Affan berjalan mondar-mandir di kamarnya sejak beberapa menit yang lalu. Hari ini adalah hari pernikahan Farensa, dan itulah sebenarnya yang menyebabkan Affan berperilaku bak penggosok baju.Hatinya merasa tak tenang. Dia juga bingung harus menghadiri pernikahan Farensa dan Ali atau tidak. Jujur saja ada keinginan di hatinya untuk hadir. Tapi apakah dirinya akan kuat nanti ketika melihat mereka bersanding?
Padahal hanya sebentar saja. Paling 2 atau 3 jam, lalu dia bisa pulang. Tapi sungguh Affan merasa berat untuk melihat drama itu. Bayangkan saja, sepuluh tahun mencari sang gadis dan saat sudah menemukannya, dia malah harus menyaksikan pernikahan sang gadis yang bukan bersanding dengannya.
Apa ada yang lebih menyakitkan dari ini? Baginya, ini adalah penderitaan paling mengenaskan semasa hidup. Ya, hidupnya memang semenderita dan semengenaskan itu.
Di tengah kebimbangannya, Affan mendengar pintu kamarnya diketuk. Dia menoleh menatap pintu.
"Ini Mamah, Bang." terang suara di balik pintu dengan cepat. Affan membuang napasnya pelan.
"Iya Mah, masuk! Pintunya nggak Affan kunci."
Vina segera masuk tak membuang waktu. Sejenak ia memperhatikan Affan dari atas sampai bawah. Ternyata anak sulungnya itu sudah berdandan rapi seperti ingin pergi ke suatu tempat.
"Abang mau pergi?"
Affan menggeleng samar, "Affan nggak tau, Mah."
Terlihat Affan mengalihkan pandangan dengan raut gelisah. Sesekali terlihat menunduk.
"Kalau Abang merasa nggak kuat, nggak apa biar Mamah aja yang ke sana,"
Bukannya menjawab, Affan malah berjalan menuju balkon menjauhi sang mama. Vina mengikutinya.
"Affan pengen ke sana, tapi ragu." lirih Affan.
Vina memegang pundak Affan pelan. "Ya sudah, kalau ragu, nggak usah ke sana, Abang. Kan udah diwakili sama Mamah. Nanti biar Mamah yang jelasin ke Ali soal kamu yang nggak bisa datang. InsyaAllah dia mau mengerti."
Affan mengangguk-angguk ragu. Sedetik kemudian, dia memaksakan senyumnya. "Makasih ya, Mah." ucap Affan tulus. Kemudian memeluk dan mengecup singkat pelipis sang mama yang tertutup kerudung.
"Jadi, Abang mau ke mana hari ini?" Vina bertanya sembari menyaksikan Affan yang tengah berjalan hendak masuk kembali ke dalam kamar.
"Tidur." Affan terkekeh pelan menutupi lukanya dan Vina tahu itu.
"Abang nggak apa-apa, 'kan?" tanya Vina khawatir melihat Affan yang sudah berbaring bergelung selimut.
"Sakit, Mah." gumam Affan pelan. Vina mendengarnya dan dia tahu kalau sakit yang Affan katakan adalah bukan dari fisiknya, tetapi hatinya.
Jujur, Vina merasa begitu khawatir dengan keadaan anak sulungnya yang seperti itu. Dia berharap jodoh segera datang untuk Affan agar Affan tidak melulu memikirkan wanita yang sekarang akan dinikahi laki-laki lain.
Vina tidak pernah sekalipun merasa kecewa pada Farensa. Dia tahu bahwa ini adalah garis takdir yang diberikan Tuhan. Dia pun sangat tahu kalau Farensa bukan wanita sembarangan. Farensa gadis yang baik dan sangat jujur. Vina sudah sangat mengenal baik sosok Farensa.Pertama kali mereka bertemu adalah ketika Farensa mengembalikan dompetnya yang jatuh seusai dirinya membayar barang belanjaan. Uangnya tidak berkurang sedikitpun setelah Vina mengeceknya. Vina sangat yakin karena memang dia mengingat dengan jelas uang sisa belanjanya saat itu.
Tuhan mengatur dua kali pertemuan antara dirinya dengan Farensa. Membuat mereka semakin akrab. Saat pertemuan kedua, Vina mengajak Farensa makan bersama---lebih tepatnya menagih janji Farensa yang akan makan dengannya di lain waktu. Karena dulu saat pertemuan pertama, Farensa menolak ajakannya untuk menemani makan dengan alasan sibuk. Tapi saat pertemuan kedua, untungnya Farensa tidak menolak lagi. Mungkin karena gadis itu merasa tidak enak pada dirinya. Vina tidak tahu.
"Mamah nggak jadi pergi?" suara Affan mengagetkan dirinya yang sedang melamun.
"I-iya, iya, ini mau pergi!" katanya sembari bergegas menuju pintu.
"Bye, Sayang!" pamit Vina di ambang pintu. "Oya, mau nitip salam nggak? Buat Farensa," godanya jahil sebelum menutup pintu. Dan beberapa detik kemudian, ia mendengar bunyi pintu yang sedikit berdebam seperti ada yang melemparinya sesuatu.
"Awas aja kalo Mamah sampai nglakuin beneran!" ancam Affan terdengar samar di telinga Vina, membuat wanita berkebaya abu-abu itu terkikik geli.
***
Thank's
🍂

KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...