Bab 29 : Retak tak terbentuk

27.9K 2.7K 1K
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kekuatan pun ada batasnya. Tidak ada manusia yang kuat setiap saat, tegar setiap waktu, sampai tidak pernah menangis. Jangan terlalu menahan air mata sampai lupa bahwa Allah tidak pernah melarang hamba-Nya mengeluarkan segalanya lewat tangisan.

*** 


Aku bahkan tidak tahu dengan sikapku yang membalikkan badan membelakanginya. Kenapa aku tidak ingin melihat wajahnya walaupun hanya sekadar pandangan? Kenapa aku hanya ingin terus menghindarinya? Istri tak berguna ini tidak pantas bersanding dengannya, sama sekali tidak pantas. 

Luka hatiku semakin bertambah saat mendengar suara napas beratnya meski pelan. 

"Kayla."

Telaga mata beningku tergenangi air tepat bibirnya mengeluarkan suara panggilan atas namaku. Bulir-bulir itu menetes deras membasahi permukaan pipi sampai terjatuh di bed. Sesak rasanya, menangis dalam diam, berjuang tidak menghadirkan suara tangis dengan posisi masih membelakanginya. 

"Aku minta maaf." Nada bicaranya belum pernah aku dengar sebelumnya, suara sendu yang justru meruntuhkan kekuatanku seketika. 

"Cangkang bertugas melindungi Mutiaranya, seperti apa yang pernah pria itu janjikan kepada istrinya tempo hari." Dia menjeda kata-katanya, "Dan tepat istrinya terjatuh di acara kemarin, pria itu sudah menjadi suami brengsek."

Aku memejam, membiarkan derasnya air mata membanjiri wajahku. Jemariku meremas dada sangking sesaknya. 

"Harusnya suami brengsek itu selalu di dekat istrinya, menggenggam tangannya dan tidak melepasnya sekalipun malam itu. Semuanya terlambat, pria bernama Amir Malik Elfathan lalai menjaga semestanya, terlambat." Helaan napas penyesalan benar-benar bisa kudengar.

"Allah pun menegurnya lewat musibah yang terjatuh pada istrinya. Seperti memberikan pelajaran bahwa janji yang sudah ucapkan kala itu tidak bisa dia tepati." Jeda beberapa detik, "Mutiaraku ...." panggilnya lirih. 

Aku menggigit bibir bawah sambil meremas sprei bed sekuat mungkin, menahan penuh perjuangan agar tidak meledakkan tangisan di depannya. Kuatkanlah aku, Allah.  

"Perlu kamu tahu, Amir Malik Elfathan tidak akan pernah berhenti mencintai anugerah terindahnya berwujud wanita yang menyembunyikan tangis disana. Demi Allah tidak akan pernah."

Aku membungkam mulutku sendiri dengan telapak tangan menyadari perkatannya yang mengetahui diriku menyembunyikan tangisan. 

"Jangan menangis ...." pintanya, "Karena itu menghancurkanku."

Aku tidak sanggup, Ya Allah. Jujur aku ingin meluapkan tangisan ini di dalam pelukannya, di tempat ternyaman itu. Tapi, aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa. 

"Sayang ...." panggilnya lagi yang membuat air mata semakin deras berjatuhan, "Makan, ya?"

"Hanya ini permintaanku."

Tiba-tiba hening. Tidak ada suara lagi setelah beberapa menit. 

"Baiklah, aku akan pergi sebentar lagi." Suaranya terdengar kembali, "Tapi setelah melihatmu mengangguk bersedia makan." 

Mutiara Dalam CangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang