Jam pulang sudah tiba. Farensa bergegas keluar dari ruang yang ditempatinya itu lalu menuju lobi sekolah untuk menemui seorang siswi yang sudah memiliki janji dengannya.
"Maaf ya ... Ibu lama," ucap Farensa ketika melihat Rifa duduk sendiri di kursi lobi.
"Ah, nggak apa-apa, Bu. Ayo," Rifa menggandeng lengan Farensa dengan akrab. Mereka memang semakin dekat semenjak kejadian yang menimpa Rifa tempo lalu.
"Kita naik mobil?" Farensa sangat terkejut ketika mereka berjalan mendekati sebuah mobil yang cukup mewah.
"Hehehe, iya, Bu. Emang kenapa, sih?"
Farensa menggeleng kecil. Dia hanya tidak menyangka kalau Rifa sebenarnya anak orang kaya.
"Tidak apa-apa," jawabnya lalu memaksakan senyum. Mereka kemudian memasuki mobil.
Di dalam mobil, Rifa merasa tak tahan untuk tidak tersenyum saat melihat raut wajah guru Bahasa-nya itu yang masih saja terlihat kebingungan. "Ibu kaget, karena Rifa punya mobil?" tanyanya blak-blakan.
"Ah, eng-enggak, kok,"
Rifa tersenyum lagi, "Ini bukan mobil Rifa, Bu, ini mobil punya Pakdenya Rifa."
Farensa menyimaknya dengan bingung, "Bukan punya orangtua Rifa?" tanyanya hati-hati.
Rifa tersenyum seraya menggeleng, "Orangtua Rifa udah dipanggil, sama Allah." jawabnya enteng seakan sudah begitu ikhlas. Farensa langsung merasa bersalah sekaligus prihatin.
"Maaf, Ibu nggak tahu, Fa," sesalnya.
"Sudahh ... nggak apa-apa, kok, Bu, Rifa udah ikhlas, biar mereka tenang di alam sana."
Rasa haru menyelimuti hati Farensa. Dia tak menyangka gadis yang masih berusia 16 tahun ini bisa berlapang dada dengan takdirnya. Apalagi takdir yang dialaminya itu cukup berat. Farensa tidak yakin semua anak bisa dengan mudah berlapang dada jika dihadapkan dengan hal serupa. Termasuk dirinya pun mungkin saja akan lebih lemah dari gadis di sampingnya ini.
"Kakak salut sama Rifa. Semoga orangtua Rifa ditempatkan di tempat terbaik, ya, di sana." doa Farensa tulus.
"Aamiin ya Allah. Terima kasih, Bu Farensa."
"Iya, sama-sama." Farensa tersenyum. "Jadi, karena itu Rifa nggak laporin perbuatan Leon dan teman-temannya tempo lalu?"
Rifa menunduk, "Rifa nggak mau kalau sampai pihak sekolah manggil wali murid Rifa, Bu. Sementara Rifa nggak mau ngrepotin Kak Aldo."
"Oh... Jadi kamu tinggal sama Kakak kamu? Pakde dan Bude juga?"
"Enggak, Bu, Rifa di rumah cuma sama Kak Aldo dan ART. Bude Pakde tinggal di luar negeri ngurus bisnis."
"Ohh ... Kak Aldo itu kakak kandung Rifa?"
"Bukan, dia kakak sepupu Rifa. Rifa anak tunggal sama kayak Kak Aldo."
Farensa mengangguk paham. Jadi, dia rasa Rifa adalah anak yang suka memendam masalahnya sendiri karena Rifa tidak mempunyai tempat untuk berbagi cerita. "Rifa ... Rifa mau nggak panggil Bu Farensa kakak?"
"Apaa?" Rifa merasa benar-benar kaget, tak percaya. "Bu Farensa ngizinin aku buat panggil Ibu dengan sebutan Kakak? Beneran?" Rifa sampai mengguncang-guncang tubuh Farensa.
"Iya, dan mulai sekarang Rifa boleh bercerita apapun ke Kakak. InsyaAllah Kakak amanah untuk menjaga rahasia Rifa."
"Aaaaaaa... Ya Allah terima kasih ya Allah!!! Engkau sudah mengirimkan Kakak yang baik hati untuk Rifa. Terima kasih ya Allah, terima kasih ...." sorak Rifa memeluk Farensa erat. Tak lupa juga dengan gerakan jingkraknya yang membuat tubuh Farensa ikut bergerak.
"Ssttt, sudah dong, malu itu sama Pak supir." Farensa berusaha menenangkan Rifa. "Omong-omong, apa masih jauh?"
"Ah, sebentar lagi kok, Kak. Nah, itu dia rumahnya." tunjuk Rifa dengan sumringah.
***
Aldo melihat jam di tangannya menunjukkan pukul setengah tiga sore. Dia ingat kalau setelah ini dia tidak ada janji dengan siapa pun lagi. Jadi, lelaki bertubuh atletis itu memutuskan untuk pulang.
Keluar dari ruangannya, Aldo sempat memergoki sekretarisnya yang sedang mengoles bibirnya menggunakan lipstik, sebelum kemudian beranjak berdiri menyambutnya. Aldo pun berdecak malas dan memutar bola matanya, "Dasar wanita!"
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Wina--sekretarisnya, tampak tak malu sedikit pun meski sadar baru saja dipergoki bosnya.
"Apa ada pertemuan lagi untuk hari ini?" Aldo hanya ingin memastikan.
"Tidak ada, Pak."
"Baiklah. Saya akan pulang sekarang."
"Siap, Pak."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Aldo segera pergi meninggalkan lantai tempat ruang kerjanya berada itu.
***
Farensa masih sibuk mengajari Rifa berbagai kosakata Bahasa Arab. Gadis manis berstatus anak didiknya itu ternyata cukup cepat dalam menangkap materi yang diberikan.
Rifa sempat mengaku padanya tadi kalau gadis itu sulit menangkap pelajaran yang diberikannya saat di sekolah karena tidak bisa langsung tanya jawab dengan bebas. Tidak seperti saat privat sendiri di rumah, Farensa begitu meluangkan waktu untuk tanya jawab.
Saat waktu Ashar tiba, Farensa mengajak Rifa untuk salat. Namun, Rifa mengatakan kalau dia sedang datang bulan, mengharuskan Farensa untuk pergi salat sendiri.
Farensa pun akhirnya menuju kamar mandi belakang yang biasanya dipakai oleh ART di sana, seperti yang ditunjukkan Rifa. Kata Rifa hari ini ART-nya sedang pulang kampung jadi rumah tampak sepi.
***
Aldo memasuki rumahnya dengan wajah sedikit lelah. Melewati ruang tamu, dia melihat Rifa sekilas yang sedang sibuk bermain ponsel juga dengan beberapa buku di depannya. Aldo merasa sedikit heran pada adik sepupunya itu yang tumben-tumbenan belajar di ruang tamu dan di jam yang sekarang ini.
Tanpa mengatakan apapun, Aldo melewatinya begitu saja. Lelaki itu menuju dapur untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering.
Melewati kamar mandi, Aldo tertegun sejenak kala mendengar suara gemericik air yang terdengar begitu jelas dari dalam. Dia pun mendekat sembari menajamkan pendengarannya, memastikan kalau di dalam sana memang ada manusia bukan hantu. Aldo ingat persis kalau Bi Inah, perempuan berstatus ART-nya itu sedang pulang kampung hari ini. Jadi di dalam sana sudah pasti bukan Bi Inah. Atau jangan-jangan teman Rifa yang memang sedang belajar bersama di rumahnya? Aldo membatin sambil menempelkan daun telinga di pintu kamar mandi itu.
Tiba-tiba, tanpa diduga, pintu terbuka dari dalam. Aldo yang tak siap, sontak terhuyung ke depan. Bersamaan dengan itu, terdengar sebuah teriakan seorang wanita yang membuat telinganya berdengung pengang.
"Kamu ngintipin aku?!" bentak Farensa marah. Namun saat melihat wajah si lelaki, Farensa langsung menatapnya dengan sedikit pias. "K-kamu?"
"Loh, elo?" tanya Aldo tak percaya.
Tanpa berniat mendengar apapun dari mulut lelaki di hadapannya, Farensa segera keluar dari kamar mandi dan mencari tempat salat yang bertempat tak jauh dari sana.
"Kak Aldo ada apa sih, Kak?" Tanya Rifa yang baru saja datang. Gadis itu menatap kakaknya khawatir sebelum melihat ke arah Farensa yang sekarang sudah memulai salatnya.
"Hm? Nggak ada, kok, dia cuma lihat kecoa, tadi. Jadi gitu deh, teriak-teriak lebay." bohong Aldo menahan tawa. Berbeda dengan Rifa yang justru menganggap omongannya serius, hingga gadis itu berlari ke arah belakangnya.
"Ih di mana, Kak, di mana kecoa nya?!" Rifa berseru histeris.
"Udah .... Udah nggak ada, tadi udah Kakak bunuh." ujarnya enteng lalu berjalan pergi meninggalkan Rifa dan melupakan rasa hausnya.
*****
Terimakasih sudah membaca,
❤❤❤
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...