Rubah dan Kelinci
Oleh: Kravei/SopinaPada suatu malam di dalam sebuah hutan yang lebat, terdapat seekor kelinci putih yang sangat cantik. Kelinci itu sedang melompat-lompat mencari makanan, tetapi ada suara menghentikan pergerakannya. Mata hitamnya menoleh ke segala arah. Mata itu mendapati bulan purnama yang sangat indah dengan warna biru di atas langit yang dipenuhi oleh bintang-bintang
SREK.
Suara semak-semak kembali terdengar hingga menakuti si Kelinci—membuatnya melompat dengan cepat. Seekor Rubah cokelat muncul dari semak-semak tadi dengan cepat mengejarnya. Tubuh kecil Kelinci berhasil dikejar dengan mudah. Kini, Rubah cokelat ada di depan matanya, menggeram dengan air liur yang mengalir—membuat si kelinci ketakutan. Namun, tiba-tiba keajaiban terjadi.
Kaki si Rubah perlahan berubah. Bulu cokelatnya memendek dan keempat kaki itu memanjang berubah menjadi tangan dan kaki manusia. Diikuti oleh badannya yang semula berwarna cokelat berubah menjadi tubuh Manusia yang terbalut kain berwarna cokelat.
Si Kelinci tersentak melihat wajah tampan lelaki yang semulanya adalah Rubah. Si Kelinci juga menyadari bahwa tubuh kecilnya tidak lagi berbulu, melainkan berubah menjadi kulit seperti si Rubah dalam wujud perempuan. Badannya ditutupi oleh kain putih.
“Hei, tuan Rubah. Apakah kamu mencoba untuk memakanku tadi?” Si manusia Kelinci itu berdiri—menatap takut, tetapi juga kesal.
“Mengapa kamu bertanya? Kamu adalah makananku.” Pipi Kelinci itu membulat, kesal karena perkataan sang Rubah.
“Tapi aku adalah makhluk hidup. Aku memakan sayur, seharusnya tuan rubah juga begitu!” Wajah tampan Rubah tampak malas. Tidak berniat berbicara lebih banyak, rubah beranjak pergi meninggalkan Kelinci.
“Hei, tuan Rubah. Menurutmu sampai kapan fenomena ini akan berakhir?” Kelinci menyusul Rubah. Setiap dua puluh delapan bulan, blue moon akan muncul. Semua hewan yang ada di dalam hutan akan berubah menjadi manusia. Namun, kali ini adalah yang pertama kali untuk si Kelinci maupun si Rubah.
“Entahlah, hanya saja lebih bagus jika kamu jauh-jauh dariku.” Rubah menggelilingi hutan tanpa tujuan yang jelas. Selama itu pula, Kelinci tidak mau berhenti mengikutinya.
“Mengapa kamu terus mengikutiku?” Kelinci lelah mengikuti langkah besar Rubah, tetapi ia tetap giat mengekori.
“Aku ingin berteman dengan tuan Rubah!” Si Rubah tersentak karena pengakuan si Kelinci.
“Aku tidak punya teman. Kelinci yang lain tidak mau berteman denganku karena aku jelek.” Rubah mematung. Padahal Kelinci sangat cantik dan manis di matanya. Raut wajah Kelinci berubah, membuat Rubah merasa kasihan.
“Kamu harus makan daging untuk bisa berteman denganku.” Si Kelinci tersentak.
“Kita bisa berteman dan aku tidak harus makan daging!”
🐰🐰🐰
Tujuh hari berlalu cepat. Selama itu, Kelinci dan Rubah berteman dengan baik. Mereka selalu saja bersama dan Rubah menjaga Kelinci dengan baik seolah-olah menjaga adiknya sendiri. Namun, rasa khawatir hadir di dalam hati Rubah di kala ia menatap wajah tertidur Kelinci di atas tanah.
“Setelah malam ini, kita akan kembali ke wujud semula. Kita tidak akan bisa berbicara dan kita mungkin tidak akan bisa saling menggingat.” Si Rubah bergumam lirih. “Aku tidak mau menyakitimu, Kelinci manis.”
🦊🦊🦊
“Hoam.” Kelinci membuka lebar-lebar matanya karena sinar matahari yang mulai mengganggu. Mulutnya menguap sebelum tubuhnya beranjak dari atas tanah.
“Tuan Rubah?” Matanya menatap ke segala arah, tetapi ia tidak menemukan apa yang dicari. Rasa takut dan sedih mulai datang, mengalir bagaikan darah di dalam tubuhnya.
“Tuan Rubah?” Sangat jauh Kelinci mencari ke dalam hutan, tetapi Rubah benar-benar tidak ditemukan.
“Aduh!” Kaki Kelinci tanpa sengaja tersenggol akar yang menonjol membuatnya tersungkur ke atas tanah. Ia duduk menyandar di batang pohon tadi untuk melihat ke arah lutut dan telapak tangannya yang sakit.
“Hiks!” Pelupuk matanya berair karena rasa sakit yang ia terima. Lututnya tergores dan mulai mengeluarkan darah.
“Kamu menangis hanya karena terjatuh?” Suara Rubah muncul di depan kelinci, membuat Kelinci mengangkat kepala. Saat itu, ia tersenyum lebar—memamerkan gigi.
“Tuan Rubah, aku mencarimu ke mana-mana.” Kelinci tersenyum bahagia bagaikan menemukan makanan lezat tanpa ia tahu bahwa Rubah selalu mengikuti dan mengawasinya dari jauh.
Rubah mengulurkan tangannya ingin membantu Kelinci yang malang berdiri.
Aku tidak mau muncul, tapi aku tidak tahan melihatmu menangis, batin si Rubah.
Hatinya terasa sangat nyaman melihat senyuman lebar Kelinci.
“Kelin ...” Kelinci tersentak, terkejut karena tangan Rubah yang tersodor mulai berubah. Begitu juga dengan tangan dan kakinya sendiri. Dia ingin lari, tetapi tubuhnya membeku di tempat.
Dalam waktu singkat, tubuh mereka telah kembali ke wujud semula. Wajah Kelinci ketakutan dan wajah Rubah menggeram. Putih bulu Kelinci terdapat bekas merah di bagian kaki. Kelinci ingin kabur, tetapi kakinya terasa sakit—membuatnya kesulitan untuk bergerak.
Cukup lama mereka berdiam dalam posisi masing-masing hingga kaki Rubah melangkah mundur. Wajahnya menatap langit dan kemudian lolongan panjang lolos dari mulutnya. Rubah berlari ke sisi kanan dengan cepat dan Kelinci mengambil kesempatan itu untuk menyeret kaki pincangnya ke arah sebaliknya.
Tentang Penulis:
Halo, saya Sopi. Sopi di sini dengan sebuah dongeng yang kebetulan sudah sangat lama di dalam kepala. Saya mencintai menulis. Namun, masih merasa buruk dan wajib belajar. Sekian perkenalannya.
Meranti, 3 Desember 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Dongeng
FantasyDongeng? Cerita yang tidak benar-benar terjadi. Ini hanya sebuah cerita khayalan semata.