Affan mencopot snelli-nya dan meletakkannya di sisi sofa. Tanpa sengaja, netranya menangkap sebuah undangan yang tergeletak di atas meja. Lantas dia mengambil undangan itu karena ingin tahu.Ali
&
FarensaKedua matanya mengerjap beberapa kali ketika membaca nama si mempelai wanita. Hatinya mulai terasa tak enak. Nama Farensa begitu familiar di otaknya. Sepuluh tahun nama itu selalu terselip dalam doanya. Jadi bukan hal aneh jika responnya akan berlebihan seperti ini.
Dengan sigap, dia pun membuka undangan yang tampak sederhana tapi cukup elegan itu. Dia membuka lipatannya, dan langsung membaca dengan teliti bagian yang mencantumkan nama mempelai wanita.
Farensa Azqia Rizky
(Putri Bpk. Lukman & Ibu Wati)Affan benar-benar tak percaya pada apa yang dibacanya saat ini. Dia menemukan gadisnya. Tapi ... terlambat.
Affan kemudian beralih pada bagian keterangan mempelai pria. Tidak disangka, dia juga mendapati nama panjang seseorang yang dikenal. Affan paham betul nama itu, karena sempat tinggal bersama beberapa tahun di sebuah pesantren. Jadi tidak mungkin dirinya lupa. Apalagi alamat rumahnya juga sama, membuat Affan semakin yakin bahwa mereka adalah orang yang sama.
Bang Ali. Affan sering memanggilnya begitu kala di pesantren. Sifatnya yang sangat bijaksana membuat dia begitu disegani oleh santri lain.
Affan pun sangat menghormati beliau. Umurnya terpaut beberapa tahun darinya. Ali lebih tua.
Meski demikian, Affan bisa merasakan kalau Bang Ali begitu merangkulnya bagai adik kandung. Affan bahkan bisa menceritakan segala permasalahannya dengan Farensa pada Ali. Padahal sebelumnya dia enggan bercerita pada siapa pun. Dia memendamnya selama dua tahun sendiri.
Flashback on
"Fan, aku perhatiin, kamu sering melamun di pondok. Punya masalah apa?" tanya Bang Ali di tengah mereka berbincang-bincang ringan.
Affan merasa bingung. Dia tidak tahu kalau selama ini ternyata ada yang memperhatikannya.
"Ah, anu Bang, aku nggak apa-apa kok sebenernya." Affan menyengir lebar menutupi rasa gugup.
Bang Ali tersenyum seolah tahu Affan sedang berbohong. "Cerita aja nggak apa-apa, siapa tahu aku bisa bantu. Lagi pula aku juga bukan ember bocor, kok." Ali tersenyum lagi.
Affan hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Dia menimbang-nimbang, baiknya dia bercerita atau tidak.
"Bang Ali," panggil Affan setelah lama terdiam. Alipun menoleh ke arahnya.
"Entah kenapa ... aku tidak bisa berhenti merasa bersalah pada seseorang hingga sekarang, Bang. Dia ... perempuan." ucap Affan mulai bercerita. Ali hanya diam mendengarkan.
"Aku pernah membuatnya menangis karena ucapanku yang kasar. Aku mengata-ngatai fisiknya yang jelek, menghina bapaknya yang bekerja sebagai tukang becak, mencaci keluarganya yang miskin," Affan mengambil napas sejenak, "keterlaluan nggak sih, Bang?" lanjutnya nelangsa.
Ali mengangguk-angguk mengerti. Ia menepuk pundak Affan. "Semua orang pernah punya salah. Pertanyaannya sekarang, apa kamu sudah minta maaf?" ucap Ali dengan lembut.

KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
Ficción General"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...