Untuk menjernihkan pikiran, Farensa berkunjung ke rumah mama Nania dan papa Adnan usai pulang mengajar. Hari ini Rifa tidak bimbingan, jadi Farensa bebas setelah pulang.
Sesampainya di rumah mama Nania dan papa Adnan, Farensa hanya bisa bertemu mama Nania di sana karena papa Adnan sudah mulai pergi bekerja. Papa Adnan bekerja sebagai Direktur Keuangan di salah satu perusahaan swasta.
"Farensa ... kamu kenal Nak Affan, bukan?" tanya mama Nania tiba-tiba tanpa menghentikan kegiatannya yang sedang memberi makan ikan-ikan.
Farensa langsung menoleh menatap mama Nania dengan perasaan tak enak. Dia tidak menyangka kalau mama Nania akan menyebut nama orang itu di saat dirinya sedang mati-matian menghindarinya.
"Iya Ma ... Farensa kenal," jawabnya menunduk.
Nania menoleh menatap Farensa lembut, "Jangan ragu untuk menerimanya, Nak. Dia pemuda yang baik."
Perasaan Farensa semakin tak keruan. Dia tidak tahu kenapa semua orang seakan berada di belakang Affan. Sedangkan dirinya sampai saat ini tidak ada yang mendukung. Ummi yang selama ini selalu ada untuknya pun tetap mendukung Affan meski dengan perkataan halusnya. Farensa jadi merasa tersudutkan dari berbagai sisi.
"Kenapa Mama bisa tahu soal Affan?" tanya Farensa berusaha menelan rasa kecewanya.
Nania tersenyum lagi, "Affan sering mengunjungi Mama,"
"J-jadi Affan sering ke sini?" Farensa tentu merasa terkejut.
"Iya." mama Nania mengangguk mantap. Lalu mendekati Farensa dan memegang pundaknya, "Dia pemuda yang baik, Nak. Jangan kamu sia-siakan. Mendiang yang sudah tenang di sana juga InsyaAllah merestui hubungan kalian, kok." lanjutnya penuh senyuman.
Farensa menatap mata mama Nania ragu. Namun, dia justru menangkap sebuah ketulusan di sana yang membuat hatinya perlahan menghangat dan sedikit terbuka untuk menerima perkataan wanita di hadapannya itu. Bahkan, untuk perkataan orang-orang yang juga selalu membela Affan di hadapannya.
Dengan hati yang sedikit telah melunak, Farensa menundukkan wajahnya. Haruskah ia menerima Affan?
***
Farensa pulang dengan wajah kusutnya. Sebenarnya, niat awal dia mendatangi rumah mama Nania adalah untuk melupakan sejenak masalahnya. Namun, Farensa justru mendapat tekanan yang sama juga dari sana. Sekarang dia bertambah bingung dengan apa yang harus ia lakukan.
"Ya Allah ..., benarkah Affan jodohku?" gumam Farensa membaringkan tubuhnya di kasur.
Farensa memejamkan mata. Tak lama kemudian bayangan Affan yang sedang mengatainya jelek, kerempeng, buluk, dan lain sebagainya muncul dengan perlahan. Farensa menghela napasnya panjang, bersamaan dengan bulir bening yang mengalir dari sudut matanya.
Farensa kembali merasa tidak yakin akan bisa menerima Affan meski Affan sudah berubah menjadi pria baik, saleh, dan sebagainya. Tidak, dia tidak mampu jika harus menerima penghinaan untuk yang kedua kalinya.
***
Setelah menunaikan salat Isya, Farensa kedatangan tamu spesial, si Dika Kutukupret. Farensa mempersilakan Dika untuk masuk ke kamarnya, seperti biasa.
"Widiiiww kasur baru, yak?! Ah... Empuk juga nih kasur." komentar Dika merebahkan diri.
Farensa yang melihat itu hanya geleng-geleng kepala. Dia tahu bahkan kasur Dika jauh lebih empuk dan luas, secara ayahnya adalah seorang pebisnis yang cukup sukses.
"Kamu ngapelin aku, Dik? Bertamu malem-malem gini." ujar Farensa di depan kaca.
"Jangan lupakan hutangmu, Beib."
Farensa mengernyit sejenak mencerna ucapan Dika. Namun setelahnya, dia paham kalau Dika membicarakan Affan, membuat bahu Farensa langsung meluruh. Dia tidak mengerti lagi dengan dunianya, kenapa orang-orang di sekitarnya selalu membahas lelaki itu di hadapannya.
Farensa berbalik menghadap Dika, "Sudah kukatakan, dia bukan siapa-siapa."
"Lo mau gue jodohin sama om gue?" ancam Dika seperti biasa, yang membuat Farensa akhirnya menurut padanya.
"Dasar kamu, beraninya mengancam!" dumel Farensa sebal. Akhirnya Farensa menceritakan semua tentang Affan dari zaman dulu awal mula pria itu menyakitinya sampai pada lamaran pria itu yang baru terjadi akhir-akhir ini. Sebenarnya Affan memang belum melamarnya secara resmi. Farensa mendengar dari ummi abinya kalau Affan sudah meminta dirinya pada mereka, namun belum berani untuk melamar langsung di depannya karena Affan takut ditolak. Nyatanya Farensa memang akan menolak, sih.
Setelah selesai menceritakan semuanya, Farensa malah mendapatkan geplakan keras dari tangan Dika di lengannya.
"Dari jaman SMA sampai sekarang kenapa lo baru cerita ke gue, heh? Itupun karena gue yang maksa! Lo nggak anggep gue sahabat?!" protes Dika lebay.
Farensa hanya memutar bola matanya malas. "Udah ah, aku ngantuk mau tidur." ujarnya merebahkan diri.
"Heyy, gue apelin lo malah tidur?! Lo harus ceritain lagi ke gue gimana perasaan lo sama dia, Ca! Farensaaa!!!" Dika menggoyang-goyangkan tubuh Farensa dengan keras membuat Farensa akhirnya kembali duduk.
"Aku nggak ada perasaan apa-apa sama dia." Jawab Farensa datar.
"Sumpeh lo? Dia ganteng loh, Ca. Tinggi, putih, tegap, berisi, dan yang pasti dari penampilannya tuh cowok kayaknya kerja kantoran. Btw, lo tahu dia kerja dimana? Apa dia CEO?"
Farensa merenung memikirkan ucapan Dika. Dia juga tidak pernah tahu mengenai pekerjaan Affan. "Tau lah, Dik, aku nggak kepo sama urusan dia." lalu Farensa merebahkan dirinya kembali.
"Yee ... Lo mah, nggak asik banget, sih."
*****
Terimakasih sudah membaca,
KAMU SEDANG MEMBACA
FARENSA
General Fiction"Jika bukan karena cinta, maka karena apa kedua insan bisa bersama? Kita mungkin bisa luput dari rencana manusia, tetapi tidak akan pernah bisa luput dari takdir-Nya." - Affan Farensa adalah anak dari seorang tukang becak yang memiliki rupa biasa-bi...