DUA PULUH DUA: Rumit

79 9 2
                                    

Via tau cara efektif untuk mengurangi masalahnya adalah dengan menyelesaikan mereka satu demi satu dan Via memilih untuk menyelesaikan urusannya dengan Sion terlebih dahulu. Karena itu siang tadi, sepulang sekolah, dia meminta bertemu dengan kakak kelasnya itu di taman belakang sekolahnya. Dia menolak kakak kelasnya itu, dengan cara sopan tentu saja.

Beruntung kakak kelasnya itu bisa mengerti dan tidak memaksa Via untuk menerimanya. Sepertinya Sion memang tidak seburuk anggapan Via di awal, yah walaupun Via tetap tidak ingin terlibat banyak dengan kakak kelasnya itu. Ingat 'kan? Via ingin menjalani masa sekolah menengahnya dengan tenang dan terlibat banyak dengan kakak kelasnya itu tentu tidak bisa memberikannya kehidupan masa sekolah yang tenang. Sekarang pundak Via terasa lebih ringan. Satu masalahnya terselesaikan dan dia bisa fokus menyelesaikan masalah yang lain.

Untuk merayakannya, sore itu Via berjalan santai menuju minimarket yang berada tidak jauh dari kompleksnya untuk membeli beberapa cemilan. Via sering melakukan hal ini saat berhasil menyelesaikan sesuatu, sebagai bentuk apresiasi pada diri sendiri, kalau kata Via. Kebetulan mamanya juga menitip beberapa belanjaan padanya. Setelah selesai membeli titipan mamanya, Via berkeliling memilih cemilan dengan serius.

"Beli yang mana ya?" gumamnya saat berada di depan rak cemilan. Dia meletakkan keranjang belanjaan di lantai dan kedua tangannya memegang dua cemilan berbeda. Setelah lama berfikir, pada akhirnya Via memutuskan untuk membeli keduanya saja.

Saat sedang melihat-lihat es krim yang ada di deep freezer—yang menghadap ke jalan raya, Via seperti melihat bayangan Alvin di halte seberang minimarket.

"Itu Alvin 'kan?" tanya Via pada dirinya sendiri. Spontan Via memicingkan matanya, memusatkan pandangannya kearah halte.

Itu benar Alvin. Ada Nova juga disana. Yang membuat Via sedikit shock adalah tangan Alvin yang melingkar di bahu Nova. Alvin merangkul Nova dan itu bukan rangkulan seorang sahabat—di mata Via. Via bisa melihat Alvin merangkut Nova dengan erat. Tanpa sadar Via mengeratkan genggamannya pada keranjang belanjaan yang dijinjingnya sedari tadi. Hatinya panas.

Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan dirinya tidak salah orang. Mereka berdua seperti sedang membahas sesuatu sembari berjalan cepat melewati halte. Dengan cepat Via meletakkan keranjang belanjaannya begitu saja dan berlari keluar minimarket, berusaha mengejar keduanya.

"Alvin!" panggil Via, berharap Alvin berbalik.

Sayangnya Alvin tidak mendengar panggilan Via karena sudah berbelok di perempatan jalan besar. Kedua mata Via tiba-tiba memanas, hatinya sedih dan marah secara bersamaan. Teganya Alvin melakukan ini padanya. 

Via menghela nafas berat, kemudian kembali masuk ke dalam minimarket dan menebus belanjaannya dengan cepat. Via ingin segera pulang dan mengurung diri di kamarnya, mungkin itu bisa membantunya mengurangi rasa sedih di hatinya.

***


Rio memperhatikan Fika dari bangkunya dengan tatapan penuh tanda tanya. Gadis itu duduk di bangkunya dengan gusar. Mata Fika tidak lepas dari handphonenya sejak pagi tadi. Bahkan saat pelajaran tadi, Rio mendapati Fika beberapa kali mencuri waktu untuk menatap handphonenya—yang dia letakkan di laci meja. Tidak biasanya gadis itu tidak memperhatikan pelajaran seperti ini.

Rio sudah berdiri dari bangkunya, berniat menghampiri Fika saat bel pulang berbunyi. Namun niatnya itu urung saat tiba-tiba Agni masuk ke dalam kelasnya dengan berlari kecil, terlihat sedikit panik. 

"Ada apa?" tanya Agni. Fika yang sedari tadi sibuk mengetukkan jarinya ke layar handphone dengan gusar, spontan menatap Agni. Dengan cepat Fika bangkit dari duduknya, menyambar tasnya, lalu menarik lengan Agni. 

Berbagi Arah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang