TIGA PULUH DUA: Perasaan Agni

135 11 7
                                    

Agni yang baru saja keluar kelas sedikit terkejut saat menemukan Riko sudah berada di depan kelasnya, "Tumben jemput depan kelas?" heran Agni.

Riko terkekeh pelan, "Iseng aja. Kebetulan tadi kelas gue keluarnya cepet, yaudah sekalian aja jemput lu"

"Hari ini lu jadi ditemenin ke toko buku?" tanya Agni lagi.

Riko mengangguk, "Nanti gue traktir crepes. Dari kemarin lu pingin makan itu kan?" Agni mengangguk antusias, membuat rambut ekor kudanya ikut bergerak pelan. Dari kemarin-kemarin dia memang sangat ingin makan crepes. Cakka sudah janji akan membelikan, tapi sampai sekarang belum ditepati juga. Riko tertawa karena melihat mata Agni yang berbinar-binar hanya karena mendengar kata crepes.

Keduanya berjalan santai melewati meja piket saat tiba-tiba sebuah jaket tersampir menutupi kepala Agni. Agni menurunkan jaket itu—karena menghalangi pandangannya, lalu menoleh dengan cepat dan menemukan Cakka sudah berdiri di sebelahnya memamerkan senyum.

"Dipake jaketnya" katanya.

Agni memicingkan mata, "Buat apa? Gak hujan—"

"Belum hujan, tapi bakal hujan" sela Cakka cepat, "Lu ngga liat langitnya udah mendung?" lanjutnya menunjuk langit yang memang mulai menggelap.

"Tapi kan belum hujan Cakka" balas Agni, masih bersikeras tidak ingin memakai jaket Cakka.

"Nanti lu sakit, masuk angin, gue juga yang ribet" omel Cakka sembari melipat tangan di depan dada. 

"Tapi—"

"Gue udah berbaik hati ngasih lu jaket, tapi lu gak mau. Gue merasa tersakiti" Cakka mulai drama.

"Udah, Ag. Jaketnya dipakai aja biar Cakka ngga makin drama" bujuk Riko sebelum Agni kembali melontarkan penolakannya. Agni mencebik kesal. Dua lawan satu, Agni kalah. Dengan terpaksa Agni melepas tas punggungnya, menitipkannya pada Riko, kemudian mengenakan jaket pemberian Cakka dengan bersungut-sungut.

"Nih udah!" kata Agni sembari menyampirkan kembali tas punggungnya ke bahunya, sementara itu Cakka menatap Agni dengan senyum puas karena berhasil membuat gadis keras kepala di depannya mengenakan jaket miliknya. Cakka hanya khawatir Agni sakit, itu saja. Agni melengos dan berjalan lebih dulu kearah parkiran, meninggalkan Riko dan Cakka.

"Titip ya, Ko. Kalau dia susah dikasih tau, turunin aja di tengah jalan, entar biar gue yang jemput dia"

Riko mendengus, "Itu sih mau lu!" serunya sebelum menyusul Agni menuju parkiran.

***


"Duduk disitu, Ko" panggil Agni riang sembari menunjuk ayunan di sebelahnya yang kosong.

Tadi setelah pulang dari mencari buku olimpiade untuk Riko, Agni meminta Riko berhenti di taman dekat kompleksnya. Kata Agni, dia belum ingin pulang, masih pingin ngobrol bareng Riko. Tentu saja Riko menyetujui dengan senang hati karena bisa lebih lama bersama Agni.

Keduanya terdiam, Agni sibuk menambah laju ayunannya—yang membuat beberapa helai anak rambutnya tertiup angin, sedangkan Riko sibuk mengamati gadis itu diam-diam. Entah karena sekarang sudah menjelang petang atau karena hujan yang baru selesai turun, taman itu jadi lebih sepi daripada biasanya. Di parkiran saja, hanya ada dua kendaraan yang terparkir—salah satunya adalah motor Riko.

Agni menghentikan laju ayunannya dengan sekali hentakan kaki, merapikan poninya yang berantakan karena tertiup angin dengan tangan kanan. "Ada apa?" tembaknya tanpa pembuka apapun.

Riko mengernyitkan dahi tidak mengerti, "Hah?"

"Akhir-akhir ini gue ngerasa lu pingin ngomong sesuatu ke gue" Agni lalu menoleh kearah Riko dengan raut wajah serius, "Apa itu cuma perasaan gue aja?"

Berbagi Arah (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang