Selamat membaca, 😉
•••
"Farensa ...,"
Suara lembut nan halus itu menyadarkan Farensa yang sedang menutup mata karena tengah dipolesi make up.
"Iya, Ummi." Farensa menyahut dengan mata yang masih tertutup.
Kemudian Farensa merasa tangannya digenggam pelan. Farensa tahu yang menggenggamnya itu adalah umminya.
"Ummi sedih, mau ditinggal Eca." nada umminya terdengar begitu mellow. Eca adalah panggilan untuk Farensa semasa kecil.
Sekarang Farensa merasa jemarinya sedikit diremas. Dia pun membalasnya, lalu tersenyum hangat tanpa membuka mata.
"Siapa yang mau ninggalin Ummi?"
Farensa tahu, sikap umminya yang agak berlebihan itu merupakan bukti bahwa sang ummi sangat menyayanginya.
Terdengar umminya berdecak, "Pokoknya ummi sedih, Ca. Eca janji ya sama Ummi, harus jadi istri salihah, patuh sama suami Eca."
"Iya, iya, Ummi. Tapi kalau suami Eca nyuruh untuk berbuat maksiat, masa Eca harus tetap patuh?"
"Ya jangan, dong! Patuhnya sama yang baik-baik aja, yang dianjurkan agama, gitu lho!"
Akhirnya Farensa mengulum senyum, "Siap, Pak Bos! Eh, Bu Bos, maksudnya." canda Farensa dihadiahi cubitan ringan di lengan.
***
Affan menginjak pedal remnya dalam-dalam. Di depannya baru saja terjadi kecelakaan. Dan untung saja lelaki berjas putih itu tepat dalam memberhentikan mobilnya.
Affan menyaksikan sebuah truk besar yang menabrak sebuah minibus. Minibus itu terlempar lumayan jauh terjun ke dasar jurang. Sedangkan truk yang Affan duga kelebihan muatan itu hanya berakhir menghantam sebuah pohon besar yang berada di pinggir jalan.
Orang-orang mulai datang berkerumun. Banyak yang mengecek keadaan supir truk, banyak pula yang rela turun ke jurang untuk mengecek kondisi korban yang berada di dalam minibus yang terjun tadi.
Sementara Affan sendiri masih belum sadar akan apa yang dilihatnya. Ketika sadar, dia segera turun dari mobil dan berlari ke arah minibus yang nahas itu.
Affan mencari-cari jalan yang aman untuk dilalui. Jalanan nya tidak begitu curam, tetapi banyak tumbuh-tumbuhan berduri. Affan menghindari itu.
Dari jaraknya yang sekarang sudah lumayan dekat, Affan bisa melihat kalau mobil nahas itu berhiaskan bunga-bunga di depannya. Seperti mobil yang membawa pengantin. Membuat Affan teringat kembali pada pernikahan Farensa dan Bang Ali.
Ya Tuhan. Mengingatnya membuat Affan kembali tak berdaya. Tubuhnya terasa lemas. Tapi Affan berusaha mengendalikan diri. Dia kembali fokus berniat menolong korban.
Segera Affan mendekati mobil. Dan begitu terkejutnya saat dia melihat seseorang yang dikenal berada di dalam mobil itu. Bang Ali, wajahnya sudah bersimbah darah.
"Tidak! Tidak, Bang! Abang harus selamat." gumam Affan gemetaran. Tangannya yang bergetar pun berusaha membuka pintu yang terkunci.
"Dasar, Affan bodoh! Orang bodoh mana yang akan membiarkan pintu mobilnya tidak terkunci, hah?!" maki Affan pada dirinya sendiri.
Kaca jendelanya pecah. Affan tidak bisa sembarangan memasukkan tangannya ke dalam untuk membuka kunci. Salah-salah nanti tangannya yang tergores kaca.
Dengan sigap, Affan pun mencari batu berukuran sedang. Dia memecahkan kaca agak pelan takut pecahan kacanya mengenai korban.
Setelah dirasa cukup untuk dapat membuka kunci, Affan mulai memasukkan tangan dan berhasil membuka kunci pintunya. Segera dia membuka pintu dan membopong Ali keluar dari mobil.
"Berusahalah, Bang!" kata Affan sembari melakukan pertolongan pertama.
Berbagai upaya telah dilakukan. Affan bahkan mengulang-ulang usahanya dalam melakukan pertolongan pertama agar Ali bisa sadarkan diri.
Jangan maki Affan yang hanya menolong satu korban saja, karena yang Affan pikirkan sekarang adalah Ali harus selamat. Karena Ali adalah calon suami dari seorang gadis yang dicintainya.
Affan tidak mau gadisnya sedih.
"Bang Ali! Bertahanlah, Bang!" Affan mulai berteriak histeris kala merasakan denyut nadi laki-laki di pangkuannya itu mulai melemah.
"Ya, Tuhan .... Kumohon," tangis Affan frustasi.
Tanpa pikir panjang, Affan segera membopong Ali menuju mobilnya. Dia dibantu beberapa orang di sana.
Sekali lagi Affan tidak peduli kalau dia hanya fokus menolong satu orang. Membiarkan korban lain ditolong orang-orang yang ada di sana. Karena dipikirannya memang hanya satu. Bang Ali harus selamat, untuk gadisnya.
***
Farensa mengucap istighfar berulang kali sejak setengah jam yang lalu karena rasa cemas. Waktu sudah menunjukkan pukul 08.59 WIB. Namun mempelai pria belum juga datang. Padahal pak penghulu sudah datang sejak satu jam yang lalu.
Sebelumnya, Farensa sudah memberikan informasi pada Ali untuk datang agak pagi supaya tidak didahului pak penghulu. Tapi entah kenapa Ali datang terlambat. Farensa benar-benar khawatir terjadi sesuatu pada Ali.
"Farensa!"
Tiba-tiba umminya masuk ke kamarnya dengan wajah penuh air mata dan sorot mata yang tampak redup. Wanita paruh baya itu memandangi anaknya sedikit lama hingga berani berjalan mendekati. Air matanya terus turun mengalir. Wajahnya benar-benar menampakkan raut kesedihan.
Melihat umminya yang kacau, Farensa merasa janggal. Dia tahu ada sesuatu yang terjadi dan itu menyangkut dirinya.
"A-ada apa, Ummi?" tanya Farensa terbata. Tenggorokannya tercekat. Dia agak takut untuk menerima kenyataan pahit.
Ummi Farensa hendak berlutut dihadapan anaknya yang duduk di kursi. Namun sebelum itu terjadi, Farensa segera turun dan menyejajarkan tubuhnya dengan sang ummi.
"Yang sabar kamu, Nduk." kata Wati sambil menangis tergugu.
"Ada apa sih, Ummi?" tanya Farensa mulai mengeluarkan air mata. Ia sedikit bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang terjadi pada calon suaminya. "Ummi, ada apa?!" tuntutnya ketika umminya hanya menangis.
"Ca-calon su-a-mi mu, Nak,"
"Mas Ali kenapa, Mi?" Farensa sedikit mengguncang tubuh umminya.
"Ali mengalami kecelakaan, Eca. Dan, dia ..." Wati menggeleng tidak sanggup melanjutkan ucapannya.
Farensa menunggu ucapan umminya dengan perasaan khawatir, cemas, gelisah, bercampur menjadi satu. Namun, ia tetap berusaha tenang.
"Tapi Mas Ali nggak apa-apa 'kan, Mi?" ucapnya parau. Air mata masih terus mengalir di pipinya. Sungguh Farensa tak sanggup mendengar musibah ini.
"Dia ... meninggal, Farensa ...." tangisan Wati kembali pecah.
Farensa benar-benar syok mendengarnya. Ia menutup mulutnya, menahan tangisan yang hampir saja meledak.
Kenapa ini harus terjadi pada hamba ya Allah ...! Batin Farensa menjerit.
*****
Thanks,
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...