Kancil Tak Mau Kenal Cinta
Oleh: Ari Putra MulyaSuatu ketika, Kancil yang sedang berjalan-jalan untuk mencari makan, melihat sungai di seberang itu terdapat apel yang merah pekat. Hal itu, membuat Kancil bertekad untuk menyeberangi sungai, padahal ia tahu bahwa dalam air itu banyak buaya yang sudah siap memangsanya. Akan tetapi, karena kecerdasan otaknya, dia berusaha semaksimal mungkin agar bisa melewatinya tanpa cacat tubuh.
“Buaya ... Oh, buaya,” kata Kancil sambil mengepak-ngepak air dengan kaki mungilnya.
“Ada apa Kancil yang cantik?” tanya Buaya dengan suara yang dikecil-kecilkan.
“Kau mencintaiku, kan?” tanya Kancil. Dirinya sudah tahu kalau Buaya sudah lama sekali mencintainya dalam diam. Kancil memanfaatkan momen ini, supaya bisa menggapai apa yang ia inginkan untuk dapat memetik apel nan segar itu.
“Benarlah Kancil. Kalau kau tidak percaya, belah saja dadaku ini. Kau bisa melihat siapa nama yang ada di hatiku, itulah pasti engkau,” jawab Buaya sembari mendekati Kancil.
“Aku juga menyukaimu, wahai Buaya. Bolehkah kau mengabulkan permintaanku?” bisik Kancil, padahal Kancil tidak suka dengan Buaya. Namun, dirinya berkata dusta.
“Tentu saja, apa yang engkau mau? Dari menyelam ke samudera, mati karena cinta. Aku rela demi pujaan hatiku,” kata Buaya.
“Aku mau itu,” kata Kancil sambil menunjuk arah pohon apel itu dengan bersuara manja seperti bayi yang lucu dan menggemaskan.
“Itu saja? Mau aku ambilkan satu pohon untukmu? Atau seribu pohon? Akan aku ambilkan dengan tanganku sendiri,” tanya Buaya.
“Terima kasih, Buaya. Kaulah pria sejati. Satu buah saja sudah cukup untuk mengisi perutku yang lapar,” jawab Kancil.
Buaya segera mengambilkan buah apel itu dengan amat sigap dan cepat. Berkat sikapnya itu, membuat Kancil lama-lama suka dengannya. Mustahil bila Kancil tidak menyukai Buaya. Namun, karena ketulusannya, tumbuhlah benih-benih cinta pada hati Kancil. Dari kejadian itu mereka saling bercanda, tertawa bersama, dan menghabiskan waktu bersama setiap hari.
Keadaan yang ditunggu-tunggu Buaya pun telah tiba. Saat Kancil yang mulai menyukainya, menambah rasa percaya diri yang kuat bahwa dirinya akan diterima cintanya.
“Kancil,” panggil Buaya kepada Kancil yang sedang main ke sungai.
“Iya, ada apa sang Buaya?” tanya Kancil.
“Sejak pertama kali berjumpa, hati ini selalu memikirkan tentang dirimu. Entah kenapa, aku suka denganmu sejak lama. Bagaimana denganmu?” kata Buaya.
“Aku sebenarnya dulu sudah tahu kalau engkau menyukaiku, tetapi tidak bagi aku. Kini, lama-lama aku benar-benar merasakan hal yang sama seperti apa yang kamu rasakan. Duh, jadi malu,” kata Kancil sambil menggaruk-garuk wajahnya yang cantik itu.
Mendengar tanggapan Kancil yang seperti itu, sang Buaya pun tanpa basa-basi menembak cinta kepada pujaan hatinya itu. Buaya berkata dengan gugup, “Maukah kamu jadi anuku?”
Kancil yang sudah tahu, arti “anu” itu merujuk pada hal apa. Namun, dirinya pura-pura tidak tahu.
“Anu? Anu apa, wahai Buaya?”
“Maukah kamu menjadi pendamping hidupku? Aku akan selalu menjagamu dan membuatmu selalu bahagia setiap saat,” ujar Buaya.
Kancil sempat ragu, mengingat latar belakang Buaya yang suka mempermainkan hati para binatang lain—membuat dirinya memantapkan diri.
“Apakah kamu bersedia untuk berubah menjadi binatang yang setia hanya satu binatang saja? Hatiku masih ragu, wahai sang Buaya.”
“Aku berjanji tidak akan mengulang hal itu kembali. Aku akan setia kepadamu saja Kancil yang bijak,” kata Buaya.
Melihat dari mimik wajah Buaya yang mengatakan dengan tulus, sang Kancil pun menerima cinta dari Buaya.
“Baiklah kalau begitu, aku mau menerima cintamu, wahai Buaya yang tampan.”
Setelah mereka mengikat suatu hubungan, setiap hari mereka semakin dekat. Tiada hari dalam kalender Buaya tanpa Kancil, begitu pun sebaliknya dengan Kancil. Lambat waktu, sang Buaya pun mengalami rasa bosan. Tak selamanya hubungan itu akan harmonis seperti sedia kala. Melihat ada sang Rusa yang memiliki bentuk tubuh yang seksi dan lebih cantik dari Kancil, dirinya mendekatinya.
“Hai, Rusa,” sapa Buaya.
“Ada apa, Buaya? Aku tidak mau dimangsa olehmu. Aku masih ingin hidup di dunia ini. Tolong kasihanilah aku. Jangan makan aku! Jangan makan aku, wahai sang Buaya!” kata Rusa dengan nada bicara ketakutan dan harap-harap cemas.
“Tenang saja Rusa yang cantik, aku tidak akan memangsamu. Aku hanya ingin memuji, bahwa dirimu sangat cantik jelita. Bentuk tubuhmu juga seksi, membuat hatiku terpikat karena keelokanmu,” kata Buaya.
“Tidak salahkah pendengaranku? Sang Buaya yang selalu memangsa spesies Rusa, detik ini juga memujiku?” tanya Rusa.
“Benar, wahai Rusa. Aku tidak berbohong dan perlu kamu tahu bahwa aku sekarang tidak memakan spesiesmu lagi, melainkan buah-buahan nan segar,” jawab sang Buaya.
Mendengar kata-kata Buaya yang terlihat jujur dari ekspresi mukanya, membuat sang Rusa percaya bahwa kali ini dia tidak akan dimangsa oleh Buaya.
“Baiklah, terima kasih Buaya yang baik hati,” tanggap Rusa.
Tak disangka, ternyata Kelinci—sahabat Kancil itu mendengar percakapan antara Buaya dengan Rusa. Mendengar hal itu, karena merasa kasihan kepada sahabatnya ia langsung bergegas lari melaporkan hal ini kepada Kancil.
“Kancil! Kancil! Ada berita penting yang harus kamu tahu,” seru Kelinci.
“Ada apa sahabatku, engkau terlihat terburu-buru. Ada berita apa?” tanya Kancil.
“Baru saja, aku melihat Buaya sedang merayu sang Rusa. Dia memuji-muji Rusa bahwa Rusa lebih cantik dan seksi daripada dirimu,” jelas Kelinci.
Karena mereka sudah lama bersahabat, mustahil bila sahabatnya itu berdusta. Kancil yang sudah geram, mendengar hal itu langsung menghampiri Buaya dengan lari sekencang-kencangnya.
“Buaya!” seru Kancil.
“Ada apa, wahai pujaan hatiku?” tanya Buaya, dengan suara yang lembut.
“Tak perlu kau berpura-pura lagi bahwa dirimu sudah berubah, engkau benar-benar mengkhianatiku Buaya. Kemarin kau berjanji akan setia kepadaku saja, tetapi apa kenyataan? Hanya omong kosong!” jelas Kancil.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Buaya, yang berpura-pura tidak tahu.
Karena pertanyaan itu, sang Kancil tambah yakin bahwa Buaya benar-benar tidak pantas lagi untuk disukai. Dirinya langsung meminta putus hubungan.
“Kita putus.”
Buaya kaget, tetapi ia tidak merasa sakit hati. Karena masih punya cadangan, Buaya pun langsung setuju dengan permintaan Kancil.
“Oke, tak masalah. Aku pun masih banyak cadangan binatang lain yang mau denganku.”
Tanggapan Buaya benar-benar membuat sakit hati sang Kancil. Spontan ia langsung menangis karena tidak kuat lagi menahan sakit ini. Mulai sejak saat ini, dirinya menganggap bahwa semua jantan di alam semesta ini sama saja. Tidak ada bedanya, sama-sama tidak punya hati nurani. Semenjak kejadian ini, sang Kancil tidak ingin mengenal cinta lagi.
Tentang Penulis:
Perkenalkan nama saya Ari Putra Mulya, menempuh pendidikan di SMKN 1 Dukuhturi Kab Tegal kelas 10. Lahir pada 26 Juli 2005, bertempat tinggal di Jl. Kapten Ismail Gang Anggur 2 No.19 RT.4/RW.6 Kel. Kraton Kec. Tegal Barat Kota Tegal, Jawa Tengah. Instagram : (@ptra_am05). Email : (ariputramulya05@gmail.com).
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Dongeng
FantasyDongeng? Cerita yang tidak benar-benar terjadi. Ini hanya sebuah cerita khayalan semata.