Bab 35 : Pilihan berat

26.5K 2.8K 1.1K
                                    

Rasa sakitnya tidak akan pernah terwakilkan oleh apapun juga, rasa kecewanya tidak akan bisa digambarkan dalam bentuk apapun juga. Dia telah terjatuh rapuh dan sulit bangkit kembali. 

*MUTIARA DALAM CANGKANG*

*** 

Hari demi hari mereka berdua lewati dengan keadaan yang berbeda. Sepasang suami istri yang selalu menebarkan keromantisan, penuh momen cinta serta canda tawa kebahagiaan, kini sudah tidaklah lagi. Ruangan kamar yang selalu menjadi saksi kenangan romantis mereka kini telah berganti dengan ruangan hening seperti tak ada kehidupan. 

Tidak terdengar lagi suara tawa dan rengekan manja Kayla di ruangan itu, si wanita cerewet yang hobi menganggu suaminya saat sibuk mengotak-atik laptop. Tidak menampakkan lagi tingkah Kayla yang super hiperaktif, berputar-putar di depan kaca ataupun berlari antusias menyambut suaminya yang baru saja pulang kerja. 

Kini wanita itu hanya mengurung dirinya sendiri di dalam kamar, sering menghabiskan waktunya begitu lama di balkon, terdiam memandangi indahnya awan dengan tatapan kosong. Tidak nafsu makan, tidak bergairah keluar kamar meskipun hanya sekedar menyapa siapapun. 

Ada yang diam-diam mengamati sosok perempuan di sana, memperhatikan istrinya yang tengah duduk bergeming di ayunan balkon. Amir memejamkan mata lumayan lama, hatinya benar-benar terluka melihat cintanya seperti itu. 

Amir memilih diam karena mengerti istrinya hanya butuh waktu untuk sendiri. Ya, walaupun lelaki itu sama sekali tidak berubah. Ia tetap menjadi pribadi yang overprotektif apalagi berkaitan dengan kesehatan Kayla, tidak membiarkan Kayla melupakan makan ataupun lalai meminum obat. Amir akan selalu menjadi Amir yang seperti itu, yang selalu mencintai Mutiaranya tanpa peduli hebatnya badai menerjang. 

Lelaki si pemilik mata elang itu tak kalah hancurnya, ia hanya tidak ingin kehilangan Kayla. Setiap sujud Amir berdoa agar Allah mengetuk hati istrinya, memohon pada sang Illahi Rabbi untuk membuat istrinya ikhlas rahimnya diangkat. 

Ujian ini sungguh berat untuk mereka berdua. Sepasang suami istri yang sama-sama terluka. 

Pria berumur dua puluh tujuh tahun itu melangkahkan kaki menghampiri sang istri, "Boleh aku di sini?"

Mendengar suara bariton khas suaminya, Kayla menoleh dengan sesekali menyibak beberapa helai rambutnya yang menutupi mata. Tak lama kemudian ia mengangguk pelan. 

Amir menurunkan tubuhnya agar sejajar dengan Kayla, menekuk lutut sembari meraih lembut kedua tangan mulus istrinya, "Makan, ya?"

"Nanti aja ya, aku mau--"

"Ini bukan penawaran." Mata teduh Amir terpusat pada bibir pucat di depannya, "Sudah berapa kali beralasan jika diajak makan?" Nada bicaranya tetap lembut meski dengan wajah tegasnya. 

"Bahkan tadi pagi obatnya belum kamu minum. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu," sahutnya kembali. 

Kayla menundukkan kepala, menyadari kebodohannya yang terbongkar. 

Amir langsung menangkup wajah istrinya, "Kamu tahu betapa khawatirnya aku dengan wanita pucat ini, betapa cemasnya aku dengan wanita yang terlalu menyepelekan keadaannya ini. Menurut, sekarang makan. Atau ingin makan di luar?" bujuknya agar Kayla bersedia makan. 

Kayla tersenyum tipis lalu menggeleng pelan, "Aku makan di sini aja."

"Tapi sekarang, Sayang. Tidak boleh nanti."

Mutiara Dalam CangkangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang