Peri Pohon
Oleh: ChandrikaSuara nyanyian kecil merambat dari cela sulur pohon dan dedaunan, semakin didekati semakin mengeras. Namun, terdengar lembut. Lantunan lagu itu berasal dari gadis cilik harum berambut pirang dan memiliki bibir seranum buah beri. Dia; Jini. Gadis kecil yang dikenal karena selalu memakai topi baret dengan motif buah stroberi kecil kesayangannya. Ia tampak lugu dan periang di usia yang baru menapaki umur enam tahun.
Pagi hari yang cerah sama seperti kemarin di mana cahaya mentari masih menyelimuti bumi, Jini berjalan kecil sembari bersenandung keluar rumah menuju arah dekat hutan di mana biasanya ia memetik beberapa bunga dandelion untuk dibawa pulang. Suasana tampak seperti biasanya, sampai suatu cahaya kecil mengalihkan perhatian Jini.
"Bagaimana bisa kunang-kunang masih bisa hidup sekarang?" ucap dirinya lalu dengan naluri seorang anak kecil, ia berjalan ke arah celah pohon di mana dilihatnya cahaya kuning keemasan itu berpendar.
Jini memekik kecil. "Seorang Peri?"
Dengan cepat, ia mengambil cahaya itu yang ternyata saat didekati adalah seorang manusia kecil bersayap bening nan indah. Manusia kecil atau yang disebut Jini—Peri yang sedari awal terjebak di antara celah pohon maple memberontak ingin keluar, tetapi tidak bisa.
Beruntung Jini melepaskan Peri itu dari jerat dan akhirnya sang Peri bisa terbang kembali walau agak melambat. Sebelum pergi, Peri kecil itu hinggap kembali di tangan mungil Jini.
"Terima kasih, Nona manis. Kau telah membebaskanku. Sebagai gantinya, aku akan membantumu," ucap Peri itu dengan suara kecil.
Jini membalas dengan senyum riang. "Ah benarkah, Peri? Apa yang bisa kau?"
"Aku bisa menggandakan barang-barang yang kau mau hanya dengan menanamnya."
"Wah benarkah?" Semangat Jini tidak bisa dibendung lagi. Terlihat dari gestur tubuhnya dan senyum lebar khas anak perempuan lugu.
"Tentu." Peri itu menyahut dan membalas senyum Jini. "Namun, aku hanya bisa melakukannya sekali dalam sehari dan sebagai gantinya kau harus memberikanku madu sejumlah satu tutup botol. Bagaimana?"
Tidak perlu jeda untuk berpikir, Jini langsung membalasnya dengan semangat. "Aku mau, Peri!"
"Baiklah, Nona. Jika kau mau melakukannya, mulai besok panggil saja namaku dengan keras." Setelah itu, Peri melesat dengan cepat, memutar-mutari badan mungil Jini. Sebelum pergi, ia membisikan sesuatu ke telinga kecil sang anak buah beri.
"Namaku Namu."
🍓🍓🍓
Pagi berikutnya, Jini berdiri di samping kandang kelincinya—meneriaki nama 'Namu' dengan gembira. Kemudian seperti kilatan cahaya surga, Peri kecil itu kembali datang dengan senyum tulus mengembang.
"Apa yang ingin kau tanam hari ini, Nona?"
"Aku ingin stroberi!"
Jini menyerahkan satu tutup botol madu untuk Namu bawa. Selanjutnya ia menanam satu buah stroberi itu di dalam tanah dengan cekatan, berkat dari seorang keturunan petani. Lalu Peri itu memutari lingkar tanah yang terbentuk, menjatuhkan berbagai kerlip cahaya perak menimpa tanah itu yang ajaibnya. Satu tanaman tumbuh dengan amat sangat cepat, seperti pohon kecil. Namun, ditumbuhi beberapa buah stroberi.
Jini jelas merasa kaget dan heran di saat yang bersamaan. "Apakah ini sungguhan, Namu?"
"Tentu. Petiklah semua hasil yang telah kau tanam!" jawabnya sambil terduduk di salah satu daun di pohon ajaib itu. Jini dengan segera memetik semua stroberi yang ada tanpa terkecuali, sampai-sampai ia tidak menyadari bahwa topinya terjatuh dan terinjak oleh dirinya sendiri saat memetik.
Namu membuka suara. "Saranku segeralah petik semua hasil itu karena tepat saat benda terakhir dari setiap pohon telah kau petik, pohon itu akan kembali ke tanah."
"Baiklah, Kapten!" pekik Jini riang sembari memakan stroberi yang telah dipetiknya.
Setelah dirasa cukup dan pohon tadi sudah kembali ke tanah, Namu kembali melesat pergi ke angkasa setelah berucap 'selamat tinggal' pada Jini.
🍓🍓🍓
Hari demi hari berlalu. Rutinitas untuk memanggil Namu dan menanam segala kehendak dari Jini terjadi secara rutin setiap pagi pada pukul sembilan. Jini tidak menanam sesuatu yang membahayakan, hanya sekadar makanan kue kering, permen, gula, atau manik-manik yang ingin dia gandakan untuk hiasan ruang. Itu sudah berlangsung semenjak empat belas hari ke belakang. Peri itu pun masih senang dengan bayaran satu tutup botol madu dan senyum cerah dari Jini.
Namun, hari ini nampaknya berbeda. Namu datang dengan pemandangan Jini yang membawa banyak sekali persediaan makanan dan hanya membawa setengah tutup botol madu. Jini bersikeras untuk membuat Namu menumbuhkan semuanya dengan rengekan dan pekikan keras khas anak kecil.
"Namu bantu aku menumbuhkan ini semua huaaa. Bantu aku Namuuu, cepat!"
Tidak. Ini sudah melampaui batas. Seorang Peri dapat kehilangan nyawa mereka jika terlalu banyak mengeluarkan serbuk sari dari dirinya. Namu enggan memberitahu pasal kematian pada gadis cilik ini. Oleh karena itu, ia langsung pergi dari hadapan Jini tanpa berucap sepatah kata pun.
Esoknya, Namu mendapat panggilan lagi dari Jini. Namun, karena masih mengira hal yang sama seperti kemarin akan terjadi maka ia mengabaikannya lagi. Tidak hanya hari itu, pada hari-hari berikutnya pun demikian. Lebih tepatnya, tidak ada panggilan lagi dari Jini. Sedangkan Namu juga sibuk mengumpulkan benih dan madu untuk persiapan musim dingin nanti.
Namun, disela itu, Namu masih merasa iba dan mengingat bagaimana jasa dari Jini yang telah menyelamatkan hidupnya untuk bisa bernapas hingga kini. Ia berniat untuk menengok Jini barangkali sekali saja sebelum salju pertama turun di awal bulan Desember. Ia bergegas terbang melawan arus angin.
Sayangnya saat sampai, hanya kekosongan yang didapatinya."Halo, Nona manis?"
Namu memutuskan untuk terbang ke arah kamar Jini saat tidak mendapati jawaban apapun. Dan di sana, Namu mendapatkan semua jawabanya dari beberapa kertas yang berhamburan di lantai.
Hari ini orang tuaku tidak pulang. Orang tuaku masih belum datang. Mama aku lapar. Namu marah kepadaku karena aku terlalu banyak meminta. Namu, aku mau memberimu sebotol madu hari ini, mengapa tidak mau datang? Makanan sudah habis. Aku lapar dan takut. Rasanya sakit, aku sudah tidak makan dari waktu itu. Bibi datang menjemputku hari ini. Akhirnya aku dapat makan lagi. Selamat tinggal rumah, semoga tidak banyak lumut menempel di kasurku saat aku kembali nanti.
Sedih dan perasaan bersalah menghujani dan menghantam keras hati peri kecil itu. Ia terduduk lemas, juga mendapati bahwa memang benar ada sebotol madu bertuliskan catatan 'untuk Namu' di sana. Namu menangis untuk pertama kalinya setelah terlahir ke dunia.
Maka untuk menebus kesalahannya, Namu merawat rumah itu dengan baik, juga menanami berbagai macam bunga dan stroberi sebagai penghias. Tentunya, ia akan menunggu nona manisnya itu untuk pulang.
Tentang Penulis:
Rembulan adalah arti nama saya. Chandrika, terkesan seperti nama dari Asia Barat. Saya masih gadis yang akan mendapat SIM tahun depan, hidup di pulau Dewata bersama keluarga kecil yang kadang sangat heboh dan berisik. Menulis fiksi akhir-akhir ini sedang saya minati. Oleh karenanya, saya berpartisipasi dalam lomba ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Dongeng
FantasyDongeng? Cerita yang tidak benar-benar terjadi. Ini hanya sebuah cerita khayalan semata.