"Abang, Kamis depan anterin Mamah kondangan, yah?" ujar Vina kepada Affan di sela makan paginya.Affan mendongak menatap mamahnya. Sebenarnya dia malas, tetapi dia tidak sanggup menolak. "Di mana, Mah?"
Vina tampak sedikit berpikir. "Emm ... di ... duh, Mamah lupa deh, alamatnya. Nanti deh Mamah kasih tunjuk alamatnya ke kamu, Fan. Kayaknya denahnya juga ada," ujarnya ragu.
"Hm, dasar pelupa si Mamah." cibir Malik kepada istrinya.
"Ish, Papah, mah. Ini kan temen baru, makanya Mamah nggak hafal tempat tinggalnya." sanggahnya tak terima.
"Ya ... masa nama desanya aja lupa, sih. bla ... bla ... blaa ...."
Perdebatan terus saja berlanjut. Affan geleng-geleng kepala keheranan menyaksikan kedua orang tuanya yang masih saja suka berdebat meski umurnya sudah tak lagi muda. Sementara Qiyya--adik Affan yang duduk di samping Affan hanya diam menikmati makanannya tanpa peduli sekitar.
***
Ali berjalan pelan mengikuti perempuan di hadapannya. Sebenarnya jaraknya agak jauh. Dia mengerti aturan bagaimana menjaga jarak dengan wanita yang belum menjadi mahramnya.
"Di mana, Mas Ali?" tanya Farensa menoleh kepada Ali--laki-laki di belakangnya.
Sebenarnya Farensa risi saat Ali meminta ia berjalan di depannya. Karena Farensa tahu itu artinya Ali akan melihat dirinya selalu dari belakang. Namun, Ali tetap memaksa dengan alasan untuk mengawasinya. Farensa akhirnya pasrah, menuruti permintaan calon suaminya itu. Untung saja dia memakai gamis dan kerudung yang longgar. Itu membuatnya sedikit tenang.
"Lurus saja, sedikit lagi sampai, kok." sahut Ali santai.
Farensa hanya mengangguk dan kembali berjalan dengan baik ke depan.
Mereka berada di sebuah mal terdekat. Berniat membeli sebuah cincin untuk pernikahan mereka yang tinggal menghitung hari. Awalnya Farensa menolak ajakan Ali, karena dia merasa soal cincin biar Ali saja yang memilihnya. Dia akan menerima bagaimanapun bentuk dan modelnya. Namun, Ali kukuh mengajaknya dengan alasan dirinya tidak tahu ukuran jari tangan Farensa. Dan lagi-lagi akhirnya Farensa mengalah dan menuruti permintaan Ali.
Sebenarnya Ali adalah laki-laki yang masuk dalam kriterianya selama ini. Dia laki-laki shaleh, baik hati, dan ... tampan. Ya, Farensa akui Ali begitu tampan. Badan tegap berisi dan tinggi, membuat Ali tampak begitu memesona. Namun, Farensa tahu, tidak ada manusia yang sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Kendati demikian, Farensa pasti akan menerima kekurangan laki-laki yang akan menjadi suaminya itu. Dia juga sadar, dirinya bahkan lebih banyak kekurangannya.
"Farensa, hei!"
Seruan Ali membuyarkan lamunannya. Farensa tergagap menghadap Ali.
"Di sini," Ali mengarahkan tangannya ke arah toko perhiasan di sebelah kirinya dengan senyum geli. Ekspresi Farensa terlihat begitu lucu baginya.
Farensa segera berjalan mendahului Ali dengan pipi memerah.
***
"Bang," seorang wanita bernama Qiyya memanggil kakaknya yang sedang bermain bola basket di lapangan belakang rumah mereka.
"Bang Affan, ihh." panggil Qiyya lagi dengan nada sebal karena tidak dihiraukan.
Affan baru menoleh setelah memasukkan bolanya ke dalam ring. "Apaan, Dek?" sahutnya sembari berjalan mendekat ke arah adik satu-satunya itu.
"Bang Affan udah nemuin dia?"
Affan tak langsung menjawab. Dia mengambil sebotol air mineral yang berada di sebelah adiknya. Kemudian duduk dan meminum air itu hingga tinggal setengah.
"Belum, Dek." sahutnya datar dengan wajah murung.
Melihat wajah abangnya yang murung, Qiyya jadi ikut-ikutan murung. "Sabar ya, Bang."
Affan mengangguk. "Kemaren Abang ke sana, ke rumah dia yang lama, tapi rumahnya tetep kayak dulu, sepi enggak berpenghuni."
"Abang pernah coba tanya ke tetangganya. Tapi, sebanyak orang yang Abang tanyain, nggak ada yang tahu alamat rumahnya yang baru." Affan menoleh menatap adiknya. "Mungkin, keluarga dia memang agak tertutup. Abang nggak tahu," lanjutnya mengedikkan bahu.
Qiyya menatap prihatin wajah abangnya. "Berarti dugaan Abang bahwa dia udah pulang ke rumahnya yang dulu itu salah? Ternyata dia memang sudah pindah tempat tinggal?"
Affan mengangguk sembari mengembuskan napas. Qiyya tahu ini pasti berat untuk abangnya. Meski keberadaan gadis itu seperti tak terlalu jauh, tetapi dengan ruang lingkup yang lumayan luas membuat abangnya susah mencari keberadaan si gadis.
"Kemana lagi yah, Dek, Abang harus cari?" ucap Affan terdengar frustasi.
"Abang yang sabar, ya." Lagi-lagi hanya kalimat itu yang mampu Qiyya ucapkan. Lagi pula, dia sendiri bingung harus menyuruh abangnya mencari gadis itu kemana lagi.
Tanpa menjawab, Affan hanya diam menatap nanar hamparan lapangan di depannya. Qiyya bisa melihat raut wajah abangnya yang terlihat begitu menyiratkan kesedihan. Jujur saja dia tak tega melihatnya. Dengan sengaja dia terdiam, tak lagi bertanya-tanya. Dia membiarkan abangnya termenung entah memikirkan apa. Namun Qiyya tahu, yang pasti ada kaitannya dengan gadis itu.
Ya, gadis itu. Gadis bernama Farensa. Bang Affan memberitahu nama gadis itu padanya. Gadis yang kata abangnya itu memiliki tubuh mungil dan rupa di bawah standar, tapi ternyata mampu membawa dunia abangnya teralihkan.
Jika tidak salah, hampir sepuluh tahun abangnya menunggu Farensa. Qiyya sempat berpikir betapa konyolnya Bang Affan. Dia menunggui seorang gadis yang keberadaannya saja tidak diketahui, bahkan mungkin saja gadis itu sudah menikah sekarang. Lalu jika benar sudah menikah, masa iya abangnya akan menunggu sampai Farensa menjanda? Sungguh, keputusan abangnya untuk tetap menunggu Farensa terdengar begitu gila di telinganya. Namun, bang Affan selalu berkata, "Ini cinta. Aku akan menitipkan cintaku kepada Allah. Biar Allah yang sampaikan."
Jika sudah membawa-bawa Allah, Qiyya hanya bisa diam. Mungkin cinta yang sesungguhnya memang seperti itu, dia sendiri belum begitu mengerti.
Dan kemarin, Bang Affan bercerita kalau dia sempat bertemu dengan gadis itu di rumah sakit. Namun, dia dengan bodohnya hanya diam mematung tanpa mengejar gadis itu. Menurut Qiyya juga Bang Affan memang bodoh, sih. Kalau sempat mengejar 'kan dia jadi bisa tahu di mana gadis itu tinggal sekarang. Tanpa harus pusing-pusing mencari lagi.
***
Thanks sudah baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...