Siang itu, di jam istirahat kedua, Rio dan teman-temannya memilih untuk menghabiskan waktu istirahat kedua di kelas mereka. Keempatnya sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Cakka dan Riko sedang sibuk berdiskusi tentang game keluaran terbaru, Alvin sibuk sendiri dengan handphonenya, sedang Rio memilih duduk di kursi paling belakang, agak jauh dari teman-temannya.
Rio menatap buku biologi di depannya tanpa minat, otaknya terasa penuh. Rio lalu menatap kearah bangku Fika yang sedang kosong dengan tatapan menerawang.
Rio yang penasaran dengan kegusaran yang muncul di wajah Fika siang itu memutuskan untuk menyusul Fika dan Agni tidak lama setelah mereka berdua keluar kelas. Rio awalnya bingung kemana kedua gadis itu pergi, sampai tanpa sengaja ekor matanya menangkap bayangan Agni yang ditarik paksa oleh Fika masuk ke ruang OSIS. Dengan sedikit berlari, Rio menuju ke ruang OSIS. Dia sudah berdiri di depan pintu, menatap pintu ruang OSIS dengan bimbang.
"Nanti gue tanya Agni aja deh" putusnya beberapa saat. Rio paham, Fika mungkin butuh waktu dan Rio ingin memberikan waktu yang dibutuhkan Fika. Namun saat akan berbalik, tanpa sengaja Rio mendengarkan obrolan Agni dan Fika.
"Jadi, Debo minta balikan?" Rio bisa mendengar suara Agni samar-samar dari dalam ruangan. Tangannya mengepal tanpa sadar.
"Gue bingung, Ag. Gue mesti jawab apa?" Tangan Rio mengepal semakin kuat.
"Emang perasaan lu ke Debo sekarang gimana? Lu masih sayang? Masih berharap balikan?" Rio bimbang dengan kelakuannya sekarang ini. Dia tau tidak seharusnya dia mencuri dengar seperti ini, tapi dia tidak bisa berbohong kalau dia ingin mendengar jawaban yang akan diberikan Fika.
"Udah terlanjur, yaudah sekalian aja" batin Rio.
Rio lalu menajamkan telinganya, menunggu jawaban Fika. Hatinya berdebar sangat kencang, berharap Fika menjawab 'tidak' untuk semua pertanyaan yang dilontarkan Agni.
"Gue masih sayang sama Debo, Ag"
Jawaban Fika terdengar seperti mantra yang menyakitkan untuk hati Rio. Kaki Rio melangkah mundur tanpa sadar, lalu dia membalik badannya untuk menjauh dari tempat itu. Sudah cukup. Rio tidak mau mendengar kelanjutannya lagi. Hatinya sakit.
Kemarin dia tidak terlalu memikirkan kejadian itu karena disibukkan dengan kegiatan pelatihan jurnalistik. Saat kegiatan jurnalistik berakhir, kejadian itu kembali mengganggunya. Rio menghela nafas berat, tatapannya masih menatap bangku Fika.
Kejadian itu membuatnya bingung harus bersikap seperti apa kepada gadis itu. Dia kira kedekatannya dengan gadis itu akhir-akhir ini sudah berhasil menghilangkan bayang-bayang Debo, dia kira Fika sudah bisa membuka hati untuk dirinya, dia kira penantian tiga tahunnya akan membuahkan hasil, nyatanya tidak. Tidak ada yang berubah. Fika masih sayang Debo dan kenyataan itu membuat Rio down seketika."Apa ini pertanda kalau gue harus menyerah?" tanyanya, lebih pada dirinya sendiri.
***
Alvin duduk santai di warung seberang SMA Nusantara sembari menyesap minuman kaleng yang dibelinya. Matanya memperhatikan satu per satu siswa yang melewati gerbang SMA Nusantara, mencari bayangan Via.
Sebuah telepon mengalihkan tatapannya. Saat melihat nama sang penelpon, dengan cepat Alvin meraih handphonenya yang dia letakkan di hadapannya.
"Iya, Ag? Gimana?" Alvin bertanya dengan nada tidak sabar. Dia memang meminta tolong pada sekutunya itu untuk menanyakan jam pulang Via, berhubung Via sama sekali tidak membalas pesannya sejak pelatihan jurnalistik selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbagi Arah (TAMAT)
Novela JuvenilKisah ini tentang mengejar dan dikejar. Tentang menunggu dan ditunggu. Tentang menemukan arah dan saling berbagi arah. Apapun arahmu saat ini, kepada siapapun kamu berbagi arah saat ini, semoga pada akhirnya kita searah.