Farensa kini berada di kamarnya ditemani sang ummi yang memeluknya. Saat ini yang bisa dia lakukan hanyalah menangis. Tak bisa dipungkiri bahwa perkataan abinya barusan benar-benar masuk ke dalam hatinya. Farensa merasa begitu tertohok, tersadar akan sifatnya yang masih jauh dari kata baik.
"Sudahlah, Nduk, jangan diambil hati. Nanti biar Ummi yang bujuk Abi supaya nggak marah lagi dan mau mengerti keputusanmu. Sudah, sudah, Ummi jadi ikut sedih kalau kamu menangis terus seperti ini." ujar Wati menenangkan putrinya.
"Tapi omongan Abi benar Ummi .... Farensa begitu sombong dan angkuh karena menolak lamaran seseorang. Farensa tidak tahu diri, kan, Ummi? Padahal Farensa juga tidak cantik," ucapnya terisak.
"Tidak, Nak. Seorang wanita memang harus memiliki harga diri meski tak cantik. Lagi pula, siapa bilang anak Ummi tidak cantik? Anak Ummi cantik gini kok," ujar Wati berusaha menghibur. "Tapi ... Ummi juga ingin Farensa berpikir lebih dewasa lagi. Bukannya Ummi membela Abimu, Nak, tapi Affan memang pemuda yang sholeh, baik, sopan santun, pantang menyerah pula. Bahkan, Ummi yakin kalau dia juga laki-laki yang bertanggung jawab. Jadi kesimpulannya, tidak mungkin Abi menyerahkanmu begitu saja jika bukan kepada pemuda yang tepat. Abi pasti sudah memikirkannya dengan matang."
Farensa diam saja menyimak ucapan umminya. Dia semakin bingung. Ada sebagian kecil hatinya yang membenarkan perkataan sang ummi dan abi, namun sebagian besar hatinya masih saja ada keraguan.
Masalahnya ... bukan karena ragu pada sifat Affan. Farensa akui dia memang keliru selama ini. Affan memang bisa saja sudah berubah dan Farensa tidak berhak menghakimi kesalahan Affan yang dulu. Biar itu jadi urusan Affan dan Allah. Dirinya hanya perlu memaafkan dan mengerti kesalahan orang lain. Namun, dari semua yang sudah dia lewati bersama Affan dulu, apakah dia bisa bersikap normal pada Affan layaknya bersikap pada mendiang Mas Ali? Farensa ragu akan hal itu. Dia rasa akan canggung nantinya dan itulah yang sebenarnya mengganggu pikirannya selama ini.
***
Jam 9 pagi, Aldo baru terbangun dari tidurnya. Pandangannya tampak silau oleh sinar mentari yang masuk melalui kaca jendela kamarnya.
Bangkit dari ranjang, Aldo bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu keluar dari kamar menuju dapur untuk makan.
Dilihatnya Rifa yang sedang memakan kue basah berwarna merah sambil memainkan ponsel. Aldo pun mencomot kue itu satu yang masih tergeletak di meja. "Beli di mana, Dek?"
"Bi Inah yang beli, paling di pasar."
"Ohh, udah lama nggak makan ini." sahut Aldo sambil mengunyah. "Ternyata rasanya masih enak seperti dulu."
Rifa melirik kakak sepupunya sesaat, "Tergantung yang bikin ini mah, Kak. Kalau dia bikin pake bahan berkualitas, ya, akan tetap enak seperti ini."
Aldo mengangguk paham, kemudian duduk di kursi kosong. Diamatinya Rifa yang memakai penutup kepala, dia baru sadar kalau selama ini Rifa selalu memakai penutup kepala dan berpakaian tertutup meski di rumah. Aldo bahkan tidak pernah mendapati Rifa yang tanpa kerudung. Entah rambut gadis itu seperti apa, Aldo tidak tahu. Namun dari suatu pemikirannya ini, Aldo jadi teringat akan sosok wanita yang sering dia panggil dengan sebutan 'gadis ABG'. Dia juga berpakaian tertutup, bahkan jauh lebih longgar, selain seragam guru yang mungkin saja ukurannya sudah ditentukan agar tidak terlalu longgar. Namun, dibalik seragam yang pas itu juga selalu ada kerudung longgar yang menutupinya.
Plak!
Sebuah daun pisang yang dibentuk bulat mendarat di pipinya. Aldo menatap kesal pada si pelempar. "Kenapa, sih?"
"Masih pagi udah ngelamun aja."
"Ya suka-suka, dong!" jawab Aldo melengos.
"Ntar kesambet!"
"Kakak lagi mikirin gurumu yang manis itu," curhat Aldo bertopang dagu. Dia tersenyum-senyum sendiri bagai orang gila.
"Yang mana? Kak Farensa?"
Aldo mengangguk antusias. Dia tidak sadar bahwa diusianya yang sekarang ini, tampak seperti ABG yang sedang kasmaran. Begitu menjijikan.
"Kakak serius suka sama Kak Farensa???!!!" seru Rifa mencondongkan tubuhnya.
"Iya, emang kenapa? Nggak cocok??"
Tiba-tiba Rifa menjerit. Gadis itu sungguh merasa bahagia mendengar pengakuan kakak sepupunya barusan. Dia langsung berjalan mendekati Aldo. "Kakak mau nggak kalau aku comblangin?"
Mata Aldo langsung berbinar, "Ah yang bener kamu, Dek?"
"Beneran ih, mau nggak??"
Aldo langsung berdiri menatap Rifa dengan yakin. "Ya mau lah, Dek. Orang Kakak incar dia udah lama."
Rifa tersenyum lagi namun tersirat akan adanya sesuatu di otaknya. "Ada syaratnya, Kak."
Tuh kan benar dugaan Aldo, gadis itu merencanakan sesuatu, tadi.
"Apa syaratnya?" sahut Aldo malas.
"Kakak harus mau belajar salat sama ngaji."
*****
Thanks,
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...