Manusia dan Alam
Oleh: Arnal QoriPada aman dahulu, seorang manusia yang merupakan Kepala Suku di suatu tempat di dunia ini, sudah membawa kesejahteraan pada para penduduknya. Kepala suku ini mempunyai jiwa kepemimpinan yang besar. Dia begitu tegas, ramah, dan menebarkan rasa kasih sayang kepada para penduduknya.
Namanya Raja Mala. Raja Mala bukanlah seorang raja biasa. Dia mempunyai kemampuan untuk berbicara pada Alam. Itulah kenapa, kemakmuran menghampiri para rakyatnya. Bahkan, dia menamai semua alam itu dengan berbagai macam nama, seperti Pantai, Pasir, Samudera, Gunung, Tanah dan lain sebagainya.
Kehidupan kerajaan ini dan rakyatnya tidak jauh dari Alam. Mereka begitu bersahabat pada alam. Begitu pun dengan Alam yang senang berdampingan dengan para manusia itu. Karena hubungan kedua makhluk hidup ini mulai tercipta, ketika Raja Mala dan para Alam membuat perjanjian untuk saling menjaga dan memberi.
Manusia menjaga alam dengan merawat dan menanam mereka, dan juga memanfaatkan sumber daya mereka dengan secukupnya. Alam pun berjanji untuk tidak akan mengusik peradaban ini dengan bencana, dan akan terus memberi kenyamanan serta kebutuhan mereka tanpa pamrih.
Sudah ratusan tahun hubungan ini terjalin dengan baik. Hingga pada suatu ketika, Raja Mala termenung di atas gunung sambil melihat suasana kampungnya dari atas sana. Terdapat sedikit perbincangan dari Raja Mala dengan Alam di sekitarnya.
"Hei, Mala. Apa yang sedang kamu pikirkan seharian di atas ini?” tanya Gunung.
“Aku memikirkan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kita,” jawab Raja Mala.
“Kita?” seru Gunung kebingungan.
“Sepertinya aku akan sedikit memberi perubahan pada wilayah kekuasaanku ini,” lanjut Raja Mala.
“Apa maksudmu, Mala?” tanya Gunung kembali.
“Kalau dilihat. Selama ini, rakyatku menanam dan merawat kalian dengan baik, memanfaatkan Alam ini dengan secukupnya. Rakyatku juga yang memetik hasilnya sendiri, semua mereka lakukan sendiri. Tanpa bantuan sedikit pun dari kalian,” jelas Raja Mala.
"Jadi, apa yang sebenarnya ingin kamu lakukan?” tanya Gunung kembali.
"Yah, sepertinya sudah merupakan hal yang wajar jika mereka dapat memanen lebih dari kata cukup seperti biasanya. Karena merekalah yang melakukan semua hal itu sendiri dan itu adalah hak rakyatku untuk menikmatinya sendiri,” jelas Raja Mala lagi.
Para Alam terlihat ricuh saat mendengar perkataan Raja Mala yang mengejutkan itu. Mereka semua meneriaki Raja Mala untuk menarik kembali ucapannya karena bisa merusak perjanjian mereka yang sudah terjalin lama.
"Hei, Mala. Tarik ucapanmu itu,”teriak Pohon.
“Kamu tidak akan tumbuh, jika rakyatku tidak menanammu," balas Raja Mala.
“Jangan terlalu angkuh, Mala. Kalian tidak bisa hidup tanpa kami!” sahut Air sungai.
“Kalian terdapat banyak di belahan Bumi ini, kalian tidak akan pernah habis walaupun rakyatku terus mengambil. Menurutku, sudah tugas kalian untuk mencukupi segala sesuatu yang diperlukan oleh rakyatku," jawab Raja Mala membalas ucapan Air.
“Hati-hati Mala. Kalian tidak akan hidup makmur jika tanpa kami,” seru Gunung.
“Diamlah, Gunung. Jika tidak ada kami, kalian akan merasa kesepian di dunia ini. Dengan adanya kami, adalah bukti bahwa kalian sudah tugasnya melayani segala kebutuhan kami," balas Raja Mala dengan penuh amarah.
Alam tidak berhenti meneriaki Raja Mala. Namun, dia mengabaikan semua itu dan turun dari Gunung. Semenjak kejadian itu, Raja Mala juga menjelaskan pada semua Alam tentang pemikirannya. Semua Alam tidak ada yang menyetujui sama sekali pemikirannya karena dapat merusak keseimbangan dan perjanjian yang sudah terjalin bertahun-tahun.
Raja Mala Pulang ke Singgasananya dengan wajah yang kusut dan terlihat marah karena apa yang dia pikirkan tidak diterima oleh Alam. Para penasihat melihat ekspresi Raja Mala yang sangat memprihatinkan itu.
"Ada apa, Tuanku?” tanya Penasihat.
“Penasihatku, pemikiranku sama sekali tidak disetujui oleh mereka. Kalau terus begini, eakyatku tidak dapat mengambil sumber daya alam dengan jumlah yang lebih dari cukup untuk kebutuhan mereka. Dan kemakmuran kerajaan ini," jelas Raja Mala.
“Lupakan kritik mereka, Tuanku. Mereka melupakan apa yang sudah kita lakukan bertahun-tahun untuk generasi mereka. Dan mereka membalasnya dengan tidak mau memberikan sedikit lebih banyak hasil mereka. Tuanku bukan Raja bagi rakyat ini saja, tapi sudah termasuk Raja bagi Bumi ini. Semua keputusan Tuanku adalah perintah mutlak,” jelas Penasihat.
Mendengar penjelasan penasihat itu, Raja Mala pun merasa mendapat persetujuan dari para rakyat tercintanya. Hingga akhirnya, para rakyat mulai memproduksi sedikit lebih banyak dari hasil yang mereka tanam sebelumnya. Mereka menebang banyak pohon sekaligus untuk pembangunan desa, mengambil air, sayur dan buah dalam jumlah yang besar. Sehingga, beberapa kali Raja Mala mengadakan Pesta besar-besaran atas kemakmuran desa ini.
Alam merasa sangat marah saat itu, mereka selalu mengkritik dan berteriak sekencang-kencangnya pada para manusia. Namun, hanya Raja Mala saja yang dapat mendengarnya. Dan ia hanya mengabaikan hal itu. Selama Rakyatnya bisa bahagia dengan apa yang sudah mereka hasilkan bertahun-tahun ini.
Gunung sudah tidak tahan lagi dengan sikap Raja Mala, Gunung pun berteriak dengan sangat kencang sambil berkata, “Mala, ini sudah keterlaluan. Terimalah akibatnya!" teriaknya.
Teriakan Gunung membuat gemuruh yang sangat besar, hingga mengagetkan para rakyat yang sedang berpesta. Tanah saat itu bergetar, para rakyat takut dan kebingungan. Tiba-tiba, puncak Gunung itu pecah mengeluarkan asap dan api dalam jumlah yang begitu banyak. Mereka semua kaget dengan apa yang terjadi pada Gunung itu. Hingga Raja Mala membawa mereka menuju ke pesisir Pantai.
Namun, gemuruh tidak hanya terjadi di Gunung. Gemuruh juga terjadi di dalam Laut. Air tiba-tiba saja menyurut sedikit dari Pantai dan mereka tidak tahu sama sekali apa yang akan terjadi. Hingga pada akhirnya, sebuah gelombang setinggi dua puluh meter menuju ke arah mereka. Raja Mala begitu kebingungan dan gelisah melihat keadaan rakyatnya yang panik, mereka sudah terkepung.
Lava turun perlahan menuju kaki Gunung, dan Air Laut menghampiri mereka dengan kecepatan yang tinggi. Karena dataran mereka yang sudah sedikit gundul, membuat gelombang itu dengan mudah menghancurkan dataran dan banyak rakyat Raja Mala yang tewas karena hal itu.
Raja Mala sendiri yang selamat dalam bencana itu. Dia begitu menyesal dengan keputusannya. Namun, yang terjadi sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Alam berhenti percaya kepada Raja Mala. Dataran dia hancur dan mengalami kekeringan setelah itu, hingga memutuskan Raja Mala untuk berlabuh ke dataran lain dan mencari peradaban.
Sampai sekarang ini, bencana tidak berhenti menghantui manusia. Di mana pun kita bersembunyi saat ini. Alam memberikan hukuman yang setimpal untuk manusia serakah seperti Raja Mala. Namun, tetap mentoleransi pada manusia yang masih ada bentuk rasa kepedulian terhadap kelangsungan hidup Alam.
Tentang Penulis:
Arnal Qori, lahir di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan pada 08 November 2001. Seorang penulis amatir lulusan SMA Negeri 01 Lawang Kidul. Bekerja sebagai buruh di suatu pabrik kertas. Mempunyai hobi membuat lagu, menulis, membaca dan menonton kartun/anime. Anak bungsu dari empat bersaudara. Nomor Handphone: 082261311391
KAMU SEDANG MEMBACA
Antologi Dongeng
FantasyDongeng? Cerita yang tidak benar-benar terjadi. Ini hanya sebuah cerita khayalan semata.