SEMBILAN: Berdua

98 11 4
                                    

Fika sedang berada di ruang OSIS, menunggu anggota inti OSIS lain yang belum datang, saat Rio masuk dan memilih duduk di kursi sebelah Fika.

"Lu kenapa, Fy?" tanya Rio. Dia menopang kepala dengan tangan kanannya, menatap Fika yang tepat berada di sebelahnya.

"Apanya yang kenapa, Yo?" Fika pura-pura tidak paham arah pertanyaan Rio, berusaha terlihat sibuk dengan handphone yang ada di genggamannya.

"Yakin gak mau cerita?"

"Mau cerita apa sih? Orang gue gak ada masalah apapun" Fika masih berusaha mengelak. Rio mengangguk paham, sepertinya dia memang harus to the point.

"Lu putus sama Debo?" ditanya seperti itu membuat Fika tiba-tiba gugup namun tidak mengatakan apapun. Dia malah sibuk menerka-nerka darimana Rio tau tentang putusnya dirinya dengan Debo. Gak mungkin dari Agni, Agni sudah janji untuk tidak berbicara dengan siapapun.

"Bukan dari Agni kok. Gue liat di postingan Debo minggu lalu" jawab Rio yang seolah menyadari apa yang difikirkan Fika. Fika berdecak kesal. Dia lupa kalau Rio dan Debo cukup akrab saat SMP.

"Jadi, lu beneran putus sama Debo?" ulang Rio, kali ini dia menyandarkan punggungnya pada kursi. Fika mengangguk pelan, sedikit merenggut dan ikut menyandarkan punggungnya pada kursi. Handphone yang digenggamnya sedari tadi sudah diletakkan di atas meja.

"Itu yang bikin lu sedih dan murung hampir sebulan ini?" 

"Siapa yang murung? Orang gue baik-baik aja" Fika berusaha mengelak. Memangnya dirinya terlihat murung beberapa minggu ini?

"Udah sih, move on. Jangan galau mulu" Fika bersedekap dan menatap Rio kesal.

"Lu 'kan gak ngerasain, Rio. Lu kira move on gampang!"

"Lu ngestalking Debo terus sih, makanya susah move on" Fika memicingkan mata dengan kesal. Rio tau darimana coba kalau dirinya masih sering stalking Debo? Kenapa juga Rio tiba-tiba jadi seperti Agni yang seolah-olah bisa membaca pikiran?

"Gue juga pinginnya move on kalii, ini juga lagi usaha buat move on"

"Lagipula mau move on sama siapa?" keluh Fika kemudian.

"Move on, ya move on aja, Fy. Gak perlu orang lain"

"Yaa kali aja kalau ada orang lain, move on nya jadi lebih gampang, Yo" ucap Fika asal. Dia lalu meraih botol minum miliknya dan meneguknya dengan pelan.

"Kalau gitu, sama gue aja" jawab Rio santai. Spontan Fika menyentuh mulutnya karena nyaris menyemburkan air yang belum sempurna ditelannya.

"Berhenti bercanda, Yo. Gak lucu tau!"

"Saran gue bagus itu. Temen dekat lu yang cowok kan cuma kami berempat. Cakka udah gak mungkin karena ada Shella. Alvin juga gak mungkin, lu kan suka kesal sama dia. Lebih-lebih Riko, lu kan takut sama dia. Satu-satunya pilihan ya gue" ucap Rio menaikkan alisnya dan tersenyum jahil. Fika menatap Rio dengan tatapan kesal.

"Ck! Gak ada! Lu kok jadi bawel dan ngeselin gini sih, Yo? Kelamaan main sama Cakka nih jadi ketularan rese'!" Fika mulai sewot. Tidak biasanya Rio banyak bicara dan bercanda seperti sekarang.

Rio tersenyum tipis melihat Fika yang sudah mulai kesal. Sejujurnya hati Rio sedih dan agak kecewa mendengar jawaban yang diberikan Fika, tapi Rio segera menepis perasaan itu. Dari awal Rio tau peluangnya mengambil hati Fika memang tidak besar, tapi dia tetap akan berusaha. Rio sudah bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang dia punya. Rio kemudian berdehem, mencoba untuk menetralkan perasaannya.

"Tapi Fy—" belum sempat Rio menyelesaikan kata-katanya, Lintar dan Livia masuk kedalam ruangan. Rio tersenyum tipis sebentar pada kedua anggota OSIS yang baru saja masuk ke ruangan itu, lalu sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Fika.

"Gua serius, Fy. Move on, berhenti nangis karena Debo" ucap Rio lembut sembari mengulurkan tangannya untuk menepuk kepala Fika dengan pelan dan menariknya dengan cepat sebelum disadari oleh Lintar dan Livia yang duduk di depan mereka berdua. Fika hanya mencebik kesal mendengarnya.

***


Agni baru saja akan pulang saat hujan mulai turun. Dia berhenti tepat didepan meja piket, lalu menengadahkan kepala menatap langit yang menggelap. Karena dirasa hujan masih akan lama, dia memilih duduk di kursi tunggu dekat meja piket dan menenggelamkan dirinya bersama alunan musik yang terhubung dengan earphone yang dikenakannya. Agni masih sibuk dengan earphonenya saat seseorang menepuk bahunya pelan.

"Riko? Lu belum pulang?" Agni sedikit terkejut saat melihat Riko yang sekarang sudah duduk di sebelahnya. Agni mengira dirinya adalah satu-satunya siswa yang belum pulang. Riko hanya tersenyum sebagai jawaban.

"Lu sendirian? Cakka mana?" Riko bertanya balik dengan nada heran karena hanya menemukan Agni, sementara Cakka tidak terlihat sama sekali. Biasanya mereka pulang bersama.

"Udah pulang duluan bareng Shella" jawab Agni sembali melepas earphone dari telinganya.

Minggu lalu saat Cakka akhirnya masuk sekolah, Shella menghampiri Cakka untuk meminta maaf. Sejak itu hubungan keduanya semakin akrab. Puncaknya tadi Cakka meminta tolong—kalau tidak ingin disebut memohon—pada Agni agar gadis itu bersedia menggantikannya untuk mengembalikan bola basket ke gudang penyimpanan olahraga. Padahal sebenarnya pelatih menyuruh Cakka, tapi karena Cakka ingin mengajak Shella pulang bareng jadinya Agni yang menggantikannya. Karena itu pula Agni pulang paling akhir seperti sekarang.

"Akhirnya itu anak gerak juga. Urusan sama mantan Shella gimana?"

"Kata Cakka sih udah beres. Katanya Shella udah ngomong sama Septian"

"Baguslah. Trus dia nyuruh lu pulang sendiri?"

"Gue 'kan emang nebeng Cakka pas dia lagi jomblo aja" Agni terkekeh pelan. Riko menatap Agni, lalu ikut tersenyum.

Memang selalu seperti itu sejak dulu. Agni hanya akan pergi dan pulang bareng Cakka saat Cakka sedang tidak punya pacar. Kalau Cakka sedang punya pacar, Agni akan pergi dan pulang sendiri. Entah ikut dengan salah seorang temannya atau naik ojek online.

"Latihan lu gimana? Pertandingannya sabtu ini kan?"

"Sejauh ini baik-baik aja sih. Semoga aja kami bisa ngulang sejarah tahun lalu, bisa bawa pulang juara umum lagi" Riko hanya membalas dengan anggukan kecil. Dia sudah mendengar hal itu dari Cakka sebelumnya.

"Eh, kemarin gue nemuin lagu bagus banget loh, Ko. Lu mau denger?" pamer Agni, suaranya tiba-tiba berubah antusias. Agni menatap Riko, menunggu jawaban pemuda itu. Saat Riko mengangguk, dia lalu menyerahkan salah satu earphonenya pada Riko dan memasang earphone yang lain di telinganya. Mereka berdua memang punya selera musik yang hampir sama dan sering saling merekomendasikan lagu. Tidak lama sebuah lagu mengalun melalui earphone yang mereka kenakan.

Riko tersenyum sembari memperhatikan Agni yang sekarang sedang tenggelam pada alunan lagu yang didengarnya, sesekali Agni ikut bernyanyi. Riko tersenyum tipis. Riko selalu suka mendengar suara Agni. Sudahkah Riko bercerita bahwa selain jago bermain gitar, Agni juga memiliki suara yang merdu? Riko juga suka melihat Agni yang sedang tersenyum, Agni yang sedang tertawa, Agni yang sedang kesal, Riko suka semuanya tentang Agni.

"Gimana? Bagus kan?" Riko hanya mengangguk.

"Nanti kita gitaran bareng pakai lagu itu, gimana?" tawar Riko kemudian, Agni segera mengangguk antusias.

"Ko, sepertinya hujannya udah reda" kata Agni tiba-tiba karena dia tidak lagi mendengar suara hujan deras dari luar gedung sekolah. Dia bangkit memperhatikan langit dan mengulurkan tangan kedepan untuk memastikan. Tidak ada lagi hujan deras, hanya gerimis kecil yang tersisa.

"Yaudah, yuk pulang. Gue anter deh" Riko bangkit kemudian berdiri disebelah Agni, mengulurkan jaketnya. Agni mengerutkan dahi, menatap bingung.

"Dingin, entar lu sakit. Kalau sakit gak bisa tanding" Agni diam sesaat, tapi kemudian menerima jaket Riko.

"Thanks, Riko"

***

Berbagi Arah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang