Part 8

56 13 1
                                    


Selamat membaca!

•••

Farensa memasuki pelataran rumah yang cukup luas. Sudah dua bulan ini, dia sering berkunjung ke rumah yang hendak ditujunya itu. Untuk melihat keadaan orangtua mendiang Mas Ali. Ya, rumah itu adalah rumah milik orangtua almarhum.

"Assalamualaikum," Farensa memberi salam setelah sampai di depan pintu utama dan memencet bel.

Tak lama, pintu terbuka, memperlihatkan seorang ART yang sudah sangat Farensa kenal.

"Eh, Bi Sari .... Sehat, Bi?" Farensa menjabat tangan ART itu. Bi Sari langsung menarik tangan ketika Farensa hendak mencium punggung tangannya.

"Eh, jangan, Mbak. Ayo masuk!" Bi Sari membawa Farensa masuk ke dalam.

"Kok sepi, Bi? Di mana Papa sama Mama?" Farensa memang diminta oleh kedua orangtua Ali untuk memanggil mereka dengan sebutan 'papa mama' meski gagal menjadi menantu mereka.

"Ada ..., itu Bapak sama Ibu di belakang sedang minum teh." terang Bi Sari lembut.

Farensa pun mengangguk dan berjalan mengikuti Bi Sari.

"Permisi, Pak, Bu, ini ada Mbak Farensa."

Dua orang yang sedang duduk menatap halaman belakang rumah pun menoleh. Mereka tersenyum lebar menyambut kedatangan Farensa.

"Sayang!" mama Nania menyongsong Farensa yang juga segera mendekat ke arahnya. Farensa menyalami tangan mama Nania sebelum berpelukan dengan hangat.

"Mama sehat? Ini Farensa bawakan makanan kesukaan Mama sama Papa," Farensa mengangkat sesuatu yang ditentengnya.

"Alhamdulillah, kaki Mama sudah mulai enggak sakit-sakitan lagi. Kamu gimana kabarnya, Sayang?" mama Nania menggiring Farensa ke arah suaminya.

"Alhamdulillah baik, Ma." Farensa kemudian menyalami tangan papa Adnan. "Gimana kabarnya, Pa?"

Papa Adnan tersenyum hangat. "Papa sehat, Sayang."

"Alhamdulillah kalau begitu. Sekarang kita pindah ke meja makan, yuk? Mumpung makanannya masih hangat." ujar Farensa bersiap mendorong kursi roda mama Nania.

***

Hari minggu ini, Affan berniat untuk pergi ke rumah Farensa. Rasanya dia sudah tidak sabar ingin bertemu gadis itu setelah sekian lama hanya mencuri pandang dari kejauhan. Ya, katakan saja Affan stalker. Dia memang tidak tahan untuk tidak melihat Farensa dalam waktu yang lama, mengingat bahwa dirinya begitu menantikan gadis itu selama ini.

Mengenai Bang Ali, Affan sudah mengunjungi makamnya untuk membicarakan perihal Farensa. Demi rasa hormatnya, Affan meminta izin pada Bang Ali sekaligus untuk memantapkan hati. Kini ia yakin, Bang Ali tidak akan keberatan. Ia selalu berpikir positif.

Affan kembali mamatut dirinya di depan cermin. Ah, sudah begitu tampan. Rambut sudah disisir rapi, pakaiannya juga sopan. Dengan kemeja biru panjang dan celana bahan hitam panjang, dia yakin pasti akan diterima dengan baik oleh kedua orangtua Farensa.

Affan sedikit melipat lengan bajunya ke atas agar tidak begitu formal. Dirinya tidak ingin disangka akan melamar pekerjaan, nantinya. Meski memang tujuan akhirnya memang melamar, tetapi jelas bukan melamar pekerjaan, melainkan melamar seorang gadis. Ah, Affan benar-benar tidak sadar. Saat ini dirinya berubah menjadi alay.

Affan segera memakai jaket kulitnya. Ya, dia akan membawa kendaraan roda dua. Hal itu dikarenakan rumah Farensa yang berada dalam gang sempit, mobil tidak bisa masuk sampai depan rumahnya.

Biarlah rambutnya kembali rusak karena helm. Ini demi perempuan yang dicintainya.

***

"Ma ..., Pa ..., Entah kenapa Farensa selalu ingin minta maaf sama Mama Papa karena Farensa sudah membuat kalian dijauhi keluarga kalian." ujar Farensa sambil menunduk sedih saat mereka masih menikmati makanan yang Farensa bawa.

"Farensa ..., Sudah berapa kali Mama bilang, semua ini bukan salahmu, Nak. Yang sudah terjadi adalah jalan hidup kami. Allah menunjukkan pada kami mana orang-orang yang tulus menyayangi kami." sahut mama Nania.

"Iya, Farensa. Kamu tidak perlu memikirkan hal itu kembali." tambah papa Adnan. "Kami tidak pernah menyesal mengenal keluarga kamu. Semua orang di dunia ini berstatus sama di mata Allah, yang membedakan adalah ketakwaan kita. Jadi tidak pantas bagi kita untuk merendahkan orang lain, apalagi hanya karena status sosial. Sudah, jangan dipikirkan lagi kalau masalah itu, Nak."

"Iya tapi ... apa kalian tidak menyesal atas pengorbanan kalian Pa, Ma, karena ternyata Mas Ali juga tidak jadi menikah dengan Farensa." sahut Farensa menunduk dalam.

"Sssttt, mana ada kata menyesal? Kita tidak boleh berbicara seperti itu, Sayang. Ali pergi karena Allah yang meminta. Kita bisa apa selain mengikhlaskan?"

"M-maaf ya, Ma ...," suara Farensa tersendat karena tidak bisa menahan tangisannya. Mengingat Ali membuatnya tak kuat untuk tak menangis.

Mama Nania akhirnya mendekati Farensa dan mengusap bahu gadis itu menenangkan. "Mama tidak mau kamu berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini, Sa. Bukalah hati kamu untuk laki-laki lain. Mama yakin Ali juga pasti menginginkan hal yang sama di atas sana."

Farensa memberanikan diri menatap wajah mama Nania. "Farensa bingung, Ma. Sepertinya sulit untuk melupakan perasaan ini begitu saja. Meski kami dekat belum lama tapi Farensa sudah begitu dalam menaruh hati pada Mas Ali. Farensa sangat menginginkan sosok suami seperti Mas Ali yang lembut dan penyayang."

Mama Nania tertegun mendengar itu. Dia juga tahu sifat Ali yang begitu lembut dan penyayang. Terutama kepada mereka kaum perempuan, Ali akan memperlakukannya dengan sangat hati-hati seolah wanita adalah kaca yang mudah pecah. Nania akui dia bangga dengan sifat putra satu-satunya itu. Ya, Ali memang anak tunggal. Nania berhasil melakukan program kehamilan setelah usia pernikahan mereka menginjak 10 tahun. Maka dari itu sekarang dia sudah tampak tua padahal belum memiliki menantu, apalagi cucu. Ah, sungguh miris, ternyata dia akan menikmati masa tuanya hanya dengan suami tercinta. Nyatanya Allah hanya menitipkan seorang anak padanya sampai di usianya yang sekarang.

"Ma..." Farensa mencoba menyadarkan mama Nania yang melamun. Papa Adnan juga sudah berusaha memanggil-manggil istrinya sedari tadi.

"Ah, ya, Sayang, kenapa?" mama Nania tersadar dengan gugup sambil menghapus air matanya yang turun.

"Ya Allah, maafin Farensa ya, Ma. Farensa membuat acara makan kita jadi seperti ini." sesal Farensa menyadari air mata mama Nania yang turun. Farensa berkata sembari memeluk mama Nania dari samping dan mengusap-usap lengan atasnya. "Ayo kita lanjutin makannya, Ma. Sekali lagi Farensa minta maaf."

"Iya, Sayang... Tidak apa-apa, kok." mama Nania tersenyum.

***

Affan hampir melelapkan matanya jika tidak ada dering ponsel. Dia langsung beranjak duduk dan mengambil ponsel yang mengganggunya itu. Dilihatnya nama Qiyya di layar, Affan mengembuskan napas pelan sebelum menggeser icon hijau.

"ABANGG!!!! ABANG DI MANA SEKARANG?! QIYYA UDAH DI RUMAH TAPI ABANG NGGAK ADA! POKOKNYA QIYYA NGGAK MAU TAHU ABANG HARUS PULANG SEKARANG DAN TEPATIN JANJI ABANG, TITIK!!!"

Ya Tuhan .... Suara Qiyya benar-benar membuat gendang telinganya hampir pecah. Ya Affan akui dirinya memang lupa kalau ada janji dengan Qiyya untuk pergi menemani gadis itu ke sebuah tempat wisata. Ini sudah jam 11 siang dan Affan belum juga pulang dari rumah Farensa. Entah pergi ke mana gadis itu hingga begitu lamanya. Sampai Affan terkantuk-kantuk di rumah itu.

"Nak Affan, ayo kita makan dulu. Ibu sudah siapkan makan siang." Ibu Farensa mengajaknya makan, Affan tak kuasa menolak. Dia akhirnya menurut untuk makan siang bersama keluarga kecil itu.

Hanya ada ibu dan ayah Farensa dan satu lagi adik Farensa yang bernama Fikri di meja makan selain dirinya tentu saja. Ah anak itu entah sedang ke mana, Affan merasa kesal sendiri mengingat Farensa yang tak kunjung pulang. Melupakan sejenak kekesalannya, Affan mengamati tiga orang yang duduk di hadapannya. Mereka makan dengan banyak obrolan lucu membuat suasana makan menjadi hangat. Affan pun sesekali ikut nimbrung untuk mengakrabkan diri.

*****

Thanks.

FARENSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang