue nyerah, Ag", Rio tersenyum tipis dan menatap Agni sendu, "Gue rasa udah cukup gue ngejar Fika"
"Tapi.. kenapa, Yo?" suara Agni terdengar sedih. Bukannya sejauh ini pendekatan Rio berjalan sangat lancar? Bahkan Agni bisa melihat kalau Fika juga sudah menyukai Rio, lalu kenapa tiba-tiba Rio menyerah?
"Gue ngerasa percuma aja, Ag. Sekeras apapun gue berjuang, Fika gak ngeliat gue. Dia cuma ngeliat Debo"
Agni menggeleng cepat, "Itu nggak benar, Yo. Fika udah—"
Belum sempat Agni menjelaskan apa yang diamatinya dari tingkah Fika, Rio sudah lebih dulu memotong kata-katanya, "Gue ngga sengaja dengar obrolan kalian di ruang OSIS tempo hari" sela Rio cepat, "Tentang Fika yang masih sayang Debo. Gue denger, Ag"
Agni kembali menggeleng, "Gak gitu. Lu salah paham, Yo"
"Gue juga ngeliat mereka pelukan kemarin" tambah Rio lirih. Kali ini Agni melebarkan matanya, terkejut. Pelukan? Fika dan Debo? Agni benar-benar tidak tau soal itu. Fika belum cerita apapun padanya.
"Kemarin gue ke rumah Fika, niatnya sih buat ngasih flashdisk OSIS, tapi yang gue liat malah Fika dan Debo lagi pelukan" Rio terkekeh pelan, matanya menatap kedepan dengan tatapan menerawang.
Sebenarnya kemarin Rio sudah berada di depan rumah Fika. Namun saat tangannya akan meraih pagar rumah Fika yang terbuka setengahnya, dia malah melihat Fika dan Debo berpelukan. Senyum yang awalnya menghiasi wajah Rio memudar. Spontan dia berbalik badan dan berjalan kembali menuju motornya. Hatinya sedih, kecewa, dan dadanya sesak. Mungkin dia harus menyerah. Seperti kata Agni beberapa bulan lalu, dia juga perlu bahagia, walau tanpa Fika.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Arah (TAMAT)
Teen FictionKisah ini tentang mengejar dan dikejar. Tentang menunggu dan ditunggu. Tentang menemukan arah dan saling berbagi arah. Apapun arahmu saat ini, kepada siapapun kamu berbagi arah saat ini, semoga pada akhirnya kita searah.