01. Tempat Baru, Suasana Baru

42.5K 1.6K 39
                                    

Bab - 01

(Tempat Baru, Suasana Baru)

🍁🍁🍁🍁🍁

...


Perasaan asing seketika muncul, saat aku baru saja menginjakkan kaki di jalan tanah tanpa lapisan aspal. Suasana tampak mulai gelap, mengingat waktu sudah mau maghrib saat mobil yang dikendarai mas Bayu —suamiku, berhenti didepan sebuah rumah sederhana yang lumayan besar, dengan taman penuh bunga cantik berjejer di sana.

Rumah berbahan setengah tembok di bagian bawah, dan setengah lagi berbahan kayu di bagian atasnya. Jendela-jendela kayu dengan ventilasi udara seperti di Lawang Sewu, dan pintu dengan dua daun pintu khas Jawa. Rumah sederhana namun terlihat rapi dan bersih.

Udaranya sangat segar disini, namun minim sekali penerangan di setiap jalan yang tadi kami lewati. Ada perasaan was-was melihat suasana pedesaan yang sepi saat magrib seperti ini, terbesit perasaan ingin kembali ke Jakarta saja, melihat suasana Desa ini yang masih jauh dari kata modern.

Namaku Naira Maheswari dan usiaku baru menginjak 23 tahun. Namun papa memaksaku untuk menikah dengan lelaki pilihannya, Bayu Adjikusuma yang terpaut 5 tahun lebih tua dariku. Dia berasal dari Desa terpencil di Jawa tengah, tepat dimana sekarang aku terdampar bersamanya.

Desa dengan suasana yang sangat kolot dan tradisional, aku tidak melihat sedikitpun suasana modern disini, yang ada hanya kegelapan dan derikan dari serangga hutan yang saling menyahut. Seram!

"Dek, ayo masuk!"

Panggilan mas Bayu mengalihkan perhatianku. Aku mengikuti langkahnya memasuki rumah peninggalan orangtuanya dulu, itu yang dia katakan.

Rumah berteras kayu, dengan beberapa pot bunga yang tergantung menghiasi. Disebelah kanan rumah terdapat banyak tanaman cabai dan tomat yang sudah berbuah dan harusnya segera di panen.

Disebelah kiri rumah, terdapat saung kecil yang terlihat cukup nyaman untuk menenangkan diri. Posisi rumah yang sedikit tinggi, menghadap timur, menghadirkan pemandangan gelap menjelang malam seperti ini. Mungkin saja pemandangan disiang hari akan berbeda lagi, tentunya.

Di Kanan kiri berjejer rumah warga dengan model bangunan yang serupa satu sama lainnya, rumah joglo khas Jawa.

"Silahkan masuk, Dek."

Lagi-lagi lamunanku tersadar oleh panggilan mas Bayu, pintu rumah sudah terbuka dan barang-barang ternyata juga sudah dimasukkan.

Segera aku memasuki rumah dengan interior dan gaya khas Jawa. Ruang tamu yang cukup luas yang langsung menyambung dengan ruang keluarga. Meja dan kursi dari kayu jati begitu mengkilap tersorot cahaya lampu temaram. Ada beberapa pajangan juga yang menggantung ditembok, termasuk beberapa foto yang dibalut dengan bingkai.

"Maaf ya Dek, rumahnya ndak besar." Mas Bayu tersenyum saat mengatakan itu.

Aku duduk di kursi panjang yang terbuat dari kayu jati itu, bagus juga, ukirannya sangat kental dengan khas Jawa dengan nilai seni tinggi.

Sebenarnya rumah ini terlihat besar jika sudah didalam, tidak banyak sekat sehingga semuanya nampak plong dan tidak terlalu sempit. Ada tiga kamar yang berjejer menghadap ruang tamu dan ruang keluarga.

Rumah ini tidak terlalu buruk, dibandingkan dengan rumah-rumah lainnya disekitar sini. Selama perjalanan aku hanya melihat tidak lebih dari 10 rumah yang terlihat bagus dan besar. Rata-rata semua rumah disini masih berbahan kayu dan bambu, juga tidak terlalu besar dan bagus, tentunya.

Rumah mas Bayu termasuk salah satu dari 10 rumah tadi, yang terbilang cukup bagus untuk ukuran Desa yang masih sangat tradisional dan ... Primitif ini.

"Aku haus," Kataku, setelah sekian lama diam karena sibuk mengamati sekitar.

"Mas, ambilkan dulu."

Mas Bayu segera pergi ke dapur dan tak lama kembali dengan nampan yang diatasnya terdapat teko kecil dan dua gelas. Dia menaruhnya dimeja di depanku dan menuangkan airnya untukku.

Segera ku teguk air itu hingga tandas, dan meletakkan kembali gelas itu dimeja. Segar juga airnya.

"Aku mau, semua lampu di rumah ini diganti dengan lampu yang lebih terang, dan tambahkan lagi lampu dibeberapa tempat. Gelap banget tau, gak! Serasa dihutan!" Kataku lagi.

Aku mengamati setiap penjuru rumah. Lampu yang digunakan hanya lampu 5watt, dengan cahaya kuning yang temaram, sehingga masih nampak sedikit gelap. Ada lemari bufet yang lumayan bagus, dan juga televisi yang nampaknya sudah jadul.

"Dan TV itu, aku mau kamu ganti dengan TV LED dengan ukuran yang sama dengan punya papa di Jakarta." Aku menunjuk televisi usang itu.

Mas Bayu tampak bingung dan gusar dengan permintaanku. "Iya, nanti Mas usahakan, ya," jawabnya.

"Aku capek, pengin istirahat."

Mas Bayu berdiri, kemudian beranjak menuju salah satu pintu yang tak jauh dari tempatku duduk dan membukanya.

"Adek istirahat disini,ya, kamar ini yang paling luas dari kamar lainnya di rumah ini," tuturnya lembut.

Aku beranjak dan menghampirinya yang berdiri didepan pintu dengan senyum yang tak lepas dari bibirnya, menjengkelkan!

Aku segera masuk dan mengamati setiap penjuru kamar ini, dan duduk diatas kasur kapuk yang tidak terlalu empuk, walau terlihat masih baru. Kamar ini memang cukup luas, walau tak seluas kamarku di Jakarta, tapi lumayan lah.

Mas Bayu mengikutiku masuk kedalam kamar. "Adek bisa taruh barang-barang Adek, disini." Dia menunjuk lemari kecil didekat jendela.

"Aku mau ada kamar mandi didalam kamar ini, dan ganti kasur lapuk ini dengan spring bed seperti punyaku di Jakarta. Aku enggak bakal bisa tidur nyenyak, kalau kasurnya kayak gini!" tukasku dingin.

"Emm ...." Mas Bayu menggaruk tengkuknya, dan menatapku dengan kikuk. "Kalau untuk kasur, nanti Mas akan ganti. Tapi, kalau untuk membuat kamar mandi, sepertinya ndak bisa, Dek, lahannya tidak cukup. Kalau Adek perlu ke kamar mandi, tempatnya ada dibelakang dekat dapur," sambungnya.

Aku mendengus kesal. Males banget kalau harus keluar kamar saat mau kencing atau poop!

Aku merebahkan diri di kasur lapuk itu karena badanku sudah capek, rasanya punggungku harus cepat-cepat diluruskan, setelah seharian duduk di mobil.

Tanpa diduga, mas Bayu ikut merebahkan dirinya di sampingku, segera aku kembali bangun dan duduk. "Kamu ngapain tidur disini?" Tanyaku, tak suka dan menatap mas Bayu sinis.

Mas Bayu juga bangkit dan duduk menghadapku, dia terlihat bingung mendengar ucapanku. "Emmm... Kita kan suami-istri, wajar kalau kita tidur sekamar," jawabnya.

"Denger ya, walaupun kita sudah sah sebagai suami-istri, aku enggak mau tidur sekamar sama kamu. Lebih baik kamu tidur ditempat lain saja. Kamu tahu kan, alasan kita menikah itu apa?!" seruku.

Mas Bayu tampak terkejut dengan sikapku, namun dia tetap menampilkan senyumnya walau terlihat berbeda dari yang tadi.

"Ya, mas ngerti. Yasudah, kamu istirahat ya, nanti mas, tidur dikamar sebelah saja. Kalau nanti butuh apa-apa, kamu panggil mas saja. Selamat malam." Mas Bayu meninggalkan kamar dan menutup pintu.

Aku menghembuskan napas lega. Menatap langit-langit kamar, dan memikirkan bagaimana kedepannya nanti, apakah aku bisa beradaptasi disini? Tapi rasanya tidak mungkin!

Dinikahi Pemuda DesaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang