[12] lembar dua belas

292 57 0
                                    

"Terus lo mau gimana?" tanya Ergaf, pengen tau apa yang mau dilakukan Leon selanjutnya, setelah cerita panjang lebar soal perasaannya akhir-akhir ini.

Leon menghela napas gusar. "Menurut lo, gue harus gimana, Yut?"

Menyeruput kopinya dengan santai, cowok itu menjawab, "Ya kalo gue sih, ikut aja sama kata hati lo. Berani ambil resiko dong, masalah dibales enggaknya itu urusan belakang, yang penting dia tau perasaan lo gimana, dan lo berani ngungkapin hal itu. Masa berani ngebaperin, tapi giliran disuruh nyatain perasaan, malah ciut?" saran Ergaf yang memang paling top markotop kalau udah urusan hati sama cewek. Padahal kisah cintanya sendiri aja juga belum bener.

Leon kembali menghela napas gusar. "Tau ah pusing, baru kali ini gue uring-uringan gara-gara cewek."

Ergaf tertawa. "Udah, kaga usah dipikirin, kita kumpul buat lupain beban hidup, nanti coba lo diskusiin sama diri lo sendiri, tanyain ke diri lo, maunya begimana, enaknya begimana."

"Iye dah."

"Emang siapa sih yang lo maksud? Cewek yang lo maksud waktu itu, apa beda lagi?" tanya Ergaf penasaran.

"Yang waktu itu mah, dia udah punya pacar, anjing. Ini beda lagi, tapi serius yang ini mah," jawab Leon dengan raut wajah yang membuat Ergaf tertawa.

"Ngenes amat lo. Ngomong-ngomong, final tadi, musuh lo sekolah mana?" tanya Ergaf mengalihkan topik, biar nggak galau-galau amat.

"Anak Taruna Bangsa, lumayan juga mainnya, badannya gede-gede kayak tukang angkat barbel di gym," ujar Leon berlebihan, membuat Ergaf tertawa.

"Ya kali tukang angkat barbel, gila kali lo anak SMA badannya segede preman pasar," kekeh cowok itu.

"Oh iye, Le, kemaren pas lo dispen, ada tugas kelompok biologi, kebetulan nih kita sekelompok." Jevano yang baru datang bawa semangkuk mi instan, duduk di samping Ergaf, menginterupsi obrolan dua cowok itu.

Kayak biasa, sore sepulang sekolah ini mereka kumpul ria di warteg yang nggak jauh dari sekolah, tapi hari ini Damex lagi absen, karena katanya capek habis final tadi pagi.

Leon mengerutkan dahinya. "Cowok semua?"

"Kaga, dua cewek empat cowok." Denzel yang daritadi sibuk mainan ponsel ikutan nyahut.

Leon hanya manggut-manggut, aman kalau ada ceweknya, jadi kemungkinan kecil kena hukuman gara-gara nggak kerjain tugas, karena biasanya 'kan anak cewek rajin.

"Ngapain sih ngerjain tugas, berdiri bawah tiang bendera 'kan enak, panas-panas sejuk, apalagi kalo ditinggal ke kantin," celetuk Stevan, mengajak sesat.

"Itu elo, gue mah rajin, calon imam masa depan malu-maluin kalau nggak ngerjain tugas," balas Kevin.

"Pret, calon imam masa depan tapi shalat subuh jam tujuh pagi," sindir Stevan.

"Rajin tai, yang tadi pagi nyalin tugas gue sape? Setan?" timpal Jevano ikut menyindir.

Ketika akan ikut meledek Kevin, tiba-tiba ponsel Denzel bergetar, menandakan ada telepon masuk.

"Tumben banget nih, si Alin," gumam Denzel ketika melihat nama kontak Adlyne tertera di layar ponselnya. Denzel menggeser tombol hijau di ponselnya, lalu iseng menyalakan speaker.

"HEH SETAN, DIMANA LO?! DITUNGGUIN NGGAK DATENG-DATENG, JANGAN BILANG KALO LUPA, AWAS AJA YA, GUE LAPORIN KALIAN KE BU ANIS BIAR DIHUKUM!"

Nggak cuma Denzel, mereka yang ada di sana ikutan kaget sewaktu dengar teriakan Adlyne dari ponselnya Denzel.

"Buset," celetuk Ergaf, tertawa saat menyadari jika itu adalah suara Adlyne.

Bittersweet Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang