Gerbang Lain

213 2 0
                                    

Gerbang Lain
Oleh: Kesya Triaprilia

Sering mendengar sebuah kata melegenda yang membuat penasaran bukan main? Satu kata ini sering diucapkan oleh kakek-nenek, orang tua atau bahkan teman. Kata tersebut adalah, ‘katanya’. Untuk membuktikan satu kata seribu makna itu, dua bocah dengan sembunyi-sembunyi mencoba membuktikan perkataan itu.

Di sinilah mereka, tempat di mana ayah dari gadis berkepang dua bekerja. Tentu saja mereka mengendap-endap bahkan membuat pintu masuk mereka sendiri dalam waktu lama, sungguh niat sekali.

“Siya, tapi gerimis belum turun,” ucap seorang anak laki-laki dengan topi kebesaran di kepala mungilnya.

“Kita tunggu saja sampai gerimis datang, lagian kau tidak lihat awan mendung sedang menggumpal,” jawab bocah yang bernama Siya.

Tiba-tiba dikepalanya terputar jelas suara seperti rekaman.

“Kalian tahu? Katanya kalau kalian datang ke PLTB—tempat ayah Siya bekerja, setiap gerimis datang tepat badan kincir angin paling besar akan terbuka terhubung dengan taman indah penuh dengan bunga dan cokelat.”

Rasa penasaran terus menghantui mereka berdua, berhari-hari berencana untuk bisa datang ke tempat kerja ayah Siya. Sudah sepuluh kali mereka membujuk ayah agar bisa ikut datang ke sana. Tentu saja dengan jurus andalan bocah-ngambek. Sepuluh kali pula mereka sibuk membuat pintu masuk pribadi.

Setetes air dari atas mengenai kepala atas Siya. “An! Gerimis!” Siya menahan jeritannya agar tidak keluar dan membuat orang-orang yang sedang bekerja mendengarnya. Mata An antusias menyambut gerimis. Mereka berdiri tepat di depan badan kincir angin paling besar di sini. Sudah tak sabar ingin membuktikan perkataan teman mereka.

Gerimis mulai berubah menjadi hujan. Sudah satu jam lebih mereka menatap badan kincir angin di depan dengan wajah antusias. Mereka pikir jika gerimis saja akan membuka gerbang menuju tempat penuh dengan bunga apalagi hujan, sangat banyak sekali yang dapat dinikmati.

“An kita pulang saja, yuk,” ajak Siya menyerah menanti gerbang yang tak kunjung terlihat. Pakaian mereka sudah basah kuyup tersiram hujan deras, tetapi rasa penasaran masih menghantui. An menggeleng cepat, menolak ajakan teman perempuannya untuk segera pulang. Sudah satu jam lebih berapa menit mereka setia menunggu, Siya ingat sebuah kata pepatah ‘hasil tidak akan menghianati usaha’.

Suara petir bersautan tidak menghilangkan rasa keingintahuan dua bocah ini. Biarlah orang tua mereka marah, biarlah habis ini demam, biarlah baju favoritnya kotor. Merasa itu hanya sebuah omong kosong, An menarik tangan Siya terburu-buru sudah lapar mungkin. Saat baru saja lima langkah menjauh dari tempat mereka berdiri tadi, sebuah sinar putih menyilaukan pandangan kedua bocah kepo itu.

Tangan mungil mereka menutupi mata menghadang cahaya masuk ke dalam retina. Hujan sudah reda beberapa detik yang lalu. Sinar silau mulai menghilang dari pandagan Siya dan An melebarkan kelopak matanya, menatap satu sama lain. Tidak percaya dengan apa yang barusan dilihatnya.

“Ini ternyata ada!” An memekik senang. Hari sudah mulai petang, burung-burung terbang rapi di udara pulang untuk beristirahat. Suara jangkrik dan kodok bersahutan menambah nilai plus untuk keindahan yang terpampang di depan mata telanjang. Bukannya segera pulang, Siya malah menarik tangan An antusias mendekati gerbang dua pintu dengan ukuran orang dewasa di depan sana.

Di gerbang itu banyak ukiran-ukiran aneh, berwarna putih gading dengan patung angsa diatasnya. Di dalamnya terdapat banyak bunga warna-warni yang terlihat dari depan karena gerbangnya sedikit transparan. An menatap Siya takjub lalu cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

Namun, seperti dihipnotis Siya berjalan mempekecil jarak dengan gerbang indah di depannya. “Siya jangan! Kita tidak tahu apa yang ada di dalam. Ayo pulang sebelum ayah dan bunda mencari kita.” An mencoba menarik lengan Siya sekuat tenaga. Walaupun dia masih kecil, ia bisa berpikir kritis dan rasional hasil didikan dari ayahnya yang seorang abdi negara.

Sekuat tenaga An menarik semakin kuat pula Siya menolak diajak pergi. Matanya masih terpaku pada gerbang indah didepan. Tangan yang bebas mencoba menggapai gagang gerbang. Dan berhasil meraihnya, sepertinya An tidak terlalu kuat utuk ukuran seukuran laki-laki. An menatap sangar Siya dengan tampang memelasnya. Ia sengaja menunjukan wajah itu agar An bisa luluh.

“Kita bisa bermain sepuasnya di sana.” Bujuk Siya memastikan.

Dingin tak terasa walau malam mulai menunjukan kebolehannya. Tangan Siya yang sudah berada digagang mendorong gerbang dengan kuat, terbukalah gerbang itu. Sedikit ragu Siya melangkahkan kaki memasuki gerbang. Dan benar saja apa kata temannya terdapat banyak sekali bunga dengan cokelat yang berserakan. Siya berlari mengitari taman yang luasnya bukan main, lalu menghadap An memberian gestur ‘kemarilah’ pada temannya yang masih diam mematung diujung gerbang.

An melangkahkan kakinya untuk masuk, masih di udara kaki kecilnya tiba-tiba gerbang tertutup rapat dan menghilang dari pandangan bocah lelaki dengan kaos biru itu. Matanya membelalak melihat kejadian secepat kilat itu, di depannya badan kincir angin yang dilihatnya beberapa puluh menit yang lalu.

Memukul-mukul dengan memanggil nama temannya yang entah bagaimana sekarang. An menangis sesegukan, masih memanggil nama Siya, tetapi tak kunjung ada balasan. Matanya sudah lebam denga hidung merah berair, mencoba memikirkan apa yang harus diperbuat untuk menyelamatkan Siya dari dalam sana.

Tanpa pikir panjang An berlari ke arah pintu rahasia miliknya dengan Siya. Kadang ia terpeleset karena lumpur yang licin. Sesampainya di depan rumah orang tua Siya, An segera mengetuk pintu dengan brutal. Setelah pintu dibuka memperlihatkan kedua orang tua Siya dengan wajah bertanya-tanya. An segera menjelaskan apa yang terjadi.

Tergopoh-gopohlah kedua orang tua Siya menuju PLTB membuka gerbang masuk dengan tangan gemetar. Mereka melihat Siya terkapar lemah di samping kincir angin, tak sempat memarahi An. Segera pulang ke rumah dengan wajah pucat pasi Siya. Denyut nadi yang lemah membuat ibu Siya menangis. An hanya mampu terisak merasa bodoh dengan perbuatannya.

Dua jam setelah dokter puskesmas memeriksa Siya di rumah. Suasana kembali hening.

“Om, tante maafin An,” ujar An. Tiba-tiba, ayah Siya mendekati teman dari embrio Siya itu.

“Sebenarnya Om ingin memarahimu, tapi Siya juga salah. Tidak adil rasanya jika hanya kamu yang dimarahi.” An mengangguk, menunduk sedalam-dalamnya. Berarti ia harus menunggu Siya siuman baru dimarahi.
Mata Siya berkedip-kedip mencoba beradaptasi setelah pingsan dua jam lebih lamanya. Ia menatap kedua orang tuanya lalu.

“An, tadi seru sekali,” ujarnya dengan senyuman lebar dan menunjukkan kedua jempolnya ke arah An.

Tentang Penulis:
Namanya Kesya Triaprilia, kerap dipanggil Kesya atau dengan menanggalkan huruf y nya. Lahir pada Sabtu, 24 April 2004 di Jakarta. Kini ia berdomisili di Tegal, Jawa Tengah. Sedang mencari prestasi sebanyak-banyaknya. Ia sangat ingin menjadi editor penerbit dan wirausahawan.

Antologi DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang