Farensa hendak menaiki ojek yang mengantarnya setelah selesai membeli keperluan yang dibutuhkan. Namun, tiba-tiba sebuah tangan menarik lengannya dengan keras membuat dia urung menaiki sepeda motor. Dia kemudian melihat siapa yang menariknya.
"Nih, ponsel lo!" ucap lelaki bertubuh tegap, tinggi, atletis di depannya itu.
Farensa mengerjap beberapa kali sebelum menerima ponselnya. "Kenapa bisa ada pada Anda?"
"Lo ceroboh, ninggalin tuh ponsel di masjid."
Farensa merutuki kecerobohannya itu dalam hati. Lalu memberanikan diri menatap lelaki yang menemukan ponselnya. Dan ternyata lelaki itu juga tengah menatapnya intens, Farensa begitu gugup menyadari hal itu. Dia jadi salah tingkah dan berniat kabur, tetapi ingat belum mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih banyak atas kebaikan Anda. Saya permisi,"
Farensa begitu lega setelah mengucapkannya. Dia kemudian berbalik hendak menaiki kendaraan roda dua milik tukang ojeknya kembali, tapi lagi-lagi tangannya dicekal.
"Nama?" Lelaki itu bertanya singkat, Farensa sedikit kesal mendengarnya.
"Maaf, Tuan, aku buru-buru." dalih Farensa tidak mau mengenalkan diri.
"Ah ya, baiklah. Tunggu saja,"
Farensa mengernyitkan keningnya mendengar perkataan lelaki itu. Tunggu saja ... apa maksudnya tunggu saja? Apa dia berniat macam-macam? Ya Allah, Farensa tidak ingin hal itu sampai terjadi.
Farensa bergidik ngeri sebelum akhirnya menaiki sepeda motor kang ojek dan pergi menjauhi lelaki yang menurutnya sangat menyeramkan itu.
***
Affan sedang duduk di kursi yang terletak di area balkon kamarnya. Lelaki itu membaca buku untuk mengalihkan pikirannya dari Farensa. Sudah sejak sore tadi dia sibuk membayangkan apa yang akan terjadi nanti, saat dia membawa keluarganya ke rumah Farensa.
Ketika sibuk membaca, Affan mendengar pintu kamarnya terbuka dengan perlahan. Lelaki berkulit putih itu menebak kalau sosok yang memasuki kamarnya adalah Qiyya, sang adik.
"Hai Abang?!!!" seru Qiyya menghampirinya.
"Tidak salah tebak," gumam Affan pelan, tapi Qiyya mendengarnya karena gadis itu sudah di sampingnya sekarang.
"Yap! Selalu benar tebakan Anda, Tuan." Qiyya membungkukkan setengah badannya dengan tangan merentang sesaat.
"Ck, basi." komentar Affan malas. Qiyya hanya tertawa keras.
"Gugup ya, Bang." goda Qiyya setelah puas tertawa. Ia memang datang berniat menggoda abangnya itu.
"Enggak, tuh."
"Ah, massaa???" Qiyya memajukan wajahnya mendekati wajah Affan yang tampak serius pada bukunya, dengan kacamata yang bertengger di sana.
Affan langsung menutup bukunya agak kasar dan mendampratkan benda itu ke wajah Qiyya. Membuat gadis berwajah oval itu mengaduh kesakitan, berupaya menolong hidungnya yang diyakini semakin menjorok ke dalam. Sementara Affan, pria itu sudah melenggang pergi entah ke mana.
***
"Ummi bikin sambal untuk ikan asapnya aja, ya? Biar Farensa yang masak kentang ati ayamnya."
Farensa tengah sibuk di dapur bersama sang ummi mempersiapkan hidangan makan malam untuk menjamu tamu mereka nanti. Farensa memang sudah memberitahu ummi abinya perihal Affan yang akan datang beserta keluarganya. Mereka tidak keberatan, bahkan umminya itu tanpa malu menunjukkan ekspresi bahagia setelah tahu Affan akan bertamu.
Farensa juga terlihat sangat bersemangat dalam mempersiapkan semuanya. Namun, bukan Affan alasannya. Dia hanya tidak ingin mengecewakan tamu, apalagi tamunya adalah orangtua. Jadi, sebisa mungkin dia menyiapkan yang terbaik.
Farensa mulai menggoreng kentang lalu membuat bumbunya. Dia dan sang ummi asik saja berkutat di dapur padahal waktu sudah menunjukkan pukul 7 kurang 5 menit.
"Mi, apa tidak sebaiknya kalian mandi, salat dan bersiap-siap? Ini sudah hampir isya, lho. Bagaimana kalau tamu datang kalian masih berantakan seperti ini." ujar Lukman, abi Farensa yang entah sejak kapan sudah berada di sana.
"Iya Abi, sebentar, ini nanggung." sahut ummi Wati tetap fokus pada ikannya.
"Habis ini Farensa salat kok, Bi,"
Apalah daya, Lukman hanya bisa berusaha mengerti akan kesibukan istri dan anak perempuannya itu. Lelaki paruh baya itu menggeleng pusing dan pergi meninggalkan dapur.
***
Seorang pria dengan kemeja biru langitnya duduk meluruskan kaki di sofa kamarnya. Tiba-tiba dia kembali teringat akan sosok gadis yang dilihatnya beberapa saat lalu.
Suara adzan Maghrib terdengar berkumandang. Entah ada angin apa tiba-tiba kali ini Aldo ingin menjalankan ibadah salat yang selama ini sering dia tinggalkan. Dia menepikan mobilnya di Masjid terdekat.
Meskipun Aldo jarang melakukan ibadah yang satu ini, tapi dia tidak lupa akan praktiknya. Aldo tahu, salat Maghrib dilakukan sampai 3 rakaat. Dan itu mudah saja baginya apalagi kali ini dia ikut berjamaah.
Setelah selesai mengerjakan salat, dia pun duduk di serambi masjid menghadap ke arah dalam masjid sembari bersender di salah satu pilar. Dia hanya ingin rehat sejenak menenangkan pikirannya dari berbagai masalah di kantor.
Tiba-tiba dadanya berdebar pelan, saat tanpa sengaja netranya menangkap sesosok gadis yang sedang berjalan hendak keluar dari masjid. Kerudung dan busana longgarnya berkibar indah mengikuti irama langkah kakinya. Wajah mungilnya begitu menawan, tampak manis dan imut.
Tanpa sadar, Aldo bangkit dari duduknya. Berniat menghampiri si gadis yang sekarang sedang duduk di anak tangga memakai kaos kaki. Aldo mengamatinya dari kejauhan. Tak luput dari penglihatannya, sebuah ponsel tergeletak di samping gadis itu. Aldo sangsi jika gadis itu bisa saja lupa akan ponselnya. Dan benar saja, gadis itu bangkit dan berjalan meninggalkan ponselnya begitu saja.
Aldo membuka ponselnya. Menatap hasil jepretan asalnya yang didapatkan dengan sedikit susah payah. Tampak blur tapi tidak masalah. Dia masih bisa melihat aura manisnya.
Aldo menghela napas, tidak tahu apa yang sedang terjadi padanya. Tidak biasanya dia tertarik pada wanita yang berpakaian syar'i seperti itu. Biasanya dia hanya mendekati wanita berpakaian terbuka. Paling tidak, kalau tertutup pun tidak sampai seperti gadis itu. Hanya sebatas memakai pakaian tertutup tidak menggunakan penutup kepala apalagi berbusana longgar.
Aldo jadi merasa aneh pada dirinya sendiri. Tapi dia jelas merasakan ketertarikan pada gadis itu. Wajahnya terasa tidak asing baginya. Namun ia yakin, belum pernah mengenal gadis itu, sebelumnya.
Sebenarnya sang gadis memiliki warna kulit yang tidak cerah, tapi tidak gelap juga. Kecoklatan khas orang Indonesia dan jujur saja sejak dulu Aldo mencari tipe kulit itu. Meskipun banyak, tapi tidak bisa semudah itu menarik perhatiannya. Tidak seperti dia yang baru saja Aldo temui untuk pertama kalinya. Gadis itu seakan memiliki daya tarik tersendiri yang membuat Aldo sulit untuk menolak pesona yang dimiliki.
Dengan postur tubuh yang kecil, ditambah tinggi badannya yang agak kurang, membuat gadis itu terlihat seperti masih ABG. Akan tetapi untung saja aura wajahnya begitu menampakkan kedewasaan, membuat Aldo yakin jika usianya sudah di atas 20 tahunan.
Aldo begitu tertarik dengan garis wajahnya yang menurutnya begitu imut bak barbie. Mata bulatnya, hidung mancungnya, bibir tipisnya, ditambah dengan pipi yang tirus membingkai wajahnya dengan indah. Sungguh perumpamaan yang pas, dan dia yakin siapa pun yang mampu melihat detail wajah gadis itu akan sulit untuk tidak tertarik.
Beruntung Aldo sempat mencuri nomor ponselnya. Untuk melacak keberadaan gadis itu di mana pun. Jadi tunggu saja, Aldo pasti akan menemukannya lagi dan segera memilikinya, jika memang gadis itu belum menikah.
*****
Thanks,
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...