Tiga Tikus Got

147 2 0
                                    

Tiga Tikus Got
Oleh: Sa'ib Adi Panurung

Lorong gelap terowongan di dasar jalan raya selalu padat dengan mobilisasi lalu-lalang. Hal itu menimbulkan getaran hingga ke bawah—di mana terdapat kehidupan lain yang keberadaannya tak pernah terbesit di pikiran siapa pun yang tinggal di atas. Kita bisa menyebut tempat yang terdapat jalan raya tersebut adalah dunia atas, sedangkan di bawah yang katanya tempat dari “kebusukan” berada adalah dunia bawah.

Dunia atas yang ingar bingar, mengalir dengan glamour, berbeda dengan dunia sebaliknya. Memang peribahasa yang tepat adalah “bagaikan langit dan bumi” artinya sungguh jauh berbeda. Dunia bawah yang kumuh, becek, berbau tak sedap, kotor, menjijikkan, serta semuanya yang tak menyedapkan indra.

Dalam lingkupan hal menjijikkan ini, ada secuil kisah dari penghuni bawah tanah yang terlupakan. Hidup tiga ekor tikus yang sudah seperti keluarga. Sebuah ikatan keluarga yang tercipta dari nasib yang sama, sesama makhluk terbuang yang kehadirannya tak diharapkan siapa pun.

Arel—tikus malang yang semenjak kecil telah ditinggal mati orang tuanya hingga menjadi trauma. Reli—tikus gemuk yang sedari kecil telah menghabiskan banyak makanan dibanding tikus mana pun, hingga tubuhnya gemuk. Yang terakhir adalah Rey—tikus perempuan yang pernah hampir mati karena kelaparan. Nasib baik ketika Rey bertemu dua tikus yang sekarang menjadi keluarganya.

Kala itu, Rey sedang merintih kesakitan, meringkuk di dalam sebuah kaleng bekas ikan sarden yang nyaris berkarat sepenuhnya. Ia bertemu Arel dan Reli yang sedang berjalan-jalan menjelajahi penjuru gorong-gorong. Nyawa Rey berhasil terselamatkan berkat Arel yang merebut paksa makanan di mulut Reli, lantas memberikannya pada Rey yang sekarat. Semenjak saat itu, mereka bertiga memutuskan untuk bersatu, melakukan petualangan, menghadapi kehidupan bersama sama dan menciptakan sebuah keluarga buatan.
* * *
Pagi cerah dimulai kembali. Angin berdesis kalem, embun perlahan tertepis sinar mentari hangat, udara bersahaja untuk menjalankan rutinitas. Namun, semua itu hanya terjadi di dunia atas. Dunia bawah terjadi sebaliknya.

Pagi yang tetap gelap, sinar matahari hanya secercah—hasil menembus lubang-lubang kecil penutup gorong-gorong. Udara yang dingin, lembab, aroma buruk yang tidak jelas muncul dari benda apa, serta keadaan yang sepi, hanya terdengar tetesan limbah air dari atas. Suasana yang membuat siapa pun merasakan lebih baik mati saja. Namun, bukan itu penyelesaianya. Justru ketika seseorang yang berkata lebih baik mati saja dalam keadaan yang serba buruk, ia tak pernah merasakan bahwa sebenarnya hidup yang begini itu indah. Bukankah ada semacam fenomena yang berisi orang-orang dengan kekayaan berlebih, hidup bergelimang kecukupan yang kadang berlebihan? Akan tetapi, menjalani kehidupan dengan mengeluh terus-menerus, merasa kekurangan dan sangat haus akan kekuasaan, hingga nekat mengambil rezeki insan lain sekalipun. Saking hausnya, sampai lidahnya terjulur tak bisa kembali meneteskan air liur yang menjadi saksi kedustaan mulutnya. Lidah terjulur, menggonggongkan kebenaran hasil pencitraan tanpa kenyataan, mirip seekor paling hina di dunia ini. Kita semua tahu apa itu.

Hari masih pagi, Arel sudah di pinggir sungai dasar gorong-gorong, sibuk mencari sesuatu yang bisa dimakan. Si besar Reli masih tidur. Sementara itu, Rey layaknya perempuan. Mungkin ia jalan-jalan atau pergi berbelanja. Konyol, tidak mungkin ada tikus yang berbelanja walalupun tikus berdasi sekalipun.

Di mana pun tikus berada, nalurinya tetaplah mencuri. Mengapa seorang Arel tidak mencuri layaknya teman-temannya? Malahan, ia lebih memilih mengais sisa makanan di tempat sampah? Inilah trauma yang dialami Arel. Nyawa orang tuanya terenggut akibat mencuri di sebuah rumah besar. Kedua orang tuanya dikejar, lalu pada akhirnya diterkam seekor kucing penjaga rumah tersebut. Arel menyaksikan sendiri dengan mata mungilnya.

"Guys! Ada kabar gembira nih!" Suara mengagetkan Rey tiba-tiba muncul entah dari mana. Arel yang terkaget, hampir tersungkur ke dalam aliran limbah masyarakat. Sementara itu, Reli tetap melanjutkan dengkurannya setelah beberapa saat terdiam pasca Rey berteriak.

"Ada apa sih Rey? Kalem dikit kenapa?"
"Ya maklumlah, berita bagus nih."

"Iya-iya, katakan aja."

"Tadi, pas lagi jalan-jalan di atas, aku lihat ada sekumpulan makanan dekat tong sampah di sebuah rumah."

"Makanan?" Reli langsung bangkit dari mimpinya setelah sebuah kata "makanan" terlontar dari ujung lidah Rey.

"Bukan berita bagus. Setiap hari kan memang selalu ada sisa makanan di tong sampah. Manusia kan emang gitu," ucap Arel biasa saja.

"Iya. Tapi, ini tempatnya dekat dan sepi," balas Rey tetap kukuh.

"Kesempatan nih, yuk!" ujar Reli dengan liurnya mulai menetes.

"Terakhir kapan kita makan?"

"Tiga hari lalu. Tapi, aku punya beberapa lalat, mau coba satu?" tawar Reli.

" .... "

Arel tampak berpikir keras untuk sebuah pilihan yang sulit. Di antara trauma yang masih bersarang di dalam tubuhnya, juga karena perutnya kini benar-benar berteriak keras minta diisi.

"Kalau kamu masih saja berpikir terus tak melakukan apa pun, aku akan lakukan sendiri," kata Rey sambil berlalu.

"Rey! Aku ikut!" teriak Reli ketika sudah agak jauh berlalu.

Sementara itu, Arel tetap merenung, memikirkan sesuatu dengan dalam. Menimbang apa yang harus ia lakukan saat ini. Bagaimanapun ia sudah sangat kelaparan."Untuk kali ini saja, aku ikut." Arel sudah membulatkan keputusannya.

"Nah, gitu dong," ujar Rey dengan riang, lalu melakukan tos dengan dua sahabatnya sambil berjalan menuju rumah tersebut.

Ketiga sahabat ini pun lantas mengendap-endap di balik sebuah sapu ijuk. Rey sedang mengawasi keadaan, barangkali kucing itu sedang tidak ada atau pun tidur. Reli masih mengunyah makanannya sembari menunggu instruksi dari Rey. Sementara itu, Arel gemetaran karena hidungnya mencium sebuah aroma ikan asin dan nafas yang memburu di belakangnya. Rey berada di depan, Reli di tengah, dan Arel di urutan ketiga. Di urutan paling belakang, seekor hewan berkumis telah membuka cakarnya yang tajam, hendak menerkam mangsanya.

T A M A T

Antologi DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang