Hasian dan Gogo

91 1 0
                                    


Hasian dan Gogo
Oleh: Mabus Raito

Di Huta Siantar Standuk, ada seorang ompung bermarga Hasugian. Ia punya banyak ternak. Ia menyayangi ternak-ternaknya. Dari semua ternak, yang paling disayanginya ialah Hasian, seekor ayam betina.

Hasian berbulu indah. Badannya besar. Rajin bertelur. Karena itu, Ompung Hasugian merasa senang dengan Hasian. Apabila hendak pergi, Ompung Hasugian selalu membawa Hasian. Ia tak peduli orang menertawakannya. Baginya, Hasian pembawa keberuntungan. Lebih-lebih, kalau sedang memancing.

Suatu ketika, Ompung Hasugian pergi ke dekat kaki gunung untuk memancing. Di situ, ada sungai yang jernih. Tak lupa, ia membawa Hasian.
Saat Ompung Hasugian asyik memancing, Hasian berjalan ke arah gunung untuk mencari cacing. Tak sadar, ia telah masuk jauh ke dalam. Namun, Hasian tidak merasa takut. Ia justru penasaran.

Hasian menemukan sebuah telur besar. Ia heran melihat besarnya telur itu. Saat asyik mengamati, tiba-tiba telur itu retak.

‘Ciap? Ciap Ciap!’

Seru anak burung yang baru menetas. Melihat si anak burung sendirian, Hasian merasa iba. Ia mematuknya dan membawanya pergi.

Di sungai, Ompung Hasugian mencari-cari Hasian. Ia hampir menangis ketika melihat Hasian kembali. Dengan cepat, ia mengangkat Hasian.

“Ke mana saja kau, Nang? Aku takut kali kehilangan kau! Eh, apa yang kau bawa itu?” katanya memperhatikan paruh Hasian.

Ia menurunkan Hasian. Diambilnya si anak burung dengan hati-hati. “Ini kan anak elang? Dari mana dapatmu?” tanya Ompung Hasugian.

Hasian berkotek-kotek ke arah kaki gunung. “Ini harus dikembalikan. Nanti dicari induknya,” kata Ompung Hasugian

Hasian berkotek-kotek lebih keras. Bahkan, mematuk-matuk kaki Ompung Hasugian. Ia tak rela si anak burung dikembalikan.

“Aduh, baiklah kalau itu maumu. Kita bawa saja ke rumah. Kau jaga baik-baik. Tapi, ingat! Kalau sudah besar, dia harus dilepaskan!” tegas Ompung Hasugian.

Mendengar itu, Hasian meluapkan kebahagiaannya. Ia mengepak-ngepakkan sayap. Berlari-lari mengelilingi Ompung Hasugian.
Ompung Hasugian geleng-geleng kepala melihat kelakuan Hasian.

“Kita kasi namalah anak elang ini. Bagaimana kalau Gogo? Karena elang itu kuat,” kata Ompung Hasugian.

Demikianlah Gogo menjadi keluarga baru di peternakan Ompung Hasugian. Hasian membawa Gogo pulang dengan bangga. Sesampainya di peternakan, ternak-ternak lain melihat Gogo penasaran.

Bunyi ribut terdengar di seluruh peternakan manakala Hasian membawa Gogo jalan-jalan. Mereka belum pernah melihat elang. Walau demikian, mereka senang. Gogo tidak terlihat buas. Hasian mendidik Gogo seperti mendidik anak ayam.

Hari demi hari, bulan demi bulan, Gogo bertambah besar. Paruhnya semakin tajam. Cakarnya semakin kokoh. Sayapnya semakin lebar. Melihat itu, Ompung Hasugian mendekati Hasian.

“Sudah saatnya Gogo dilepaskan,” kata Ompung Hasugian.

Hasian tertunduk. Ia terlihat tak rela. Tapi, ia ingat janjinya. Dengan berat hati, ia berkotek pelan.

Esoknya, Ompung Hasugian membawa Gogo kembali ke kaki gunung. “Gogo, di sini rumahmu. Pulanglah pada keluargamu,” kata Ompung Hasugian melepas Gogo.

“Selamat tinggal, Gogo!” pamit Ompung Hasugian. Ia berbalik. Sebenarnya, ia merasa sedih kehilangan Gogo. Namun, ia sadar bahwa peternakan bukan tempat Gogo.

Tiba-tiba, Gogo mengepakkan sayapnya. Ia terbang dan hinggap di bahu Ompung Hasugian. Ompung Hasugian terkejut.

“Gogo? Sejak kapan kamu bisa terbang?” tanya Ompung Hasugian heran.

Gogo mengelus kepalanya ke kepala Ompung Hasugian. Kemudian, berteriak pelan. Ompung Hasugian tersenyum.

“Gogo, Ompung tidak mengusirmu. Hanya saja, peternakan bukanlah rumahmu. Rumahmu ialah alam liar. Kalau rindu, kamu boleh pulang kapan pun kamu mau. Kami akan tetap menerimamu,” kata Ompung Hasugian

“Ingatlah selalu mereka yang membesarkanmu dengan baik,” pesan Ompung Hasugian.

Gogo menjawab dengan mengelus kepala Ompung Hasugian. Ia pun terbang menghilang. Ompung Hasugian merasa lega atas pengertian Gogo. Ia pulang dengan air mata kebahagiaan.

Di peternakan, Hasian terlihat murung. Ia tidak mau makan. Pikirannya terus pada Gogo. Ompung Hasugian bersedih melihat keadaan ternak kesayangannya itu.

Berulang kali, ia membujuk Hasian makan. Namun, Hasian tetap tidak mau makan. Hasian membiarkan saja makanannya sampai berhari-hari.
Hasian menjadi semakin kurus. Tubuhnya semakin lemah. Saat itulah, Gogo datang ke peternakan. Badannya terlihat gagah. Semua hewan ternak memandangnya dengan kagum
Ia mengetuk paruhnya di pintu rumah Ompung Hasugian.

Melihat Gogo, Ompung Hasugian bergegas memeluknya. Ia menangis. Mengadu keadaan Hasian.
Gogo mengerti. Ia pun terbang menjumpai ibu angkatnya. Hasian terlihat menyedihkan. Napasnya berat. Gogo merasa sedih.

“Hasian, anakmu datang,” kata Ompung Hasugian.

Melihat Gogo, Hasian mencoba berdiri. Tapi, ia tidak kuat. Dengan lembut, Gogo mengangkat Hasian dengan paruhnya. Ia teringat masa lalu. Saat itu, Hasian yang membawanya ke peternakan.

Hasian merasa senang. Gogo masih mau kembali. Padahal, Hasian hanya ibu angkat. Hasian pun kembali bersemangat dan mau makan.
Sejak saat itu, Gogo sering berkunjung ke peternakan. Ia tidak pernah lupa mereka yang telah membesarkan dan mendidiknya dengan baik. Demikianlah peternakan Ompung Hasugian menjadi penuh sukacita karena kebaikan-kebaikan yang ditabur oleh Hasian dan Gogo.

Depok, 5 Desember 2020

Terjemahan Bahasa Batak Toba
* Ompung= Kakek
* Hasian= kesayangan
* Gogo= kuat

Tentang Penulis:
Mario Ari Leonard Barus alias Mabus Raito (nama pena), lahir di Pekanbaru, 26 November 1988. Berdomisili di Depok. Hobi membaca, menulis, berkebun dan main game. Senang belajar hal-hal baru. HP/WA: 081264329571. Email: marioalbarus@gmail.com. FB: mario.arileonardbarus. IG: @mario.arileonardbarus.

Antologi DongengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang