Waktu menunjukkan pukul 20.10, tepat keluarga Affan tiba di rumah Farensa. Ummi dan abi Farensa menyambut mereka dengan hangat, disusul dengan Fikri yang baru saja pulang dari rumah temannya.
"Silakan dinikmati hidangannya, Bu, Pak, Nak Affan, Nak Qiyya. Maaf seadanya," kata ummi Wati tersenyum.
"Iya ayo, Pak Adam, silakan jangan sungkan-sungkan. Maaf juga kalau tempatnya kurang nyaman," tambah abi Lukman apa adanya.
"Ah tidak juga, Pak Lukman, kami nyaman kok di sini," sahut Adam semringah. Lalu beralih pada istrinya, "Iya, kan, Mah?"
"Ah, iya iya, kami nyaman kok," timpal Vina tersenyum. Sementara Affan dan Qiyya, ikut saja tersenyum dengan sopan.
"Terima kasih, loh, Jeng. Maaf kami jadi merepotkan kalian," tambah Vina pada Wati. "Oh ya, Farensanya ke mana, Jeng?"
"Oh, Farensa lagi mandi dulu, Bu, biar seger." kata Bu Wati ambigu membuat kedua orangtua Affan saling berpandangan sembari melempar senyum geli. Affan yang berada ditengah-tengah mereka, sungguh merasa tidak nyaman.
"Ah, maaf maksudnya tadi Farensa baru saja masak, Bu, jadi baru sempat membersihkan diri." terang Wati setelah menyadari kekeliruannya.
"Oh iya, Jeng, tidak apa-apa kok," tutur Vina sedikit menyenggol bahu Affan, sengaja menggoda. Affan terlihat melengos pelan.
Sedangkan Farensa yang kini masih berada di kamar, sungguh bingung kapan seharusnya dia keluar. Namun beberapa saat kemudian, umminya masuk dan menyuruhnya keluar dari kamar. Farensa akhirnya keluar bersama sang ummi menemui tamu mereka.
Farensa menundukkan pandangan ketika sampai di ruang tamu. Dalam pandangannya, dia tahu ada sebanyak empat orang yang bertamu.
Farensa berjalan mendekat ke arah mereka yang sekarang sudah berdiri seolah menyambutnya. Farensa merasa begitu malu karena hal itu. Tanpa membuang waktu, dia pun kemudian menyalami laki-laki paruh baya yang diyakininya ialah ayah Affan. Kemudian menangkupkan kedua tangannya di depan dada karena yang sedang berada di depannya adalah Affan. Sungguh Farensa begitu ingin kabur saat pandangan mereka bertemu. Melewatinya, Farensa amat terkejut kala ditatapnya seorang wanita yang dia kenal.
"Bu Vina?" gumamnya tak percaya.
Bu Vina hanya tersenyum hangat dan merentangkan kedua tangannya bersiap memeluk. Farensa langsung menyambutnya. Dalam hati, Farensa benar-benar merasa tidak percaya kalau wanita yang sedang dipeluknya kini ialah ibu dari seorang Affan. Dia butuh penjelasan mengapa Bu Vina menyembunyikan semua ini darinya. Atau memang Bu Vina juga tidak tahu kalau Affan mengenalnya? Tapi mengapa ekspresinya seperti sudah tahu? Ah, Farensa benar-benar tidak mengerti. Namun, yang dia tahu sekarang, sudah jelas Affan tahu semua tentangnya dari Bu Vina. Karena Farensa ingat, dia juga membagikan undangannya pada wanita baik ini.
"Apa kabar, Sayang?" tanya Bu Vina setelah melepas pelukan.
"Alhamdulillah, Farensa baik, Bu," jawab Farensa dengan senyuman manisnya, membuat Affan terkejut melihat senyuman itu. Pasalnya selama ini bahkan sejak zaman dia menyakiti Farensa dulu, Affan tidak pernah melihat senyuman gadis itu. Dan sekarang, dia melihatnya tapi senyuman itu tidak ditujukan untuknya. Sungguh malang.
"Oh ya, kenalkan ini anak bungsu Ibu, namanya Qiyya."
Farensa langsung tersenyum menyalami perempuan cantik yang lebih tinggi darinya itu yang juga tengah tersenyum padanya.
"Farensa," ucapnya tak melepas senyuman. Membuat Affan lagi-lagi mengerang dalam hati karena bukan dirinya yang mendapat senyuman itu.
"Qiyya, Kak." kata Qiyya begitu sopan.
Setelahnya, Farensa mempersilakan semuanya untuk menikmati hidangan saat mereka sudah duduk kembali. Namun, dia sendiri justru pamit ke belakang.
Ummi Wati kemudian mengajak tamunya makan malam setelah menyiapkannya. Dengan jamuan apa adanya, Affan sekeluarga merasa menikmatinya. Memang semua hal tidak bisa hanya diukur dengan kemewahan. Kehangatan sebuah keluarga justru harus di nomor satukan.
Setelah selesai makan, Affan meminta izin pada orangtua Farensa untuk mengajak putri mereka duduk di teras rumah. Dan Affan bersyukur karena mereka mengizinkan.
Affan duduk setelah Farensa duduk. Dan seperti yang sudah-sudah, mereka hanya diam untuk beberapa lama, menyelami pikiran masing-masing. Setelah Affan merasa cukup, dia memberanikan diri untuk bersuara.
"Farensa," panggilnya tanpa menoleh menatap Farensa.
"Hm,"
"Kenapa, 'hm'?" goda Affan.
"Lalu?"
Affan menghela napasnya, "Baiklah, kamu memang tidak bisa diajak bercanda."
Farensa tetap diam tidak peduli pada keluhan Affan.
"Perempuan yang kemarin, dia bukan siapa-siapa aku, Sa," Affan berusaha menjelaskan soal Riska. Sesekali dia melirik untuk melihat raut wajah wanita yang dia ajak bicara itu.
Farensa tersenyum tipis, dan itu membuat hati Affan sedikit berbunga karena ini kali pertama Farensa tersenyum karenanya.
"Itu bukan urusan saya." kata Farensa membuat rasa bahagianya lenyap seketika.
Entah kenapa Affan bisa membayangkan kalau Farensa akan berkata 'iya aku mengerti' setelah senyuman itu. Sungguh dia benci akan sifat bodohnya yang selalu datang di depan gadis dengan nama lengkap Farensa Azqia Rizqi itu.
Beberapa menit telah berlalu dengan tanpa adanya obrolan yang berarti bagi Affan. Bagaimana akan berarti, Farensa saja selalu menjawab perkataannya dengan cuek dan datar. Ekspresi gadis ini padanya sungguh sangat sangat berbeda dengan yang diperlihatkannya pada orang lain. Dan itu benar-benar menguji kesabaran seorang Affan. Rasanya Affan ingin langsung saja mengarungi gadis ini dan membawanya pulang, lalu menikahinya. Selesai. Ah, pikiran bodoh macam apalagi itu? Ya Tuhan ....
Tiba-tiba Vina datang menghampiri putranya. Wanita itu membisiki sesuatu dan setelahnya Affan beranjak dari duduknya, meninggalkan sang mama berdua bersama Farensa.
Sepeninggal Affan, Farensa langsung tersenyum hangat kepada Bu Vina. Farensa sungguh mengenal wanita di hadapannya itu, sehingga tidak ingin mengecewakannya dengan menampilkan raut wajah tidak sopan. Cukup Affan saja yang mendapatkan sifat dinginnya. Tidak untuk keluarga Affan.
"Farensa nggak nyangka ternyata Bu Vina ibunya Affan," jujurnya.
Bu Vina tersenyum, "Maafin Ibu ya, Sa ..., Ibu nggak niat bohongin Farensa. Awalnya Ibu nggak mau terlalu ikut campur urusan kalian. Tapi, semakin ke sini Ibu mau tidak mau harus tahu perkembangan hubungan kalian. Bagaimanapun, Ibu mengenalmu dengan baik. Jadi, Ibu berharap banyak padamu, Sayang." ujar Bu Vina menggenggam sebelah tangan Farensa.
Sementara Farensa, mendapati penuturan yang begitu lembut dan menyentuh itu merasa begitu tak tega untuk mengecewakannya. Meskipun dirinya amat tak menyangka kalau Bu Vina akan membahas persoalannya dengan Affan secepat ini. Masalahnya, sampai sekarang Farensa punmasih belum bisa menerima kehadiran Affan. Ya, kehadirannya saja belum bisa apalagi lamarannya. Sungguh, keputusan yang terlalu jauh jika dia sampai menerima lamaran Affan saat ini. Terlebih setelah dia melihat Affan berdua bersama perempuan di tempat makan waktu itu. Meski Affan sudah menjelaskan kalau perempuan itu bukan siapa-siapanya, tetapi bagi Farensa, hal itu merupakan sesuatu yang perlu menjadi sebuah pertimbangan untuknya. Bagaimanapun, kebersamaan itu tidak akan terjadi jika lelaki itu tidak menginginkannya, bukan?
"Nak," bujuk Bu Vina lagi penuh kelembutan, membuat Farensa yang tengah melamun seketika menoleh menatapnya dalam. "Affan itu laki-laki baik. Sebagai seorang Ibu, pasti Ibu begitu mengenalnya. Percayalah, dia akan menjadi suami yang penyayang dan bertanggung jawab."
*****
Thanks,
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
Ficción General"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...