Part 3

62 18 7
                                    

Affan mengecek jam di tangannya saat sampai di depan rumah. Di sana menunjukkan pukul empat. Dia merasa begitu letih sore hari ini.

Saat sampai di ruang tengah, dia melihat mamanya tengah duduk di sofa depan televisi sambil menatapnya dengan pandangan yang tidak biasa. Seperti ada yang ingin dibicarakan.

Affan mendekat dan menyalami tangan sang mama dengan sopan, lalu duduk di samping wanita itu.

"Fan," panggil Vina terdengar serius.

Affan hanya menggumam sembari mencopot jas kedokterannya.

"Mamah harap Abang nggak kaget,"

Pernyataan itu membuat Affan menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah sang mama dengan pandangan bertanya. Seolah mengatakan 'ada apa?'.

Tanpa menjawab, sang mama menyodorkan sebuah undangan yang tampak agak mewah ke arahnya dengan pandangan cemas. Affan tidak tahu ada apa sebenarnya.

Affan menerima undangan itu setelah selesai meletakkan jas kedokterannya. Kemudian dia membaca nama yang tertera di sana. Dia merasa kaget, tetapi respon tubuhnya hanya biasa saja seolah sudah terlatih.

"Tadi dia datang ke sini, Fan." ucap Vina terdengar pelan dan hati-hati.

Affan meraup bagian hidung dan mulutnya menutupi rasa gelisah. Telapaknya tetap bertengger di area sana. Dia pun terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka bagian dalam undangan itu.

Affan membacanya dengan cepat. Kedua nama mempelai bagai catatan yang sudah menempel di otaknya.

"Dia bilang kalau dia lupa, jadi ngasihnya udah mepet." jelas sang mama.

"Bang Ali ke sini sendiri, Mah?"

"Iya, dia cuma sendiri kok," Vina seolah tahu bahwa Affan bertanya mengenai siapa yang menemani Ali.

"Affan sudah ikhlas, kok, Mah." ucap Affan enteng. Namun tidak ada yang tahu kalau hatinya menolak mengatakan itu. Padahal sejak kemarin, dia sudah berusaha mati-matian untuk ikhlas. Tapi nyatanya tidak semudah yang  dibayangkan.

Namun, setidaknya Affan bisa membuat sang mama merasa sedikit lega oleh perkataannya.

"Jadi, Abang mau datang?"

Affan menggeleng. "Mamah aja yang ke sana."

Seketika Vina tahu bahwa anaknya belum sepenuhnya ikhlas.

***

Affan melihat pantulan dirinya di cermin. Dia memperhatikan wajahnya yang kini terlihat agak kurang bersih karena lupa mencukur kumis dan cambangnya.

Affan menatap sekali lagi ke cermin itu. Namun sekarang dia justru mengingat perkataannya tempo lalu saat bersama Farensa.
"Aku ingin datang, tapi kamu ... tidak mengundang."

Kata itu yang dia ingat. Dan sekarang, saat dirinya sudah diundang, dia justru tidak ingin hadir? Apa-apaan ini! Dia membuat malu dirinya sendiri!

Affan tahu yang mengundangnya adalah Bang Ali, bukan Farensa. Akan tetapi Bang Ali juga meminta dia datang ke rumah si mempelai wanita untuk menyaksikan akadnya. Jadi sama saja, bukan?

Terus sekarang mau bagaimana? Dia akan datang atau tidak?

Affan benar-benar pusing memikirkannya. Padahal ini bukan masalah berat, tetapi dia merasa begitu rumit.

Affan sadar, tidak akan mudah menyaksikan wanita yang dicintai bersanding dengan laki-laki lain. Bohong kalau ada yang mengatakan bahwa kita bisa bahagia jika melihat orang yang kita cintai bahagia. Karena nyatanya, air mata mereka tetap akan tumpah. Entah di depannya atau di belakang, Affan yakin mereka pasti mengeluarkannya.

Tetapi jika dia tidak hadir, apa yang akan dikatakannya pada Bang Ali? Bang Ali pasti kecewa.

Ya Tuhaaan! Bisakah Engkau hilangkan perasaannya pada Farensa sejenak agar dia bisa datang ke acara pernikahan mereka dengan kondisi baik-baik saja?

Rasanya Affan benar-benar frustasi hanya karena memikirkan persoalan ini.

Susah payah Affan berusaha  mengalihkan pikirannya. Dia melangkahkan kaki bersiap untuk mandi.

***

Dengan lembut Affan meraih jemari lentik itu. Dia menatap wajah pemiliknya dengan tatapan memuja. Wanitanya tersenyum begitu manis. Affan kemudian kembali fokus pada apa yang harus dilakukan.

Disematkanlah olehnya cincin cantik itu pada jari lentik wanitanya. Riuh tepuk tangan mengisi ruang yang mereka tempati.

Affan menatap sekali lagi wanita cantik di hadapannya itu.

Sungguh, benar-benar cantik.

Dia begitu terpesona akan kecantikan Farensa yang natural. Meski warna kulitnya tidak secerah wanita idaman para pria, tetapi wajah itu seolah bersinar terang memancarkan cahaya.

Affan sadar sejak dulu Farensa memang cantik. Tapi Farensa yang sekarang jauh lebih cantik. Jauh lebih manis dan bersinar. Entah apa yang membuat wajahnya tampak bersinar seperti itu, Affan merasa tak bisa mengalihkan pandangannya dari Farensa sedetik pun.

Affan mulai mengikis jarak di antara mereka. Dikecuplah kening Farensa dengan lembut. Affan merasa melayang hanya karena melakukan itu.

Mereka kembali berpandangan. Affan berharap dunia berhenti berputar saat itu juga karena ingin menikmati moment itu selamanya. Namun tiba-tiba moment bahagia itu hilang karena wanitanya ditarik dan dibawa pergi oleh pria lain.

Entah kenapa Affan tidak mampu melihat wajah pria itu dengan jelas. Dia mencoba berteriak, namun usahanya sia-sia. Wanitanya bahkan terlihat tersenyum samar meski tetap berjalan menjauhinya.

Affan benar-benar tidak bisa mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Semua orang yang ada di sana pun tidak ada yang membantunya. Dia berteriak-teriak sendiri bagai orang gila.

Lambat laun kedua kakinya terasa lemas. Affan berlutut sembari menangis tergugu.

Affan membuka mata. Merasa wajahnya sedikit basah, dia pun membatin, jadi dirinya benar-benar menangis?

Mimpinya kali ini terasa begitu nyata. Affan sadar, kenyataannya memang seperti itu. Nasibnya sungguh menyedihkan.

Affan bangkit duduk. Dia menyalakan lampu kamarnya dan melihat jam. Ternyata masih jam satu pagi. Dia akhirnya turun dari ranjang dan bergegas mengambil air wudhu.

*****

Thanks sudah baca.

FARENSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang