Farensa berjalan di gang menuju rumahnya sembari sesekali menarik bibirnya tersenyum. Seperti biasa, kunjungannya ke rumah orangtua mendiang selalu membuat harinya menjadi menyenangkan. Karena dengan mengunjungi mereka, Farensa seakan bisa lebih mengenal Mas Ali lewat cerita-cerita mama Nania yang menceritakan sewaktu almarhum masih hidup. Dan itu memberikan kebahagiaan tersendiri baginya.
Begitu sampai di depan rumah, Farensa dibuat kaget oleh keberadaan seorang lelaki yang dia kenali duduk di tepi teras rumahnya. Lelaki tersebut tengah menunduk memakai sepatu. Namun tak lama, lelaki itu mendongak menatapnya. Farensa langsung membuang muka sesaat sebelum menunduk dan berjalan maju menuju rumahnya, karena kebetulan orangtuanya sedang berada di teras bersama lelaki itu.
"Kenapa lama sekali, Nduk, perginya?" tanya Wati tak enak pada Affan. Ya, lelaki itu adalah Affan.
Farensa tersenyum. "Iya maaf ya, Mi." ia menyalami tangan kedua orangtuanya bergantian. Mengabaikan Affan yang kini masih saja menatapnya. Farensa bisa melihat dari ekor matanya.
Ummi Wati memberinya kode mengenai keberadaan Affan. Farensa menatap umminya datar pura-pura tidak mengerti.
"Sudah sana, Nduk, selesaikan urusan kalian." perintah Abi Lukman lembut. Setelah itu beliau dan Ummi Wati masuk kedalam rumah meninggalkan Farensa bersama Affan.
Farensa sedikit bingung mendengar perintah abinya yang seakan tahu perihal dirinya dengan Affan. Farensa tidak tahu apa saja yang sudah dia lewatkan selama dia pergi. Mungkinkah Affan menceritakan masa lalu mereka pada orangtuanya? Padahal Farensa sudah menganggap urusannya dengan Affan selesai sejak dulu. Tapi kenapa pria itu tetap saja menemuinya?
Tak mau berpikir terlalu jauh, Farensa akhirnya duduk di kursi teras. Affan yang berniat pergi pun akhirnya kembali menaiki lantai dan duduk di kursi yang kosong.
Beberapa saat, mereka hanya diam. Sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Hingga akhirnya Affan membuka percakapan yang membuat Farensa terkejut.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya calon suamimu."
Farensa tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Dia menatap Affan sesaat sebelum menunduk kembali.
"Dari mana Anda tahu?"
Affan yang mendengar Farensa menyebutnya dengan sebutan 'Anda' hanya bisa mengembuskan napasnya berat. "Ceritanya panjang. Dan sebenarnya aku juga mengenalnya."
Lagi, pernyataan itu membuat Farensa terkejut. Namun kali ini Farensa berusaha untuk tetap menunduk meski butuh penjelasan.
"Kami mengenal saat kami tinggal di pesantren. Tidak kusangka dia yang akan menjadi suamimu, padahal saat itu dialah satu-satunya orang yang kuajak berbagi mengenai kisah kita."
Farensa mulai sedikit tidak mengerti dengan apa yang sedang Affan bicarakan. Dia hanya mampu menangkap perihal Affan yang mengenal mendiang di pesantren dan itu artinya dulu Affan pernah tinggal di pesantren. Tapi 'kisah kita' apa maksudnya?
"Farensa ...." Affan kesal karena Farensa hanya diam dan menunduk. Memangnya gadis itu pikir Affan radio rusak?
"Hm,"
"Ya Allah Farensa, aku mengajakmu bicara sejak tadi."
"Ya..."
Mendengar jawaban yang begitu irit, Affan menahan diri untuk tidak meremas rambutnya dengan frustasi. Sebegitu tidak pentingkah dirinya hingga Farensa selalu mengabaikannya? Bahkan sejak dulu Farensa mengabaikannya. Dia adalah satu-satunya gadis yang pernah menjatuhkan harga dirinya karena menolak cinta pura-puranya. Ya, pura-pura karena Affan yang dulu memang tidak lebih dari seorang lelaki yang suka mempermainkan perasaan perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...