Bab 36 : Bertahan atau menyerah?

28.4K 2.9K 1.3K
                                    

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

"Angin tidak berembus untuk menggoyangkan pepohonan, melainkan menguji kekuatan akarnya."   ~ Ali bin Abi Thalib. 

***


"Kayla, obatnya sudah kamu minum?"

Ucapan perihal obat yang dia lontarkan membuatku memasang raut muak di depan kaca rias. Allah, Izinkan aku lelah hari ini, izinkan aku putus asa hari ini. 

"Kayla kamu dengar? Aku sedang bertanya," tanya Mas Amir lagi yang sudah berdiri tepat di belakangku.

Aku menghela napas sejenak seraya memejamkan mata, "Biarkan untuk hari aku libur minum obat, hanya untuk hari ini."

Langkahnya maju mendekat, "Apa maksudmu?"

Malas menjawab, aku hanya diam membisu. 

"Kayla?"

"Mas, aku harap kamu mengerti."

"Dan aku tidak akan pernah mau mengerti untuk menuruti kemauanmu," putusnya spontan, "Tidak ada kata libur untuk minum obat."

Aku berdiri dan berbalik badan ke arahnya, "Aku muak Mas, aku capek."

"Ini demi kesembuhanmu, Kayla!" Nada bicaranya mendadak naik. 

"Bukan kesembuhan tapi penderitaan, Mas!" Jeda beberapa detik, "Pada kenyataannya obat-obatan itulah yang membuatku semakin putus asa, obat-obatan itulah yang membuatku semakin tidak yakin dengan keajaiban Allah!" 

"Semakin tidak yakin? Baiklah. Lalu apakah Allah suka dengan hamba yang menyepelekan nyawanya? Allah membenarkan perilaku hamba yang pasrah tanpa ikhtiar? 

Alisku berkerut, "Aku berikhtiar untuk sembuh, Mas Amir." 

"Dengan cara tidak minum obat?" 

Aku menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskan sedikit gusar, "Kemudian aku bisa sembuh dengan cara minum obat-obatan itu?" Bendungan air mulai mengumpul di kelopak mata, "Bukankah jalan salah satunya untuk sembuh adalah dengan mengangkat rahimku? Bukankah rahimku harus diambil dulu? Jawab, Mas? Bukankah begitu?" 

Dia langsung terdiam. 

"Jika benar obat-obatan itu bisa menggantikan pengangkatan rahim, maka tidak perlu diperintah pun aku akan melakukannya setiap hari tanpa lelah. Aku hanya tidak ingin rahimku diambil ... jangan menyetujui pengangkatan rahim itu, Mas, aku mohon." Kedua tanganku menyatu sebagai tanda permohonan. Tetesan air mataku berakhir lolos satu persatu. 

Aku melihatnya memijat kening sembari menghembuskan napas berat. Bahkan terdengar desisan istighfar dari bibirnya. 

"Jangan paksa aku please ..." jeda tarikan napas, "Aku mohon, Mas ...."

"Cukup! Cukup, Sayang!" Dia mendaratkan kesepuluh jemarinya di rahangku, "Masih banyak anugerah terindah yang akan Allah kirimkan untuk kita, masih ada tempat pengharapan kekal yang akan memberikan kita jalan keluar dan juga kebahagiaan. Ikhlaskan semuanya, biarlah keikhlasan dan putus asa saling bertarung, kemudian Allah yang menentukan siapa pemenangnya." 

Mutiara Dalam CangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang